Jalan Pahlawan Surabaya, tempat yang menjadi titik pusat peristiwa 10 November 1945 silam, pertarungan Arek-Arek Suroboyo melawan tentara kolonial. Pertumpahan darah terjadi di sana waktu itu. Hingga kini, berdiri kokoh Tugu Pahlawan sebagai simbol perjuangan rakyat Indonesia yang datang dari berbagai suku dan daerah dengan satu tujuan, mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Jumat malam, 9 November 2018, di jalan yang sama, dalam rangka memperingati Hari Pahlawan, ratusan seniman (pelajar, mahasiswa dan berbagai profesi) berada di tengah ribuan warga untuk menampilkan drama kolosal bertajuk Surabaya Membara.

Tepat sebelum drama yang menutup total Jalan Pahlawan itu dimulai, suara yang semula terdengar riuhnya tepuk tangan, berganti menjadi teriakan-teriakan histeris. Satu per satu dari belasan warga yang ingin menonton berjatuhan dari viaduk atau jembatan rel kereta api di atas Jalan Pahlawan.

Apa yang dilihat dan disaksikan banyak orang itu bukan disengaja, bukan juga bagian dari drama. Bersamaan dengan melintasnya kereta api di viaduk yang dibangun sejak zaman Belanda itu, mereka tersungkur ke aspal hingga mengakibatkan luka-luka, sebagian besar patah tulang, bahkan ada yang meninggal dunia.

Terjadi lagi pertumpahan darah. Tapi, kali ini bukan perang melawan penjajah, melainkan insiden yang di luar dugaan. Tiga orang dinyatakan meninggal dunia dan belasan orang lainnya mengalami luka-luka sehingga harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit.

Mayoritas mereka Arek Suroboyo, yang pergi bersama teman beserta keluarganya untuk melihat dan menyaksikan pertunjukan drama kolosal yang menggambarkan bagaimana pada tahun 1945 silam rakyat bersatu dan berperang melawan penjajah. Tapi, takdir berkata lain.

Peristiwa itu terjadi di luar perkiraan memang. Tak ada yang menyangka, bahwa melintasnya kereta api yang berjalan dengan laju kecepatan pelan dari Stasiun Surabaya Gubeng menuju Stasiun Pasar Turi itu mengakibatkan korban berjatuhan, bahkan ada satu korban meninggal di atas viaduk karena tertabrak.

Surabaya pun berduka. Suasana malam itu yang seharusnya riuh dan ramai, berubah menjadi mencekam, banyak suara tangisan dan wajah ketakutan dari warga akibat trauma.

Gubernur Jatim Soekarwo tepat pukul 00.00 WIB memimpin apel kehormatan dan renungan suci di TMP Kusuma Bangsa didampingi Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI Arief Rahman serta Wakapolda Jatim Brigjen Pol M Iqbal beserta perwira tinggi TNI lainnya.

Usai apel, Gubernur yang ditunggu belasan wartawan berucap belasungkawa dan prihatin atas apa yang terjadi beberapa jam sebelumnya, bahkan kejadiannya tepat di depan kantor yang setiap hari digunakannya sebagai tempat kerja. Matanya sembab, kalimatnya juga agak terbata dan lirih, tak seperti biasanya ketika diwawancarai wartawan.

Gubernur juga memerintahkan Sekdaprov Jatim Heru Tjahjono pada dini hari itu juga untuk langsung mengunjungi korban luka dan meninggal di RSUD dr Soetomo, korban luka RSUD dr Soewandhie dan RS PHC untuk memberikan semangat dan kekuatan.

Sehari setelah insiden, di tribun Stadion Gelora Bung Tomo Surabaya, saat Persebaya menang atas PSM Makassar dengan skor 3-0, suasana duka juga terasa.

Sebelum pertandingan dimulai, seluruh pemain dan puluhan ribu Bonek Mania mengheningkan cipta, ada juga sebagian penonton membawa poster bertuliskan ucapan duka cita untuk korban Surabaya Membara. Gol ketiga Persebaya oleh Fandry Imbiri pun dipersembahkan khusus untuk korban pada peristiwa tersebut.

Usai kejadian, seluruh pihak menyayangkan insiden itu. Ada yang menginginkan pengusutan tuntas dengan harapan tak terulang lagi kejadian serupa, ada juga yang berharap agar penanganannya dilakukan dengan pendekatan kemanusiaan tanpa harus mencari tahu siapa yang salah dan benar.

Terlepas dari itu, disuruh atau tidak, polisi tetap menjalankan tugasnya. Usai kejadian, polisi melakukan olah TKP, memeriksa saksi-saksi dan memanggil pihak-pihak yang menjadi bagian dari pertunjukan kolosal. Percayakan kepada aparat, bagaimana tindakan selanjutnya.

Memang juga bukan saatnya mencari kambing hitam atas kejadian ini, termasuk mempermasalahkan siapa penyelenggara utamanya, di mana perizinannya dan sebagainya. Yang harus dipikirkan pertama adalah menyelamatkan korban luka dan menjamin seluruh biaya perawatan serta pengobatan hingga sembuh total. Semuanya harus diawasi dan mendapat jaminan mendapatkannya.

Bagi korban meninggal dunia, tak hanya dipikirkan santunan untuk keluarga, kemudian selesai. Mereka yang korban adalah dua remaja dan satu anak, generasi muda yang diharapkan bangsa. Tentu orang tua yang ditinggalkan juga harus tetap mendapat perhatian.

Terhadap penyelenggara, insiden ini dijadikan sebagai pembelajaran dan evaluasi, bukan cuci tangan. Pemerintah juga tidak saling menyalahkan dan melempar siapa penanggung jawab insiden tersebut. Kendati demikian, tetap yang namanya tanggung jawab sangat diperlukan.

Terhadap masyarakat, khususnya warga Surabaya, mereka pasti trauma. Bukan tidak mungkin insiden ini akan membuat mereka kapok tidak mau menonton acara serupa di masa-masa mendatang.

Satu sisi, masyarakat, terutama yang hadir menyaksikan harus cerdas dan tidak mengambil risiko di lapangan, termasuk dari mana tempatnya menonton. Sisi lain, masyarakat lainnya jangan segan-segan menegur atau mengingatkan kepada mereka yang nekat. Jika tak diindahkan, laporkan ke petugas yang berjaga di sana.

Semoga duka Hari Pahlawan di Kota Pahlawan ini adalah yang terakhir. Momentum bersejarah yang seharusnya menjadi kenangan, bukan malah kita yang nantinya menjadi dikenang.

Turut berduka cita dan tetap tabah bagi keluarga yang ditinggalkan. Korban luka semoga cepat sembuh, pulih dan aktivitas kembali.

Selamat Hari Pahlawan...!!

Pewarta: Fiqih Arfani

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018