Malang (Antaranews Jatim) - Pemerintah berupaya untuk menekan laju resistensi antimikroba, yakni perubahan yang terjadi pada bakteri atau mikroorganisme yang menyebabkan obat-obatan tidak mampu menyembuhkan infeksi, dengan menggencarkan sosialisasi kepada para peternak.
Para peternak merupakan salah satu pengguna antimikroba seperti antibiotik yang cukup tinggi dan berkontribusi dalam mempercepat perkembangan, dan penyebaran resistensi antimikorba atau antimicrobial resistance (AMR) kepada keluarga dan masyarakat.
"Para peternak saat ini sudah banyak menyadari bahwa penggunaan antibiotika untuk imbuhan pakan itu dilarang. Kami selaku pemerintah harus terus memberikan pengawasan dan sosialisasi," kata Kasubdit Pengawas Obat Hewan Kementerian Pertanian Ni Made Ria Isriyanthi, di Kota Malang, Jumat.
Penggunaan antimikroba pada sektor peternakan di Indonesia saat ini cukup mengkhawatirkan. Hal tersebut terlihat dari hasil survei penggunaan antimikroba (antimicrobial usage/AMU) yang dilakukan Kementerian Pertanian bersama FAO Indonesia pada tahun 2017.
Survei tersebut dilakukan di tiga provinsi yakni Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan yang merupakan sentra produksi unggas. Hasil dari survei tersebut menyatakan bahwa sebanyak 81,4 persen peternak menggunakan antibiotik pada unggas untuk pencegahan.
"Sementara 30,2 persen peternak menggunakan antibiotik untuk pengobatan, serta masih ada 0,3 persen yang menggunakan untuk memacu pertumbuhan," kata Made.
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 14/2017, yang melaran penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (Antibiotic Growth Promotor/AGP) pada pakan ternak.
Aturan tersebut mulai efektif berlaku pada Januari 2018, dan aturan tersebut merupakan upaya pemerintah untuk mengendalikan antibitotik pada sektor peternakan, sekaligus mendorong para peternak menghasilkan produk yang sehat untuk masyarakat.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018