Pelaksanaan pilkades serentak di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, menggunakan sistem "e-voting" atau pemungutan suara menggunakan sistem elektronik berbasis KTP-e dinilai tidak efisien dan membutuhkan anggaran cukup besar serta bertentangan dengan Permendagri Nomor 65 Tahun 2017 tentang Pilkades.
"Pansus DPRD bukan menolak pilkades menggunakan sistem 'e-voting', melainkan menyoroti kesiapan pembiayaan maupun legalitas hukumnya," kata anggota Pansus Pilkades DPRD Situbondo, Narwiyoto di Situbondo, Jumat.
Menurut ia, DPRD membentuk pansus untuk melakukan pembahasan secara khusus pengajuan revisi Perda Nomor 9 Tahun 2015 tentang Kepala Desa, karena pemkab mengajukan perubahan perda karena akan mengubah pelaksanaan pilkades manual menjadi "e-voting".
Ia menjelaskan, pansus DPRD mempertanyakan Pasal 14 Ayat 14 huruf (a) tentang Penggelombangan Waktu Pemilihan, sebab pemkab akan melaksanakan pilkades "e-voting" secara bertahap bukan secara serentak.
Dari 115 Desa yang akan melaksanakan pilkades pada tahun ini, katanya, akan dibagi menjadi lima kali tahapan yang akan berlangsung selama dua bulan.
"Berdasarkan kajian pansus maupun hasil konsultasi di Kementerian Dalam Negeri, yang dimaksud penggelombangan yaitu pelaksanaan pilkades hanya boleh dilakukan paling banyak tiga kali dalam jangka waktu enam tahun," ujar politikus PDI-P itu.
Narwiyoto mengemukakan, pansus juga mempertanyakan penghapusan tingkat kehadiran, karena di dalam perda lama diatur tingkat kehadiran pilkades mencapai 2,3 atau 70 persen dari jumlah penduduk.
"Namun dalam draf perda perubahan, pemkab menghapus tingkat kehadiran tersebut, dan pansus menilai hal itu akan membahayakan karena bisa jadi pelaksanaan pilkades hanya dihadiri 10 orang dan itu sudah dianggap sah," ucapnya.
Ia menambahkan, pilkades merupakan pesta demokrasi di tingkat desa, dan selama ini antusias masyarakat sangat tinggi setiap keguatan pilkades.
"Oleh karena itu, kami meminta agar pemkab menunda pilkades 'e-voting' jika masih belum siap, baik perangkat hukumnya maupun perangkat elektroniknya," ujarnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019
"Pansus DPRD bukan menolak pilkades menggunakan sistem 'e-voting', melainkan menyoroti kesiapan pembiayaan maupun legalitas hukumnya," kata anggota Pansus Pilkades DPRD Situbondo, Narwiyoto di Situbondo, Jumat.
Menurut ia, DPRD membentuk pansus untuk melakukan pembahasan secara khusus pengajuan revisi Perda Nomor 9 Tahun 2015 tentang Kepala Desa, karena pemkab mengajukan perubahan perda karena akan mengubah pelaksanaan pilkades manual menjadi "e-voting".
Ia menjelaskan, pansus DPRD mempertanyakan Pasal 14 Ayat 14 huruf (a) tentang Penggelombangan Waktu Pemilihan, sebab pemkab akan melaksanakan pilkades "e-voting" secara bertahap bukan secara serentak.
Dari 115 Desa yang akan melaksanakan pilkades pada tahun ini, katanya, akan dibagi menjadi lima kali tahapan yang akan berlangsung selama dua bulan.
"Berdasarkan kajian pansus maupun hasil konsultasi di Kementerian Dalam Negeri, yang dimaksud penggelombangan yaitu pelaksanaan pilkades hanya boleh dilakukan paling banyak tiga kali dalam jangka waktu enam tahun," ujar politikus PDI-P itu.
Narwiyoto mengemukakan, pansus juga mempertanyakan penghapusan tingkat kehadiran, karena di dalam perda lama diatur tingkat kehadiran pilkades mencapai 2,3 atau 70 persen dari jumlah penduduk.
"Namun dalam draf perda perubahan, pemkab menghapus tingkat kehadiran tersebut, dan pansus menilai hal itu akan membahayakan karena bisa jadi pelaksanaan pilkades hanya dihadiri 10 orang dan itu sudah dianggap sah," ucapnya.
Ia menambahkan, pilkades merupakan pesta demokrasi di tingkat desa, dan selama ini antusias masyarakat sangat tinggi setiap keguatan pilkades.
"Oleh karena itu, kami meminta agar pemkab menunda pilkades 'e-voting' jika masih belum siap, baik perangkat hukumnya maupun perangkat elektroniknya," ujarnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019