Dari masa ke masa, zaman ke zaman, peran kaum perempuan terus berkembang, baik pemikiran maupun peradabannya. Namun, sosok perempuan oleh sebagian masyarakat masih dipandang sebagai kaum lemah, khususnya di bidang teknologi yang terus melaju dengan super cepat.
Bahkan, menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), hanya ada 30 persen pekerja perempuan di bidang industri sains, teknologi, teknik, dan matematik. Tak terkecuali di bidang politik pun, peran dan kiprah perempuan juga dibatasi dengan kuota 30 persen.
Seharusnya di era industri 4.0 ini, peran dan kesempatan untuk mengaktualisasikan diri antara laki-laki dan perempuan sama besarnya. Hanya saja, saat ini tantangan yang dihadapi perempuan bagaimana mengubah sikap permisif dan praktik budaya yang membatasi kemajuan perempuan melalui pendidikan guna memperkecil kesenjangan antara kaum perempuan dan laki-laki.
Oleh karena itu, perlu program-program pemberdayaan bagi kaum perempuan. Hadirnya Revolusi Industri 4.0, harus dapat dikelola dengan baik oleh kaum perempuan, karena memiliki prospek yang menjanjikan bagi posisi perempuan sebagai bagian dari peradaban dunia.
Perempuan memiliki peran yang sangat strategis dalam percaturan dunia, sebagai ibu rumah tangga, pendidik pertama bagi anak-anaknya, dan sekaligus juga memiliki peran dalam sosial masyarakat.
Saat ini, perempuan harus kreatif dan berpendidikan tinggi agar kebermanfaatannya di berbagai segmen dapat terasa secara nyata. Dalam dunia pendidikan, perempuan juga harus memiliki orientasi pendidikan setinggi mungkin agar ketika menjadi seorang ibu, perempuan dapat menjadi tempat pertama untuk memperluas wawasan anaknya.
Belum lagi peran perempuan sebagai pendidik tangan pertama dalam lingkungan keluarga, teknologi yang kian maju. Dengan kemajuan teknologi yang tidak bisa dibendung ini, peran perempuan sebagai ibu akan semakin berat, sebab bagaimana seorang ibu harus mampu menuntun anak-anaknya agar memanfaatkan kemajuan teknologi hanya untuk hal-hal positif.
Seorang perempuan (ibu) akan terus memantau penggunaan teknologi bagi anak-anaknya agar tidak sampai terjerumus ke hal-hal negatif. Belum lagi peran perempuan yang menjadi seorang istri, seorang pegawai yang dituntut terus berinovasi dan kreatif engan memaksimalkan industri 4.0, serta peran sebagai bagian dari sosial masyarakat.
Di era Industri 4.0, peran perempuan di dunia kerja semakin penting. Namun, fakta di lapangan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) berdasarkan data BPS, pada awal 2018, TPAK laki-laki sebesar 83,01 persen dan perempuan hanya sebesar 55,44 persen.
Oleh karenanya, untuk mencapai kesetaraan peran perempuan dan laki-laki masih menemukan banyak hambatan. Utamanya, kesenjangan akses dan penguasaan teknologi informasi dan komunikasi antara perempuan dan laki-laki masih cukup besar. Mengutip data International Telecommunication Union (ITU), menunjukan prosentase pengguna teknologi informasi dan komunikasi perempuan lebih rendah dibanding laki-laki.
Sejumlah faktor penghambat perempuan di negara berkembang dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi, di antaranya pendidikan, keaksaraan, bahasa, waktu, biaya, norma sosial dan budaya. Perempuan Indonesia merupakan pengguna internet yang aktif, namun memiliki literasi digital yang rendah, karena kurangnya pelatihan, latar belakang pendidikan yang rendah, dan lainnya.
Padahal, seperti yang dikatakan Wakil Gubernur Jatim Emil Dardak ketika berada di Universitas Muhammadiyah (UMM), keterlibatan perempuan dalam segala aspek kehidupan menjadi salah satu syarat dalam upaya mewujudkan pembangunan yang berkeadilan. Karena potensi perempuan merupakan aset nasional yang besar yang harus terus menerus dikembangkan untuk membangun Negara Indonesia.
Pada tahun 2016 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) laki-laki memiliki angka yang lebih tinggi dibandingkan IPM perempuan. IPM laki sebesar 74,23 dan IPM perempuan sebesar 67,34. Artinya belum setara.
Budaya bangsa Indonesia, yang pada umumnya masih menganut budaya patriarki, yaitu berdasar garis keturunan dari Bapak. Oleh karenanya, Pemprov Jatim berusaha menyeimbangkan peran perempuan dan laki-laki, tanpa menghilangkan budaya yang ada, meski tidak mudah.
Kesetaraan gender atau persamaan hak yang sering kali disuarakan kaum perempuan, tidak harus dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama persis (mutlak) dengan laki-laki, sebab ada hal-hal tertentu dimana perempuan juga tidak bisa melakukan apa yang dilakukan laki-laki.
Tugas dan peran perempuan memang kadang lebih berat dibanding laki-laki, apalagi kalau dikaitkan dengan pendidikan dan pembentukan karakter dan moral anak-anak mereka. Peran ibu (perempuan) lebih berat, meski sudah memasuki era industri 4.0, perempuan tidak bisa meninggalkan peran dan kodratnya sebagi seorang perempuan, ibu, istri, bahkan peran di lingkungan sosial masyarakat. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019
Bahkan, menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), hanya ada 30 persen pekerja perempuan di bidang industri sains, teknologi, teknik, dan matematik. Tak terkecuali di bidang politik pun, peran dan kiprah perempuan juga dibatasi dengan kuota 30 persen.
Seharusnya di era industri 4.0 ini, peran dan kesempatan untuk mengaktualisasikan diri antara laki-laki dan perempuan sama besarnya. Hanya saja, saat ini tantangan yang dihadapi perempuan bagaimana mengubah sikap permisif dan praktik budaya yang membatasi kemajuan perempuan melalui pendidikan guna memperkecil kesenjangan antara kaum perempuan dan laki-laki.
Oleh karena itu, perlu program-program pemberdayaan bagi kaum perempuan. Hadirnya Revolusi Industri 4.0, harus dapat dikelola dengan baik oleh kaum perempuan, karena memiliki prospek yang menjanjikan bagi posisi perempuan sebagai bagian dari peradaban dunia.
Perempuan memiliki peran yang sangat strategis dalam percaturan dunia, sebagai ibu rumah tangga, pendidik pertama bagi anak-anaknya, dan sekaligus juga memiliki peran dalam sosial masyarakat.
Saat ini, perempuan harus kreatif dan berpendidikan tinggi agar kebermanfaatannya di berbagai segmen dapat terasa secara nyata. Dalam dunia pendidikan, perempuan juga harus memiliki orientasi pendidikan setinggi mungkin agar ketika menjadi seorang ibu, perempuan dapat menjadi tempat pertama untuk memperluas wawasan anaknya.
Belum lagi peran perempuan sebagai pendidik tangan pertama dalam lingkungan keluarga, teknologi yang kian maju. Dengan kemajuan teknologi yang tidak bisa dibendung ini, peran perempuan sebagai ibu akan semakin berat, sebab bagaimana seorang ibu harus mampu menuntun anak-anaknya agar memanfaatkan kemajuan teknologi hanya untuk hal-hal positif.
Seorang perempuan (ibu) akan terus memantau penggunaan teknologi bagi anak-anaknya agar tidak sampai terjerumus ke hal-hal negatif. Belum lagi peran perempuan yang menjadi seorang istri, seorang pegawai yang dituntut terus berinovasi dan kreatif engan memaksimalkan industri 4.0, serta peran sebagai bagian dari sosial masyarakat.
Di era Industri 4.0, peran perempuan di dunia kerja semakin penting. Namun, fakta di lapangan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) berdasarkan data BPS, pada awal 2018, TPAK laki-laki sebesar 83,01 persen dan perempuan hanya sebesar 55,44 persen.
Oleh karenanya, untuk mencapai kesetaraan peran perempuan dan laki-laki masih menemukan banyak hambatan. Utamanya, kesenjangan akses dan penguasaan teknologi informasi dan komunikasi antara perempuan dan laki-laki masih cukup besar. Mengutip data International Telecommunication Union (ITU), menunjukan prosentase pengguna teknologi informasi dan komunikasi perempuan lebih rendah dibanding laki-laki.
Sejumlah faktor penghambat perempuan di negara berkembang dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi, di antaranya pendidikan, keaksaraan, bahasa, waktu, biaya, norma sosial dan budaya. Perempuan Indonesia merupakan pengguna internet yang aktif, namun memiliki literasi digital yang rendah, karena kurangnya pelatihan, latar belakang pendidikan yang rendah, dan lainnya.
Padahal, seperti yang dikatakan Wakil Gubernur Jatim Emil Dardak ketika berada di Universitas Muhammadiyah (UMM), keterlibatan perempuan dalam segala aspek kehidupan menjadi salah satu syarat dalam upaya mewujudkan pembangunan yang berkeadilan. Karena potensi perempuan merupakan aset nasional yang besar yang harus terus menerus dikembangkan untuk membangun Negara Indonesia.
Pada tahun 2016 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) laki-laki memiliki angka yang lebih tinggi dibandingkan IPM perempuan. IPM laki sebesar 74,23 dan IPM perempuan sebesar 67,34. Artinya belum setara.
Budaya bangsa Indonesia, yang pada umumnya masih menganut budaya patriarki, yaitu berdasar garis keturunan dari Bapak. Oleh karenanya, Pemprov Jatim berusaha menyeimbangkan peran perempuan dan laki-laki, tanpa menghilangkan budaya yang ada, meski tidak mudah.
Kesetaraan gender atau persamaan hak yang sering kali disuarakan kaum perempuan, tidak harus dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama persis (mutlak) dengan laki-laki, sebab ada hal-hal tertentu dimana perempuan juga tidak bisa melakukan apa yang dilakukan laki-laki.
Tugas dan peran perempuan memang kadang lebih berat dibanding laki-laki, apalagi kalau dikaitkan dengan pendidikan dan pembentukan karakter dan moral anak-anak mereka. Peran ibu (perempuan) lebih berat, meski sudah memasuki era industri 4.0, perempuan tidak bisa meninggalkan peran dan kodratnya sebagi seorang perempuan, ibu, istri, bahkan peran di lingkungan sosial masyarakat. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019