Jember (Antaranews Jatim) - Kabupaten Jember merupakan salah satu daerah di Jawa Timur yang menjadi penghasil tembakau berkualitas tinggi di Indonesia, bahkan kabupaten yang memiliki jumlah penduduk sekitar 2,6 juta jiwa itu dikenal sebagai Kota Tembakau.
Kabupaten Jember dikenal dengan wilayah pertanian tembakau terbaik dan termasyur di dunia, bahkan pengusaha cerutu di seluruh dunia menjuluki Jember sebagai "la tierra prometadora" atau tanah yang menjanjikan.
Dengan potensi alam dan kondisi tanah yang baik, Kabupaten Jember mampu menghasilkan tembakau dengan kualitas yang sangat tinggi yang diekspor, bahkan kepopuleran tembakau asal Jember sudah mendunia sejak abad ke-19.
Berdasarkan data Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Jember tercatat luas lahan tembakau berbagai jenis di wilayah setempat pada tahun 2017 mencapai 8.346 hektare, namun pada tahun 2018 diprediksi bertambah karena harga tembakau cukup bagus, sehingga banyak petani yang menanam tembakau.
Namun, di sisi lain, jumlah warga yang sakit akibat rokok juga terus bertambah di Kabupaten Jember. Berdasarkan data dari BPJS Kesehatan Jember, jumlah pasien katastropik, salah satunya disebabkan karena merokok aktif dan pasif, yang berobat dengan menggunakan kartu BPJS Kesehatan selama 2017 tercatat sebanyak 25.682 orang dengan jumlah pasien penderita jantung terbanyak yakni 18.166 orang.
Sedangkan data pasien katastropik yang ditangani BPJS Kesehatan sejak Januari hingga Agustus 2018 tercatat 12.563 orang, sehingga ada kecenderungan trennya naik.
"Tingginya jumlah pasien katastropik itu menyedot anggaran yang cukup besar di BPJS, karena membutuhkan biaya yang cukup banyak, sehingga menyebabkan anggaran BPJS defisit," kata Kepala BPJS Kesehatan Cabang Jember Tanya Rahayu.
Menurut ia, jumlah penderita katastropik terbanyak yakni penyakit jantung sebanyak 18.166 kasus, kemudian kanker menduduki peringat kedua dengan jumlah 2.897 kasus, dan ketiga adalah stroke sebanyak 2.600 kasus.
Data penderita katastropik yang rawat inap dan rawat jalan di RSD dr Soebandi Jember selama tahun 2017 sebanyak 36.032 pasien dan data sejak Januari hingga September 2018 mencapai 29.757 orang, padahal di Jember terdapat tiga RSD milik pemerintah dan lebih dari lima rumah sakit swasta.
Secara nasional, Komite Nasional Kajian Obat dan Farmakoterapi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Masfar Salim mengatakan sebanyak 30 persen anggaran BPJS Kesehatan atau sebesar Rp30 triliun habis untuk membiayai penyakit katastropik atau penyakit mematikan akibat komplikasi yang salah satunya disebabkan oleh rokok, seperti jantung, kanker, hingga gagal ginjal.
Data Kementerian Kesehatan tahun 2016 mencatat beban penyakit katastropik menyerap beban anggaran Rp1,69 triliun atau 29,67 persen dan banyaknya pasien yang berobat membuat beban biaya JKN terserap, kemudian berdasarkan Badan Litbangkes menyebutkan biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan penyakit yang terkait rokok mencapai 2,17 miliar dollar Amerika Serikat atau mendekati 2,5 persen gross domestic product (GDP).
Tingginya jumlah pasien katastropik yang salah satunya diakibatkan karena merokok tersebut tidak banyak diketahui oleh anggota DPRD Jember, kendati mereka cukup prihatin banyaknya kasus tersebut.
Namun, saat ditanya komitmen untuk melakukan pengendalian tembakau dalam kebijakan peraturan daerah untuk menekan kasus penderita katastropik, mereka masih ragu-ragu karena khawatir tidak mendapat suara dari petani tembakau pada Pemilu 2019.
Anggota DPRD Jember dari Partai Kebangkitan Bangsa Imam Suyuti mengatakan, potensi pemilih dari sektor pertembakauan cukup besar karena Kabupaten Jember dikenal sebagai kota tembakau, sehingga ia juga bergerak mendulang suara dari petani tembakau.
Politisi yang juga petani dan pedagang tembakau Jember itu maju pada Pemilu 2014 dengan mendapatkan perolehan suara sebanyak 5.986 suara berdasarkan data KPU Jember dan mengklaim sumbangan perolehan suara yang didapatkan dari petani dan pedagang tembakau cukup banyak, kendati tidak tahu jumlah pastinya.
Saat kampanye untuk menarik simpati masyarakat, terutama petani dan pedagang tembakau, wakil rakyat yang duduk di Komisi B DPRD Jember itu juga mengangkat isu keberpihakan kepada petani tembakau.
"Keberpihakan di sektor pertembakauan menjadi salah satu kunci untuk mendongkrak perolehan suara, sehingga saya juga berharap petani dan pedagang tembakau juga memilih saya untuk duduk kembali pada periode 2019-2023," katanya.
Ketika ditanya apakah pernah mendapat sumbangan dana kampanye dari pengusaha tembakau atau industri rokok, Imam Suyuti mengaku tidak pernah menerimanya, karena modal kampanye yang didapatkan berasal dari penghasilannya sebagai petani dan pedagang tembakau.
Politikus yang maju kembali pada Pemilu 2019 itu juga optimistis bisa mendapatkan dukungan yang besar dari petani dan pedagang tembakau di Jember, sehingga ia pun tidak berani menyampaikan isu pengendalian tembakau kepada masyarakat.
"Isu pengendalian tembakau di Jember bukan isu yang populis, sehingga mereka khawatir tidak mendapatkan simpati dari petani tembakau karena sektor pertembakauan merupakan basis massa yang bisa diandalkan untuk mendongkrak suara pada Pemilu 2019," katanya.
Hal senada juga disampaikan oleh anggota DPRD Jember dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Iwan Suyitno, yang mengaku mendapatkan sumbangan perolehan suara dari sektor pertembakauan di Kabupaten Jember.
Orang tuanya yang menjadi pengusaha di sektor pertembakuan memiliki sekitar 1.000 hingga 1.500 tenaga kerja yang bekerja di lahan pertanian, gudang dan lainnya, sehingga ia optimistis bisa mendapatkan suara dari pekerja tersebut.
"Saya hidup dari sektor tembakau dan pertanian, sehingga visi misi saya dalam kampanye untuk kepentingan pertanian dan pertembakauan di Jember, karena sektor tersebut mendongkrak perolehan suara pada Pemilu 2014 sekitar 2.000 suara," ujarnya.
Kendati berpihak pada sektor pertembakauan, ia juga mengaku tidak pernah mendapat sumbangan dana kampanye dari perusahaan tembakau atau industri rokok, karena modal kampanye didapatkan dari hasilnya bertani tembakau dan komoditas lainnya.
Anggota DPRD Jember yang juga dari PDI Perjuangan Lukman Winarno mengatakan, partainya tidak pernah mendapat sumbangan dana kampanye dari industri rokok atau perusahaan tembakau, karena hal tersebut mungkin tidak ada manfaatnya bagi perusahaan rokok atau tembakau tersebut.
"Partai politik senang-senang saja disumbang oleh pihak manapun, namun selama mejabat sebagai pengurus PDI Perjuangan selama beberapa tahun, tidak pernah ada sumbangan dari perusahaan rokok atau tembakau," katanya.
Namun, ia tidak menampik kemungkinan adanya perusahaan rokok atau tembakau yang memberikan sumbangan secara pribadi kepada para politisi, karena faktor kekerabatan, misalnya politisi punya hubungan keluarga dengan pengusaha tembakau dan kedekatan secara personal saja, seperti berkawan baik dengan pengusaha tembakau, namun kalau sumbangan yang berkonsekuensi dalam kepentingan politik sepertinya tidak ada.
Lukman mengaku tidak tahu persis siapa politisi yang mendapatkan sumbangan secara pribadi dari perusahaan rokok atau tembakau di Jember, karena hal tersebut hanya dugaan, sehingga tidak tahu benar-benar ada atau tidak. Namun, peluang sumbangan yang mengalir ke politisi dari sektor pertembakauan itu kemungkinan ada, mengingat Jember adalah kota tembakau.
Dari 50 anggota dewan di Jember, hanya dua politikus yang berasal dari petani dan pedagang tembakau, yakni Imam Suyuti (PKB) dan Iwan Suyitno (PDI Perjuangan) berdasarkan wawancara dan pengakuan mereka, namun sebagian besar para wakil rakyat yang duduk di DPRD Jember periode 2014-2019 tersebut juga enggan melakukan pengendalian tembakau dengan dalih Kabupaten Jember adalah kota tembakau.
Saat ditelusuri pelaporan dana kampanye di KPU Jember, tidak ada perusahaan tembakau atau industri rokok yang memberikan sumbangan secara resmi kepada partai politik pada Pemilu 2014 dan laporan dana awal kampanye parpol pada 2019 juga tidak ada.
"Sejauh ini tidak ada partai politik yang mendapatkan sumbangan dari industri rokok dan tembakau di Jember, karena sumbangan dana kampanye biasanya berasal dari iuran anggota, sumbangan perseorangan atau lembaga tidak mengikat yang bukan dari industri rokok/tembakau," kata Komisioner KPU Jember Ahmad Hanafi.
Ia menilai, industri rokok dan tembakau di Jember secara resmi tidak akan berani memberikan sumbangan kepada partai politik atau politisi, karena hal itu dapat mempengaruhi citra perusahaan.
Kalaupun toh ada, sumbangan itu diberikan secara perseorangan dari pengusaha tembakau kepada politisi hanya sebatas simpati dan bukan atas nama lembaga, namun untuk hal itu ia tidak tahu pasti dan hanya menduga.
Sementara anggota Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Timur yang juga Ketua Asosiasi Petani Tembakau Kasturi di Kabupaten Jember Abdurahman mengakui potensi sektor pertembakauan cukup besar untuk mendongkrak perolehan suara para politikus yang akan maju dalam Pemilu Legislatif 2019.
Ia mengatakan, jumlah warga Jember yang bekerja produksi on farm dan off farm sektor pertembakauan cukup besar karena banyak sektor perkebunan di Jember, sehingga wajar kalau para calon legislatif berlomba-lomba untuk mendapatkan dukungan dari petani, buruh, dan pekerja di sektor pertembakauan.
"Persoalan memilih wakil rakyat diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing pribadi dan tidak ada kontrak politik yang dibuat oleh petani tembakau dengan politikus, sehingga tidak ada keharusan petani tembakau juga memilih calon wakil rakyat yang berkecimpung di sektor pertembakauan," ujarnya.
Petani tembakau asal Kecamatan Pakusari itu juga mengatakan tidak ada kegiatan politik yang dilakukan secara bersama-sama antara politisi, industri rokok atau tembakau, dengan para petani tembakau.
Abdurahman membenarkan para politisi datang ke rumah-rumah petani tembakau untuk mencari dukungan dan simpati, namun APTI Jawa Timur tetap bersikap netral terkait Pemilu 2019 dan tidak ada instruksi untuk mendukung partai politik atau politisi manapun karena sepenuhnya diserahkan masing-masing hati nurani pemilih.
Potensi mendulang suara di sektor pertembakauan juga diakui oleh pengusaha eksportir tembakau yang terjun menjadi politikus di Partai Demokrat Jember, yakni Agusta Jaka Purwana yang mengatakan Kabupaten Jember tidak lepas dari sektor perkebunan yang didominasi komoditas tembakau.
Basis massa di sektor pertembakauan juga sering dilirik oleh calon kepala daerah, sehingga tidak jarang para kandidat pemimpin yang melakukan kampanye di kantong-kantong tembakau di Kabupaten Jember.
Melihat potensi massa yang cukup besar di sektor pertembakauan, Agusta yang menjabat sebagai Direktur Umum dan SDM Koperasi Tarutama Nusantara (TTN) yang merupakan perusahaan swasta yang bergerak di bidang ekspor tembakau cerutu Jember itu juga tertarik terjun ke politik.
Jumlah karyawan yang bekerja di sektor produksi on farm dan off farm di TTN sekitar 7.000 orang dan hal tersebut diakui nya menjadi modal awal bagi untuk maju sebagai calon anggota legislatif di DPRD Jember pada Pemilu 2019.
"Saya sudah memiliki basis massa untuk mendapatkan suara di kalangan pekerja TTN dan belum lagi sektor perkebunan di PTPN yang juga memiliki hubungan baik dengan TTN. Saya maju menjadi wakil rakyat bukan untuk mencari penghasilan atau pekerjaan, karena secara perekonomian sudah tercukupi di TTN," ucap Sekretaris DPC Partai Demokrat Jember itu.
Ia mengatakan motivasi yang mendorongnya maju sebagai caleg DPRD Jember karena ingin memberikan manfaat yang lebih kepada masyarakat, terutama sektor pertembakauan karena selama ini belum ada anggota dewan dari pengusaha tembakau sekaligus enterpreneurship.
Caleg DPRD dari Partai Demokrat itu memiliki program yang dtawarkan yakni ingin meningkatkan sektor pertembakauan dengan membuat sebuah peraturan daerah yang berpihak kepada petani tembakau dan meningkatkan perekonomian Jember dari sektor tembakau, serta membuat perda untuk memberikan motivasi kewirausahaan kepada pemuda seiring juga dengan jabatannya sebagai Ketua HIPMI Jember.
Secara terang-terangan, ia mengaku mendapat sumbangan dana dari TTN untuk maju menjadi caleg di daerah pemilihan (Dapil) 3, namun tidak merinci berapa besarnya dana yang diberikan perusahaan tembakau yang bergerak di bidang ekspor tersebut.
"Hal tersebut sebagai kewajaran bahwa TTN memberikan sumbangan dana untuk maju dalam Pemilu Legislatif 2019, karena saya bekerja di sana sebagai Direktur Umum dan SDM. Hal serupa juga dilakukan pada saat direksi yang lain, yakni Hesti, menjadi politikus PDI Perjuangan yang maju sebagai caleg pada Pemilu 2004," ujarnya.
Berdasarkan pengakuannya, dalam sumbangan tersebut tidak ada kontrak politik antara perusahaan tembakau cerutu ekspor dengan politikus dari Partai Demokrat, karena pemberian sumbangan dana itu sifanya tidak mengikat.
Namun, dalam penjelasannya program kerja yang akan diprioritaskan saat terpilih nanti, Agusta ingin mendongkrak kontribusi sektor tembakau terutama cerutu pada pendapatan daerah di Jember, termasuk menjadikan ikon Jember tidak hanya sebagai kota tembakau, namun kota cerutu.
Ia juga mengatakan, TTN tidak pernah memberikan sumbangan dana atau dana sosial (CSR) kepada partai politik karena selama ini CSR-nya fokus pada persoalan pendidikan yang menjadi prirotas utama untuk mencerdaskan bangsa.
Saat ditanya komitmen untuk dampak negatif dari tembakau berupa rokok dan disodorkan data tingginya kasus katastropik di Jember, Agusta mengaku akan meningkatkan ruang terbuka hijau dan menyediakan kawasan tanpa rokok di sejumlah fasilitas umum sebagai dampak negatif rokok guna menekan jumlah penyakit akibat rokok yang terus betambah di Kabupaten Jember tersebut melalui peraturan daerah.
Sejumlah politikus yang maju dalam Pemilu 2019 mengaku tidak bisa berbuat banyak untuk melakukan pengendalian tembakau di Jember dan mereka seakan tutup mata dengan data banyaknya jumlah penderita katastropik yang meregang nyawa setiap hari akibat asap rokok tersebut.
Dampak Kesehatan Masyarakat
Memang sejauh ini tidak ada satupun area di Kabupaten Jember yang ditetapkan sebagai kawasan tanpa rokok (KTR) berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jember dan kawasan KTR hanya ada di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember (Unej).
Namun, instansi tersebut sudah merancang tiga peraturan daerah (perda) mengenai lingkungan, yakni Raperda Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Raperda Pengelolaan Persampahan, dan Raperda Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Menurut Kepala DLH Jember Arismaya, instansinya juga akan memunculkan kawasan tanpa rokok (KTR) dalam Raperda Ruang Terbuka Hijau sebagai upaya memberikan perlindungan masyarakat terhadap bahaya asap rokok, karena di Jember secara resmi belum ada satu pun KTR.
Ia juga berharap para wakil rakyat yang duduk di DPRD Jember mendukung rancangan perda tersebut, yang salah satunya untuk memberikan rasa nyaman kepada masyarakat tanpa asap rokok melalui KTR karena meningkatkan derajat kesehatan masyarakat itu juga sangat penting.
Sementara akademisi kesehatan Universitas Jember (Unej) Irma Prasetyowati mengaku prihatin dengan para politikus yang masih belum memiliki komitmen yang kuat untuk melakukan pengendalian tembakau melalui kebijakannya di Kabupaten Jember.
"Para pemegang kebijakan baik eksekutif dan legislatif seharusnya berani untuk membuat kebijakan yang berdampak positif bagi masyarakat seperti seperti peningkatkan derajat kesehatan melalui penerapan KTR," tuturnya.
Kabupaten Jember memang salah satu produsen tembakau yang cukup besar di Indonesia, namun para wakil rakyat seharusnya berani untuk mengendalikan tembakau dengan melihat kemanfaatan bagi masyarakat cukup besar daripada mudharatnya.
"Masyarakat akan memilih wakil rakyat dengan memperhatikan sejumlah program yang ditawarkan para poltisi dan rekam jejaknya, sehingga kalau mereka tidak memiliki program yang bermanfaat bagi masyarakat, terutama meningkatkan derajat kesehatannya, maka tidak akan dipilih," katanya.
Berbagai penelitian tentang rokok menjadi faktor risiko terhadap penyakit tertentu yang dapat menyebabkan kematian seharusnya menjadi perhatian para pemegang kebijakan baik yang berada di birokrasi Pemkab Jember maupun wakil rakyat yang duduk di DPRD Jember.
Ia mengatakan orang tua yang merokok atau anak yang terpapar asap rokok juga berpengaruh pada tumbuh kembang anak hingga menyebabkan stunting yakni mengalami kekerdilan dan kecerdasan anak (IQ) berkurang.
Jumlah kasus stunting pada tahun 2017 berdasarkan Dinas Kesehatan Jember tercatat prevalensi stunting sebesar 17,73 persen atau sebanyak 29.020 balita yang tersebar hampir merata di 31 kecamatan di Jember dan berdasarkan hasil survei yang dilakukan Dinkes sebanyak 30 persen balita dari 180.000 balita di Jember masuk kategori stunting selama beberapa tahun terakhir.
"Isu kesehatan publik berkaitan dengan rokok menjadi isu yang penting untuk mendapat perhatian para politikus yang akan maju pada Pemilu 2019 karena saat ini kesadaran masyarakat untuk hidup sehat cukup tinggi," ucap Dekan FKM Unej itu.
Namun, justru sebaliknya para politikus Jember enggan untuk melakukan pengendalian tembakau dengan dalih Jember kota tembakau dan tingginya jumlah pekerja yang terserap di sektor pertembakauan. Mereka tidak menyadari bahwa ancaman kesehatan masyarakat yang akan menjadi korban.
Data tingginya jumlah warga Jember yang menderita katastropik akibat terpapar rokok juga diabaikan para politisi, padahal mereka mengatasnamakan rakyat untuk bisa mendapatkan kursi di DPRD Jember.
Irma berharap para politisi berani membuat kebijakan yang memperjuangkan peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan mengendalikan tembakau sebagai bahan untuk rokok, karena rokok menjadi salah satu faktor risiko berbagai penyakit yang dapat menyebabkan kematian dan menurunkan derajat kesehatan masyarakat.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Umum Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Prijo Sidipratomo saat dihubungi dari Jember yang menyatakan bahwa politikus yang menjadi anggota DPRD Kabupaten Jember memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) dengan memperhatikan kepentingan isu kesehatan masyarakat.
"Pengendalian tembakau di Jember juga harus dilakukan demi kelangsungan sumber daya manusia (SDM) yang sehat, pengurangan angka kemiskinan, dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs)," katanya.
Berdasarkan data BPS Jember tercatat angka kemiskinan meningkat, yakni pada tahun 2016 tercatat persentase jumlah penduduk miskin di Jember sebesar 10,97 persen, sedangkan pada tahun 2017 naik menjadi 11,00 persen.
Secara absolut, jumlah penduduk miskin Kabupaten Jember yang semula berjumlah 265,10 ribu jiwa pada tahun 2016, meningkat menjadi 266,90 ribu jiwa pada tahun 2017.
Ia mengatakan, banyak masyarakat kurang mampu yang menjadi konsumen rokok, bahkan rokok menjadi pengeluaran rumah tangga nomor dua setelah beras. Kondisi tersebut juga memprihatinkan dan seharusnya para pembuat kebijakan bisa memberikan penjelasan kepada masyarakat bahwa dengan tidak merokok, maka uangnya dapat digunakan untuk membeli kebutuhan yang primer.
"Pertumbuhan anak-anak menjadi rentan kalau tidak dilakukan upaya pengendalian tembakau di Jember, sehingga para politisi juga harus melihat dampak negatif bisnis tembakau yang akan merugikan kesehatan dan mengancam generasi bangsa," katanya.
Cukup ironis, berdasarkan data BPS Jember hasil Susenas 2017 tercatat jumlah perokok anak (5-17 tahun) berdasarkan perilaku merokok tembakau tercatat anak-anak yang merokok setiap hari sebanyak 1,89 persen dan merokok tidak setiap hari sebanyak 0,35 persen dengan jumlah batang rokok yang dihisap per minggu rata-rata 1,41 batang.
Sedangkan persentase pemuda (16-30 tahun) di Kabupaten Jember tercatat yang merokok setiap hari sebanyak 23,29 persen dan pemuda yang merokok tidak setiap hari sebanyak 3,59 persen dengan jumlah batang rokok yang dihisap per minggu rata-rata 17,04 batang.
Tingginya jumlah perokok tersebut juga selaras dengan peningkatan jumlah warga miskin di Kabupaten Jember yang mengalami peningkatan dari tahun 2016 sebanyak 265,10 ribu jiwa menjadi 266,90 ribu jiwa pada tahun 2017.
Kalau dihitung secara cermat, lanjut dia, pemasukan pendapatan dari sektor pertembakauan tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan masyarakat akibat menderita berbagai penyakit katastropik yang disebabkan oleh rokok.
Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO), tembakau adalah produk yang setiap tahun mengakibatkan lebih dari 7 juta kematian dan kerugian ekonomi sebesar 1,4 triliun dolar Amerika Serikat, dihitung dari biaya perawatan dan hilangnya produktivitas karena kehilangan hari kerja.
Secara nasional, Indonesia merupakan negara dengan jumlah pria perokok tertinggi di dunia berdasarkan data The Tobacco Atlas 2015 dan ironisnya jumlah perokok mulai dari usia anak atau remaja juga mengalami peningkatan.
Data Global Youth Tobacco Survei (GYTS) tahun 2014 menunjukkan, prevalensi perokok usia 13-15 tahun di Indonesia mencapai 20,3 persen, bahkan WHO pun sebelumnya menyatakan konsumsi produk tembakau sebagai penghalang pencapaian Millennium Development Goals dan kini menghambat upaya SDGs.
Prijo meminta para politisi Jember yang akan bertarung di tahun politik 2019 tidak hanya berdiam diri dan tutup mata dengan semakin banyaknya warga yang sakit akibat rokok di wilayah setempat, karena masyarakat yang akan menjadi korban dari mengguritanya bisnis tembakau tersebut. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
Kabupaten Jember dikenal dengan wilayah pertanian tembakau terbaik dan termasyur di dunia, bahkan pengusaha cerutu di seluruh dunia menjuluki Jember sebagai "la tierra prometadora" atau tanah yang menjanjikan.
Dengan potensi alam dan kondisi tanah yang baik, Kabupaten Jember mampu menghasilkan tembakau dengan kualitas yang sangat tinggi yang diekspor, bahkan kepopuleran tembakau asal Jember sudah mendunia sejak abad ke-19.
Berdasarkan data Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Jember tercatat luas lahan tembakau berbagai jenis di wilayah setempat pada tahun 2017 mencapai 8.346 hektare, namun pada tahun 2018 diprediksi bertambah karena harga tembakau cukup bagus, sehingga banyak petani yang menanam tembakau.
Namun, di sisi lain, jumlah warga yang sakit akibat rokok juga terus bertambah di Kabupaten Jember. Berdasarkan data dari BPJS Kesehatan Jember, jumlah pasien katastropik, salah satunya disebabkan karena merokok aktif dan pasif, yang berobat dengan menggunakan kartu BPJS Kesehatan selama 2017 tercatat sebanyak 25.682 orang dengan jumlah pasien penderita jantung terbanyak yakni 18.166 orang.
Sedangkan data pasien katastropik yang ditangani BPJS Kesehatan sejak Januari hingga Agustus 2018 tercatat 12.563 orang, sehingga ada kecenderungan trennya naik.
"Tingginya jumlah pasien katastropik itu menyedot anggaran yang cukup besar di BPJS, karena membutuhkan biaya yang cukup banyak, sehingga menyebabkan anggaran BPJS defisit," kata Kepala BPJS Kesehatan Cabang Jember Tanya Rahayu.
Menurut ia, jumlah penderita katastropik terbanyak yakni penyakit jantung sebanyak 18.166 kasus, kemudian kanker menduduki peringat kedua dengan jumlah 2.897 kasus, dan ketiga adalah stroke sebanyak 2.600 kasus.
Data penderita katastropik yang rawat inap dan rawat jalan di RSD dr Soebandi Jember selama tahun 2017 sebanyak 36.032 pasien dan data sejak Januari hingga September 2018 mencapai 29.757 orang, padahal di Jember terdapat tiga RSD milik pemerintah dan lebih dari lima rumah sakit swasta.
Secara nasional, Komite Nasional Kajian Obat dan Farmakoterapi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Masfar Salim mengatakan sebanyak 30 persen anggaran BPJS Kesehatan atau sebesar Rp30 triliun habis untuk membiayai penyakit katastropik atau penyakit mematikan akibat komplikasi yang salah satunya disebabkan oleh rokok, seperti jantung, kanker, hingga gagal ginjal.
Data Kementerian Kesehatan tahun 2016 mencatat beban penyakit katastropik menyerap beban anggaran Rp1,69 triliun atau 29,67 persen dan banyaknya pasien yang berobat membuat beban biaya JKN terserap, kemudian berdasarkan Badan Litbangkes menyebutkan biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan penyakit yang terkait rokok mencapai 2,17 miliar dollar Amerika Serikat atau mendekati 2,5 persen gross domestic product (GDP).
Tingginya jumlah pasien katastropik yang salah satunya diakibatkan karena merokok tersebut tidak banyak diketahui oleh anggota DPRD Jember, kendati mereka cukup prihatin banyaknya kasus tersebut.
Namun, saat ditanya komitmen untuk melakukan pengendalian tembakau dalam kebijakan peraturan daerah untuk menekan kasus penderita katastropik, mereka masih ragu-ragu karena khawatir tidak mendapat suara dari petani tembakau pada Pemilu 2019.
Anggota DPRD Jember dari Partai Kebangkitan Bangsa Imam Suyuti mengatakan, potensi pemilih dari sektor pertembakauan cukup besar karena Kabupaten Jember dikenal sebagai kota tembakau, sehingga ia juga bergerak mendulang suara dari petani tembakau.
Politisi yang juga petani dan pedagang tembakau Jember itu maju pada Pemilu 2014 dengan mendapatkan perolehan suara sebanyak 5.986 suara berdasarkan data KPU Jember dan mengklaim sumbangan perolehan suara yang didapatkan dari petani dan pedagang tembakau cukup banyak, kendati tidak tahu jumlah pastinya.
Saat kampanye untuk menarik simpati masyarakat, terutama petani dan pedagang tembakau, wakil rakyat yang duduk di Komisi B DPRD Jember itu juga mengangkat isu keberpihakan kepada petani tembakau.
"Keberpihakan di sektor pertembakauan menjadi salah satu kunci untuk mendongkrak perolehan suara, sehingga saya juga berharap petani dan pedagang tembakau juga memilih saya untuk duduk kembali pada periode 2019-2023," katanya.
Ketika ditanya apakah pernah mendapat sumbangan dana kampanye dari pengusaha tembakau atau industri rokok, Imam Suyuti mengaku tidak pernah menerimanya, karena modal kampanye yang didapatkan berasal dari penghasilannya sebagai petani dan pedagang tembakau.
Politikus yang maju kembali pada Pemilu 2019 itu juga optimistis bisa mendapatkan dukungan yang besar dari petani dan pedagang tembakau di Jember, sehingga ia pun tidak berani menyampaikan isu pengendalian tembakau kepada masyarakat.
"Isu pengendalian tembakau di Jember bukan isu yang populis, sehingga mereka khawatir tidak mendapatkan simpati dari petani tembakau karena sektor pertembakauan merupakan basis massa yang bisa diandalkan untuk mendongkrak suara pada Pemilu 2019," katanya.
Hal senada juga disampaikan oleh anggota DPRD Jember dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Iwan Suyitno, yang mengaku mendapatkan sumbangan perolehan suara dari sektor pertembakauan di Kabupaten Jember.
Orang tuanya yang menjadi pengusaha di sektor pertembakuan memiliki sekitar 1.000 hingga 1.500 tenaga kerja yang bekerja di lahan pertanian, gudang dan lainnya, sehingga ia optimistis bisa mendapatkan suara dari pekerja tersebut.
"Saya hidup dari sektor tembakau dan pertanian, sehingga visi misi saya dalam kampanye untuk kepentingan pertanian dan pertembakauan di Jember, karena sektor tersebut mendongkrak perolehan suara pada Pemilu 2014 sekitar 2.000 suara," ujarnya.
Kendati berpihak pada sektor pertembakauan, ia juga mengaku tidak pernah mendapat sumbangan dana kampanye dari perusahaan tembakau atau industri rokok, karena modal kampanye didapatkan dari hasilnya bertani tembakau dan komoditas lainnya.
Anggota DPRD Jember yang juga dari PDI Perjuangan Lukman Winarno mengatakan, partainya tidak pernah mendapat sumbangan dana kampanye dari industri rokok atau perusahaan tembakau, karena hal tersebut mungkin tidak ada manfaatnya bagi perusahaan rokok atau tembakau tersebut.
"Partai politik senang-senang saja disumbang oleh pihak manapun, namun selama mejabat sebagai pengurus PDI Perjuangan selama beberapa tahun, tidak pernah ada sumbangan dari perusahaan rokok atau tembakau," katanya.
Namun, ia tidak menampik kemungkinan adanya perusahaan rokok atau tembakau yang memberikan sumbangan secara pribadi kepada para politisi, karena faktor kekerabatan, misalnya politisi punya hubungan keluarga dengan pengusaha tembakau dan kedekatan secara personal saja, seperti berkawan baik dengan pengusaha tembakau, namun kalau sumbangan yang berkonsekuensi dalam kepentingan politik sepertinya tidak ada.
Lukman mengaku tidak tahu persis siapa politisi yang mendapatkan sumbangan secara pribadi dari perusahaan rokok atau tembakau di Jember, karena hal tersebut hanya dugaan, sehingga tidak tahu benar-benar ada atau tidak. Namun, peluang sumbangan yang mengalir ke politisi dari sektor pertembakauan itu kemungkinan ada, mengingat Jember adalah kota tembakau.
Dari 50 anggota dewan di Jember, hanya dua politikus yang berasal dari petani dan pedagang tembakau, yakni Imam Suyuti (PKB) dan Iwan Suyitno (PDI Perjuangan) berdasarkan wawancara dan pengakuan mereka, namun sebagian besar para wakil rakyat yang duduk di DPRD Jember periode 2014-2019 tersebut juga enggan melakukan pengendalian tembakau dengan dalih Kabupaten Jember adalah kota tembakau.
Saat ditelusuri pelaporan dana kampanye di KPU Jember, tidak ada perusahaan tembakau atau industri rokok yang memberikan sumbangan secara resmi kepada partai politik pada Pemilu 2014 dan laporan dana awal kampanye parpol pada 2019 juga tidak ada.
"Sejauh ini tidak ada partai politik yang mendapatkan sumbangan dari industri rokok dan tembakau di Jember, karena sumbangan dana kampanye biasanya berasal dari iuran anggota, sumbangan perseorangan atau lembaga tidak mengikat yang bukan dari industri rokok/tembakau," kata Komisioner KPU Jember Ahmad Hanafi.
Ia menilai, industri rokok dan tembakau di Jember secara resmi tidak akan berani memberikan sumbangan kepada partai politik atau politisi, karena hal itu dapat mempengaruhi citra perusahaan.
Kalaupun toh ada, sumbangan itu diberikan secara perseorangan dari pengusaha tembakau kepada politisi hanya sebatas simpati dan bukan atas nama lembaga, namun untuk hal itu ia tidak tahu pasti dan hanya menduga.
Sementara anggota Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Timur yang juga Ketua Asosiasi Petani Tembakau Kasturi di Kabupaten Jember Abdurahman mengakui potensi sektor pertembakauan cukup besar untuk mendongkrak perolehan suara para politikus yang akan maju dalam Pemilu Legislatif 2019.
Ia mengatakan, jumlah warga Jember yang bekerja produksi on farm dan off farm sektor pertembakauan cukup besar karena banyak sektor perkebunan di Jember, sehingga wajar kalau para calon legislatif berlomba-lomba untuk mendapatkan dukungan dari petani, buruh, dan pekerja di sektor pertembakauan.
"Persoalan memilih wakil rakyat diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing pribadi dan tidak ada kontrak politik yang dibuat oleh petani tembakau dengan politikus, sehingga tidak ada keharusan petani tembakau juga memilih calon wakil rakyat yang berkecimpung di sektor pertembakauan," ujarnya.
Petani tembakau asal Kecamatan Pakusari itu juga mengatakan tidak ada kegiatan politik yang dilakukan secara bersama-sama antara politisi, industri rokok atau tembakau, dengan para petani tembakau.
Abdurahman membenarkan para politisi datang ke rumah-rumah petani tembakau untuk mencari dukungan dan simpati, namun APTI Jawa Timur tetap bersikap netral terkait Pemilu 2019 dan tidak ada instruksi untuk mendukung partai politik atau politisi manapun karena sepenuhnya diserahkan masing-masing hati nurani pemilih.
Potensi mendulang suara di sektor pertembakauan juga diakui oleh pengusaha eksportir tembakau yang terjun menjadi politikus di Partai Demokrat Jember, yakni Agusta Jaka Purwana yang mengatakan Kabupaten Jember tidak lepas dari sektor perkebunan yang didominasi komoditas tembakau.
Basis massa di sektor pertembakauan juga sering dilirik oleh calon kepala daerah, sehingga tidak jarang para kandidat pemimpin yang melakukan kampanye di kantong-kantong tembakau di Kabupaten Jember.
Melihat potensi massa yang cukup besar di sektor pertembakauan, Agusta yang menjabat sebagai Direktur Umum dan SDM Koperasi Tarutama Nusantara (TTN) yang merupakan perusahaan swasta yang bergerak di bidang ekspor tembakau cerutu Jember itu juga tertarik terjun ke politik.
Jumlah karyawan yang bekerja di sektor produksi on farm dan off farm di TTN sekitar 7.000 orang dan hal tersebut diakui nya menjadi modal awal bagi untuk maju sebagai calon anggota legislatif di DPRD Jember pada Pemilu 2019.
"Saya sudah memiliki basis massa untuk mendapatkan suara di kalangan pekerja TTN dan belum lagi sektor perkebunan di PTPN yang juga memiliki hubungan baik dengan TTN. Saya maju menjadi wakil rakyat bukan untuk mencari penghasilan atau pekerjaan, karena secara perekonomian sudah tercukupi di TTN," ucap Sekretaris DPC Partai Demokrat Jember itu.
Ia mengatakan motivasi yang mendorongnya maju sebagai caleg DPRD Jember karena ingin memberikan manfaat yang lebih kepada masyarakat, terutama sektor pertembakauan karena selama ini belum ada anggota dewan dari pengusaha tembakau sekaligus enterpreneurship.
Caleg DPRD dari Partai Demokrat itu memiliki program yang dtawarkan yakni ingin meningkatkan sektor pertembakauan dengan membuat sebuah peraturan daerah yang berpihak kepada petani tembakau dan meningkatkan perekonomian Jember dari sektor tembakau, serta membuat perda untuk memberikan motivasi kewirausahaan kepada pemuda seiring juga dengan jabatannya sebagai Ketua HIPMI Jember.
Secara terang-terangan, ia mengaku mendapat sumbangan dana dari TTN untuk maju menjadi caleg di daerah pemilihan (Dapil) 3, namun tidak merinci berapa besarnya dana yang diberikan perusahaan tembakau yang bergerak di bidang ekspor tersebut.
"Hal tersebut sebagai kewajaran bahwa TTN memberikan sumbangan dana untuk maju dalam Pemilu Legislatif 2019, karena saya bekerja di sana sebagai Direktur Umum dan SDM. Hal serupa juga dilakukan pada saat direksi yang lain, yakni Hesti, menjadi politikus PDI Perjuangan yang maju sebagai caleg pada Pemilu 2004," ujarnya.
Berdasarkan pengakuannya, dalam sumbangan tersebut tidak ada kontrak politik antara perusahaan tembakau cerutu ekspor dengan politikus dari Partai Demokrat, karena pemberian sumbangan dana itu sifanya tidak mengikat.
Namun, dalam penjelasannya program kerja yang akan diprioritaskan saat terpilih nanti, Agusta ingin mendongkrak kontribusi sektor tembakau terutama cerutu pada pendapatan daerah di Jember, termasuk menjadikan ikon Jember tidak hanya sebagai kota tembakau, namun kota cerutu.
Ia juga mengatakan, TTN tidak pernah memberikan sumbangan dana atau dana sosial (CSR) kepada partai politik karena selama ini CSR-nya fokus pada persoalan pendidikan yang menjadi prirotas utama untuk mencerdaskan bangsa.
Saat ditanya komitmen untuk dampak negatif dari tembakau berupa rokok dan disodorkan data tingginya kasus katastropik di Jember, Agusta mengaku akan meningkatkan ruang terbuka hijau dan menyediakan kawasan tanpa rokok di sejumlah fasilitas umum sebagai dampak negatif rokok guna menekan jumlah penyakit akibat rokok yang terus betambah di Kabupaten Jember tersebut melalui peraturan daerah.
Sejumlah politikus yang maju dalam Pemilu 2019 mengaku tidak bisa berbuat banyak untuk melakukan pengendalian tembakau di Jember dan mereka seakan tutup mata dengan data banyaknya jumlah penderita katastropik yang meregang nyawa setiap hari akibat asap rokok tersebut.
Dampak Kesehatan Masyarakat
Memang sejauh ini tidak ada satupun area di Kabupaten Jember yang ditetapkan sebagai kawasan tanpa rokok (KTR) berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jember dan kawasan KTR hanya ada di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember (Unej).
Namun, instansi tersebut sudah merancang tiga peraturan daerah (perda) mengenai lingkungan, yakni Raperda Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Raperda Pengelolaan Persampahan, dan Raperda Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Menurut Kepala DLH Jember Arismaya, instansinya juga akan memunculkan kawasan tanpa rokok (KTR) dalam Raperda Ruang Terbuka Hijau sebagai upaya memberikan perlindungan masyarakat terhadap bahaya asap rokok, karena di Jember secara resmi belum ada satu pun KTR.
Ia juga berharap para wakil rakyat yang duduk di DPRD Jember mendukung rancangan perda tersebut, yang salah satunya untuk memberikan rasa nyaman kepada masyarakat tanpa asap rokok melalui KTR karena meningkatkan derajat kesehatan masyarakat itu juga sangat penting.
Sementara akademisi kesehatan Universitas Jember (Unej) Irma Prasetyowati mengaku prihatin dengan para politikus yang masih belum memiliki komitmen yang kuat untuk melakukan pengendalian tembakau melalui kebijakannya di Kabupaten Jember.
"Para pemegang kebijakan baik eksekutif dan legislatif seharusnya berani untuk membuat kebijakan yang berdampak positif bagi masyarakat seperti seperti peningkatkan derajat kesehatan melalui penerapan KTR," tuturnya.
Kabupaten Jember memang salah satu produsen tembakau yang cukup besar di Indonesia, namun para wakil rakyat seharusnya berani untuk mengendalikan tembakau dengan melihat kemanfaatan bagi masyarakat cukup besar daripada mudharatnya.
"Masyarakat akan memilih wakil rakyat dengan memperhatikan sejumlah program yang ditawarkan para poltisi dan rekam jejaknya, sehingga kalau mereka tidak memiliki program yang bermanfaat bagi masyarakat, terutama meningkatkan derajat kesehatannya, maka tidak akan dipilih," katanya.
Berbagai penelitian tentang rokok menjadi faktor risiko terhadap penyakit tertentu yang dapat menyebabkan kematian seharusnya menjadi perhatian para pemegang kebijakan baik yang berada di birokrasi Pemkab Jember maupun wakil rakyat yang duduk di DPRD Jember.
Ia mengatakan orang tua yang merokok atau anak yang terpapar asap rokok juga berpengaruh pada tumbuh kembang anak hingga menyebabkan stunting yakni mengalami kekerdilan dan kecerdasan anak (IQ) berkurang.
Jumlah kasus stunting pada tahun 2017 berdasarkan Dinas Kesehatan Jember tercatat prevalensi stunting sebesar 17,73 persen atau sebanyak 29.020 balita yang tersebar hampir merata di 31 kecamatan di Jember dan berdasarkan hasil survei yang dilakukan Dinkes sebanyak 30 persen balita dari 180.000 balita di Jember masuk kategori stunting selama beberapa tahun terakhir.
"Isu kesehatan publik berkaitan dengan rokok menjadi isu yang penting untuk mendapat perhatian para politikus yang akan maju pada Pemilu 2019 karena saat ini kesadaran masyarakat untuk hidup sehat cukup tinggi," ucap Dekan FKM Unej itu.
Namun, justru sebaliknya para politikus Jember enggan untuk melakukan pengendalian tembakau dengan dalih Jember kota tembakau dan tingginya jumlah pekerja yang terserap di sektor pertembakauan. Mereka tidak menyadari bahwa ancaman kesehatan masyarakat yang akan menjadi korban.
Data tingginya jumlah warga Jember yang menderita katastropik akibat terpapar rokok juga diabaikan para politisi, padahal mereka mengatasnamakan rakyat untuk bisa mendapatkan kursi di DPRD Jember.
Irma berharap para politisi berani membuat kebijakan yang memperjuangkan peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan mengendalikan tembakau sebagai bahan untuk rokok, karena rokok menjadi salah satu faktor risiko berbagai penyakit yang dapat menyebabkan kematian dan menurunkan derajat kesehatan masyarakat.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Umum Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Prijo Sidipratomo saat dihubungi dari Jember yang menyatakan bahwa politikus yang menjadi anggota DPRD Kabupaten Jember memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) dengan memperhatikan kepentingan isu kesehatan masyarakat.
"Pengendalian tembakau di Jember juga harus dilakukan demi kelangsungan sumber daya manusia (SDM) yang sehat, pengurangan angka kemiskinan, dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs)," katanya.
Berdasarkan data BPS Jember tercatat angka kemiskinan meningkat, yakni pada tahun 2016 tercatat persentase jumlah penduduk miskin di Jember sebesar 10,97 persen, sedangkan pada tahun 2017 naik menjadi 11,00 persen.
Secara absolut, jumlah penduduk miskin Kabupaten Jember yang semula berjumlah 265,10 ribu jiwa pada tahun 2016, meningkat menjadi 266,90 ribu jiwa pada tahun 2017.
Ia mengatakan, banyak masyarakat kurang mampu yang menjadi konsumen rokok, bahkan rokok menjadi pengeluaran rumah tangga nomor dua setelah beras. Kondisi tersebut juga memprihatinkan dan seharusnya para pembuat kebijakan bisa memberikan penjelasan kepada masyarakat bahwa dengan tidak merokok, maka uangnya dapat digunakan untuk membeli kebutuhan yang primer.
"Pertumbuhan anak-anak menjadi rentan kalau tidak dilakukan upaya pengendalian tembakau di Jember, sehingga para politisi juga harus melihat dampak negatif bisnis tembakau yang akan merugikan kesehatan dan mengancam generasi bangsa," katanya.
Cukup ironis, berdasarkan data BPS Jember hasil Susenas 2017 tercatat jumlah perokok anak (5-17 tahun) berdasarkan perilaku merokok tembakau tercatat anak-anak yang merokok setiap hari sebanyak 1,89 persen dan merokok tidak setiap hari sebanyak 0,35 persen dengan jumlah batang rokok yang dihisap per minggu rata-rata 1,41 batang.
Sedangkan persentase pemuda (16-30 tahun) di Kabupaten Jember tercatat yang merokok setiap hari sebanyak 23,29 persen dan pemuda yang merokok tidak setiap hari sebanyak 3,59 persen dengan jumlah batang rokok yang dihisap per minggu rata-rata 17,04 batang.
Tingginya jumlah perokok tersebut juga selaras dengan peningkatan jumlah warga miskin di Kabupaten Jember yang mengalami peningkatan dari tahun 2016 sebanyak 265,10 ribu jiwa menjadi 266,90 ribu jiwa pada tahun 2017.
Kalau dihitung secara cermat, lanjut dia, pemasukan pendapatan dari sektor pertembakauan tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan masyarakat akibat menderita berbagai penyakit katastropik yang disebabkan oleh rokok.
Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO), tembakau adalah produk yang setiap tahun mengakibatkan lebih dari 7 juta kematian dan kerugian ekonomi sebesar 1,4 triliun dolar Amerika Serikat, dihitung dari biaya perawatan dan hilangnya produktivitas karena kehilangan hari kerja.
Secara nasional, Indonesia merupakan negara dengan jumlah pria perokok tertinggi di dunia berdasarkan data The Tobacco Atlas 2015 dan ironisnya jumlah perokok mulai dari usia anak atau remaja juga mengalami peningkatan.
Data Global Youth Tobacco Survei (GYTS) tahun 2014 menunjukkan, prevalensi perokok usia 13-15 tahun di Indonesia mencapai 20,3 persen, bahkan WHO pun sebelumnya menyatakan konsumsi produk tembakau sebagai penghalang pencapaian Millennium Development Goals dan kini menghambat upaya SDGs.
Prijo meminta para politisi Jember yang akan bertarung di tahun politik 2019 tidak hanya berdiam diri dan tutup mata dengan semakin banyaknya warga yang sakit akibat rokok di wilayah setempat, karena masyarakat yang akan menjadi korban dari mengguritanya bisnis tembakau tersebut. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018