Rasa penasaran langsung menyeruak saat pertama kali seorang kawan mengajak berburu kuliner khas di Kabupaten Trenggalek. Namanya Sego (nasi) Gegog. Nama kuliner yang unik, namun sepertinya merakyat. Gegog merupakan akronim dari "Sego Genem Godhong Gedhang" yang berarti nasi yang dibungkus menggunakan daun pisang.
Konon cerita, sego gegog ini memang menjadi salah satu sajian makanan warga Trenggalek pedalaman. Dikemas dengan bungkusan daun pisang, penganan tradisional ini dulu biasa digunakan untuk bekal (istilah lokalnya, bontrot) bekerja di sawah, ladang, ataupun bekerja mencari kayu dan berburu di dalam hutan.
Dulu sego gegog menjadi menu yang mewah. Kuliner ini menjadi selingan di antara makanan gaplek yang menjadi menu wajib rakyat jelata kala itu. Nasinya punel. Di dalamnya sudah tercampur lauk ikan teri sambal pedas. Nikmat sekali.
Apalagi jika saat makan didampingi teh panas atau kopi tubruk olahan lokal yang biasanya menyisakan butiran-butiran ampas kopi sebesar gula pasir. Wuihh..., ujung lidah serasa diajak disco. Habis kepedesan, saraf perasa ujung lidah akan langsung bereaksi kala mengecap panas wedang kopi yang super sedap. Hihihi,,, bikin ngiler kalau diceritain.
Dan begitulah. Kini, seiring perkembangan zaman, kemajuan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Trenggalek yang diiringi munculnya aneka kuliner modern, sego gegog masih bertahan. Atau lebih tepatnya dipertahankan.
Setidaknya itulah kesan yang tertangkap saat kami meluncur bersepeda motor wilayah (Kecamatan) Bendungan untuk sekedar berburu sego gegog di satu di antara beberapa warung yang memang secara khusus menyediakan menu kuliner khas lokal ini.
Warung-warungnya seperti warung makan biasa pada umumnya. Sederhana. Namun justru kesederhanaan itu yang membuat nuansa santap nasi/sego gegog terasa istimewa. Udara pegunungan di kaki Gunung Wilis ini membuat sensasi perburuan kuliner menjadi semakin berkesan.
Mbah Tumirah, salah satu penjual sego gegok menuturkan, proses pengolahan menu lokal ini dilakukan dua tahap. Pertama adalah dengan membuat nasi yang dimasak setengah matang terlebih dahulu. Bisa dengan cara diliwet, lalu diambil untuk dibungkus menggunakan daun pisang dan diberi campuran sambal ikan teri di atasnya.
Setelah dibungkus dengan daun pisang tadu, nasi tadi dikukus sampai matang kira-kira sekitar 15 menit. Porsi dari sego gegog ini kecil, jadi setiap orang bisa makan 2-3 bungkus dalam sekali makan.
Harganya sediri murah meriah kok. Dulu sih hanya Rp1000-an per bungkus. Kini mungkin naik sekitar Rp2000-an per bungkus. Sego gegog ini biasanya disantap dengan lauk tempe goreng hangat atau kerupuk dan segelas kopi hitam atau teh hangat.
Buat kamu-kamu yang penasaran seperti saya, silahkan saja dulan langsung ke Trenggalek. Di beberapa warung makan atau warung kopi di sekitar kota ada yang jual. Namun lebih direkomendasikan langsung ke sentra kuliner sego gegog yang masih natural di Kecamatan Bendungan yang berjarak sekitar 15 menit perjalanan sepeda motor/mobil dari pusat kota. Sebab selain bisa menikmati rasa asli segog gegog yang punel nan pedas, kita bisa mendapat bonus nuansa pemukiman di pedalaman Trenggalek yang eksotis. Sumpah, coba saja. Dijamin bikin ngiler..! (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019
Konon cerita, sego gegog ini memang menjadi salah satu sajian makanan warga Trenggalek pedalaman. Dikemas dengan bungkusan daun pisang, penganan tradisional ini dulu biasa digunakan untuk bekal (istilah lokalnya, bontrot) bekerja di sawah, ladang, ataupun bekerja mencari kayu dan berburu di dalam hutan.
Dulu sego gegog menjadi menu yang mewah. Kuliner ini menjadi selingan di antara makanan gaplek yang menjadi menu wajib rakyat jelata kala itu. Nasinya punel. Di dalamnya sudah tercampur lauk ikan teri sambal pedas. Nikmat sekali.
Apalagi jika saat makan didampingi teh panas atau kopi tubruk olahan lokal yang biasanya menyisakan butiran-butiran ampas kopi sebesar gula pasir. Wuihh..., ujung lidah serasa diajak disco. Habis kepedesan, saraf perasa ujung lidah akan langsung bereaksi kala mengecap panas wedang kopi yang super sedap. Hihihi,,, bikin ngiler kalau diceritain.
Dan begitulah. Kini, seiring perkembangan zaman, kemajuan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Trenggalek yang diiringi munculnya aneka kuliner modern, sego gegog masih bertahan. Atau lebih tepatnya dipertahankan.
Setidaknya itulah kesan yang tertangkap saat kami meluncur bersepeda motor wilayah (Kecamatan) Bendungan untuk sekedar berburu sego gegog di satu di antara beberapa warung yang memang secara khusus menyediakan menu kuliner khas lokal ini.
Warung-warungnya seperti warung makan biasa pada umumnya. Sederhana. Namun justru kesederhanaan itu yang membuat nuansa santap nasi/sego gegog terasa istimewa. Udara pegunungan di kaki Gunung Wilis ini membuat sensasi perburuan kuliner menjadi semakin berkesan.
Mbah Tumirah, salah satu penjual sego gegok menuturkan, proses pengolahan menu lokal ini dilakukan dua tahap. Pertama adalah dengan membuat nasi yang dimasak setengah matang terlebih dahulu. Bisa dengan cara diliwet, lalu diambil untuk dibungkus menggunakan daun pisang dan diberi campuran sambal ikan teri di atasnya.
Setelah dibungkus dengan daun pisang tadu, nasi tadi dikukus sampai matang kira-kira sekitar 15 menit. Porsi dari sego gegog ini kecil, jadi setiap orang bisa makan 2-3 bungkus dalam sekali makan.
Harganya sediri murah meriah kok. Dulu sih hanya Rp1000-an per bungkus. Kini mungkin naik sekitar Rp2000-an per bungkus. Sego gegog ini biasanya disantap dengan lauk tempe goreng hangat atau kerupuk dan segelas kopi hitam atau teh hangat.
Buat kamu-kamu yang penasaran seperti saya, silahkan saja dulan langsung ke Trenggalek. Di beberapa warung makan atau warung kopi di sekitar kota ada yang jual. Namun lebih direkomendasikan langsung ke sentra kuliner sego gegog yang masih natural di Kecamatan Bendungan yang berjarak sekitar 15 menit perjalanan sepeda motor/mobil dari pusat kota. Sebab selain bisa menikmati rasa asli segog gegog yang punel nan pedas, kita bisa mendapat bonus nuansa pemukiman di pedalaman Trenggalek yang eksotis. Sumpah, coba saja. Dijamin bikin ngiler..! (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019