Pamekasan (Antaranews Jatim) - Dewan Pengurus Cabang (DPC) Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) Madura mengklarifikasi pemberitaan kasus pencabulan sembilan orang murid oleh oknum guru agama di salah satu SD Negeri di Kelurahan Lawangan Daja, Pamekasan, Jawa Timur, tidak benar.
"Berita mengenai adanya guru agama di salah satu SD Negeri di Kelurahan Lawangan Daja, Kecamatan Pademawu, Pamekasan yang mencabuli muridnya itu tidak benar," kata Ketua DPC APSI Madura Sulaisi Abdurrazaq kepada Antara per telepon di Pamekasan, Selasa pagi.
Sulaisi mengemukan, hasil investigasi yang dilakukan APSI Madura, setelah membaca berita pencabulan itu di sejumlah media lokal Madura.
Dalam berita itu disebutkan bahwa ada oknum guru agama di SD itu telah melakukan pencabulan terhadap sembilan orang muridnya. Pelaku berinisial IK, guru agama di salah satu SD Negeri di Kelurahan Lawangan Daja, Kecamatan Pademawu, Pamekasan. Korban masing-masing berisial IR, AM, FR, AZ, AL,NS, RS, AR dan NF.
Pencabulan itu dilakukan di rumahnya, saat mereka menyetorkan hafalan surat-surat pendek Al Quran di rumah sang guru agama itu.
Atas pemberitaan di sejumlah media itu, dosen Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Madura ini merasa terpanggil untuk melakukan investigasi, apalagi korbannya merupakan anak dibawah umur. Apalagi yang bersangkutan juga merupakan anggota Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP3A) Pemkab Pamekasan.
Mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Pamekasan ini selanjutnya melakukan penelitian dan bertemu secara langsung dengan para pihak, baik orang tua korban, ataupun guru agama yang diberitakan melakukan pencabulan pada sembilan orang muridnya itu.
Sulaisi terlebih dahulu menemui orang tua dan wali murid korban. Ia melakukan wawancara dan menanyakan fakta yang sebenarnya terjadi, yang dialami anak-anak mereka.
"Ternyata, hasilnya mereka mengaku tidak tahu secara langsung. Bahkan, diantara para orang tua korban itu justru mengetahui setelah ada berita di salah satu media online," ucap Sulaisi.
Ada juga yang mengaku mengetahui anaknya menjadi korban pencabulan guru agamanya, atas informasi telepon yang disampaikan oleh orang tak dikenal.
Tidak hanya itu saja, mantan aktivis mahasiswa pencetus gagasan menghapus praktik kekerasan dalam festival karapan sapi Madura ini, juga bertemu langsung dengan guru agama yang diberitakan melakukan pencabulan tersebut.
Sulaisi menuturkan, dalam pertemuan itu, sang guru agama mengakui, memang pernah mencubit murid-muridnya, apabila ia tidak bisa menyetor hafalan surat-surat pendek Al Quran secara sempurna.
"Tapi dalam konteks pendidikan agama di Madura, itu sangat normatif, dan dianggap sebagai bentuk motifasi guru kepada murid," kata penulis buku "Membaca Ulang Demokrasi Kita" tersebut.
Sulaisi dan jajaran Pengurus APSI Madura, sebelumnya memang sempat geram, setelah membaca pemberitaan tentang kasus pencabulan anak dibawah umur oleh oknum guru agamanya itu.
"Saya memang sempat memberita pernyataan kepada wartawan yang meminta komentar tentang kasus itu, dan saya menyatakan, bahwa predator anak harus dilawan," katanya.
Tapi, sambung dia, setelah dirinya dan pengurus APSI Madura melakukan penelitian secara langsung ke lapangan, kasus itu, terindikasi sengaja dienduskan orang-orang tertentu, untuk menciderai nama baik sang guru agama di sekolah itu.
"Jadi, setelah terjun langsung ke lapangan, faktanya, memang tidak cukup bukti untuk diproses secara hukum, bahkan terindikasi bahwa kasus pencabulan oleh guru agama itu, adalah upaya untuk mencemarkan nama baik sang guru melalui propaganda media," katanya.
Fakta yang terungkap oleh tim APSI Madura di lapangan menyebutkan, saat setoran hafalan surat-surat pendek Al Quran, jumlah murid yang datang rumah guru agama itu, tidak sedikit, yakni puluhan orang, karena semua siswa kelas VI di SD Negeri Lawangan Daja itu. Umumnya, mereka diantar orang tuanya.
Selain itu, sambung dia, orang tua murid yang menjadi sumber berita sejumlah media itu, tidak mau identitasnya disebutkan dalam berita.
"Dan saat setoran hafalan, saya selalu bersama istri saya, bahkan istri saya yang menyediakan air untuk anak-anak yang datang untuk menyetor hafalan surat-surat pendek Al Quran kesini," kata Sulaisi menirukan, ucapan sang guru agama itu.
Meski hasil investigasi tidak menemukan bukti yang cukup, namun APSI Madura tetap menyarankan kepada orang tua siswa itu agar kasus itu sebaiknya diproses secara hukum di Mapolres Pamekasan.
Hanya saja, diantara orang tua yang menjadi sumber berita kasus pencabulan guru agama tersebut, hingga kini tidak ada yang melapor ke polisi, yakni ke Mapolres Pamekasan.
"Memang sampai saat ini belum ada laporan kepada kami, dan kasus pencabulan itu hanya ramai di media saja," kata Kasubbag Humas Polres Pamekasan Iptu Nining Diah.
Polisi, sambung dia, tidak bisa turun tangan secara langsung, karena kasus pencabulan tersebut masuk dalam delik aduan.
"Jika memang ada laporan dari orang tua korban, pasti akan kami tindak lanjuti," katanya, menjelaskan. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
"Berita mengenai adanya guru agama di salah satu SD Negeri di Kelurahan Lawangan Daja, Kecamatan Pademawu, Pamekasan yang mencabuli muridnya itu tidak benar," kata Ketua DPC APSI Madura Sulaisi Abdurrazaq kepada Antara per telepon di Pamekasan, Selasa pagi.
Sulaisi mengemukan, hasil investigasi yang dilakukan APSI Madura, setelah membaca berita pencabulan itu di sejumlah media lokal Madura.
Dalam berita itu disebutkan bahwa ada oknum guru agama di SD itu telah melakukan pencabulan terhadap sembilan orang muridnya. Pelaku berinisial IK, guru agama di salah satu SD Negeri di Kelurahan Lawangan Daja, Kecamatan Pademawu, Pamekasan. Korban masing-masing berisial IR, AM, FR, AZ, AL,NS, RS, AR dan NF.
Pencabulan itu dilakukan di rumahnya, saat mereka menyetorkan hafalan surat-surat pendek Al Quran di rumah sang guru agama itu.
Atas pemberitaan di sejumlah media itu, dosen Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Madura ini merasa terpanggil untuk melakukan investigasi, apalagi korbannya merupakan anak dibawah umur. Apalagi yang bersangkutan juga merupakan anggota Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP3A) Pemkab Pamekasan.
Mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Pamekasan ini selanjutnya melakukan penelitian dan bertemu secara langsung dengan para pihak, baik orang tua korban, ataupun guru agama yang diberitakan melakukan pencabulan pada sembilan orang muridnya itu.
Sulaisi terlebih dahulu menemui orang tua dan wali murid korban. Ia melakukan wawancara dan menanyakan fakta yang sebenarnya terjadi, yang dialami anak-anak mereka.
"Ternyata, hasilnya mereka mengaku tidak tahu secara langsung. Bahkan, diantara para orang tua korban itu justru mengetahui setelah ada berita di salah satu media online," ucap Sulaisi.
Ada juga yang mengaku mengetahui anaknya menjadi korban pencabulan guru agamanya, atas informasi telepon yang disampaikan oleh orang tak dikenal.
Tidak hanya itu saja, mantan aktivis mahasiswa pencetus gagasan menghapus praktik kekerasan dalam festival karapan sapi Madura ini, juga bertemu langsung dengan guru agama yang diberitakan melakukan pencabulan tersebut.
Sulaisi menuturkan, dalam pertemuan itu, sang guru agama mengakui, memang pernah mencubit murid-muridnya, apabila ia tidak bisa menyetor hafalan surat-surat pendek Al Quran secara sempurna.
"Tapi dalam konteks pendidikan agama di Madura, itu sangat normatif, dan dianggap sebagai bentuk motifasi guru kepada murid," kata penulis buku "Membaca Ulang Demokrasi Kita" tersebut.
Sulaisi dan jajaran Pengurus APSI Madura, sebelumnya memang sempat geram, setelah membaca pemberitaan tentang kasus pencabulan anak dibawah umur oleh oknum guru agamanya itu.
"Saya memang sempat memberita pernyataan kepada wartawan yang meminta komentar tentang kasus itu, dan saya menyatakan, bahwa predator anak harus dilawan," katanya.
Tapi, sambung dia, setelah dirinya dan pengurus APSI Madura melakukan penelitian secara langsung ke lapangan, kasus itu, terindikasi sengaja dienduskan orang-orang tertentu, untuk menciderai nama baik sang guru agama di sekolah itu.
"Jadi, setelah terjun langsung ke lapangan, faktanya, memang tidak cukup bukti untuk diproses secara hukum, bahkan terindikasi bahwa kasus pencabulan oleh guru agama itu, adalah upaya untuk mencemarkan nama baik sang guru melalui propaganda media," katanya.
Fakta yang terungkap oleh tim APSI Madura di lapangan menyebutkan, saat setoran hafalan surat-surat pendek Al Quran, jumlah murid yang datang rumah guru agama itu, tidak sedikit, yakni puluhan orang, karena semua siswa kelas VI di SD Negeri Lawangan Daja itu. Umumnya, mereka diantar orang tuanya.
Selain itu, sambung dia, orang tua murid yang menjadi sumber berita sejumlah media itu, tidak mau identitasnya disebutkan dalam berita.
"Dan saat setoran hafalan, saya selalu bersama istri saya, bahkan istri saya yang menyediakan air untuk anak-anak yang datang untuk menyetor hafalan surat-surat pendek Al Quran kesini," kata Sulaisi menirukan, ucapan sang guru agama itu.
Meski hasil investigasi tidak menemukan bukti yang cukup, namun APSI Madura tetap menyarankan kepada orang tua siswa itu agar kasus itu sebaiknya diproses secara hukum di Mapolres Pamekasan.
Hanya saja, diantara orang tua yang menjadi sumber berita kasus pencabulan guru agama tersebut, hingga kini tidak ada yang melapor ke polisi, yakni ke Mapolres Pamekasan.
"Memang sampai saat ini belum ada laporan kepada kami, dan kasus pencabulan itu hanya ramai di media saja," kata Kasubbag Humas Polres Pamekasan Iptu Nining Diah.
Polisi, sambung dia, tidak bisa turun tangan secara langsung, karena kasus pencabulan tersebut masuk dalam delik aduan.
"Jika memang ada laporan dari orang tua korban, pasti akan kami tindak lanjuti," katanya, menjelaskan. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018