Surabaya (Antara) - Kecelakaan beruntun yang melibatkan "Kuda Besi" dengan pengendara jalan raya di perlintasan kereta api (KA)  telah terjadi dalam sepekan terakhir di Surabaya, Jawa Timur.  Salah satu kejadian itu adalah peristiwa di kawasan Pagesangan Surabaya sehingga mengakibatkan satu keluarga tewas.

Benturan antarpengguna jalan raya dengan KA ini bisa saja terjadi di tempat lain, tidak hanya di wilayah Surabaya. Penyebabnya juga bisa menynagkut berbagai aspek, seperti keteledoran penjaga perlintasan, atau tidak menutup kemungkinan pula akibat kecerobohan masyarakat pengguna perlintasan sebidang. 

Seusai aturan hukum, keterlibatan kuda besi memang tidak bisa disalahkan dalam setiap peristiwa yang terjadi di perlintasan KA, meski pandangan umum seolah-olah hal itu menjadi tanggung jawab PT KAI. 

Menyadari pandangan itu, PT KAI selalu gencar melakukan sosialisasi keselamatan perjalanan KA, salah satunya keselamatan di pelintasan sebidang antara jalur KA dan jalan raya. 

Sebab, tidak semua pengguna jalan raya atau masyarakat memiliki kesadaran dan pemahaman yang sama terkait aturan yang berlaku, sehingga perlu konsistensi dalam melakukan sosialisasi keselamatan.

 Melalui aturan Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) Pasal 114, pemerintah juga ingin menekan kasus kecelakaan di pelintasan KA sebidang, dan menyatakan dalam pelintasan sebidang antara jalur KA dan jalan, pengemudi kendaraan wajib berhenti ketika sinyal sudah berbunyi dan palang pintu KA sudah mulai ditutup, dan wajib mendahulukan kereta api.

Aturan itu lagi-lagi terfokus pada pengendara jalan raya, yang artinya bahwa keberadaan kereta api mutlak tidak bisa disalahkan. 
Senada dengan aturan itu, UU No 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Pasal 90 poin d, juga menyatakan penyelenggara prasarana perkeretaapian berhak dan berwenang mendahulukan perjalanan kereta api di perpotongan sebidang dengan jalan.

Pasal 124 juga menyatakan pada perpotongan sebidang antara jalur kereta api dan jalan, pemakai jalan wajib mendahulukan perjalanan kereta api. 
Aturan melewati pelintasan KA, juga terdapat dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 114 dan dalam Pasal 296.

Bunyi pasal itu, bahwa setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor pada pelintasan antara kereta api dan jalan, namun tidak berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup, maka akan dipidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750 ribu.

Manager Humas PT KAI Daop 8 Surabaya Gatut Sutiyatmoko mengakui, kekuatan hukum kereta api dalam melintas di perlintasan memang sudah ada. Sebab,  PT KAI sebagai operator dan penyelenggara sarana perkeretaapian, wajib bertanggung jawab mengantarkan para penumpang KA dengan selamat hingga stasiun tujuan sesuai aturan yang berlaku.

"Kami menyadari perjalanan kereta api memang kompleks, sebab melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan," katanya. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman bersama akan berbagai aturan yang mengacu pada keselamatan perjalanan KA khususnya di pelintasan sebidang.

Perlintasan Ilegal

Berkaca dari peristiwa kecelakaan beruntun kereta api di beberapa lokasi di Surabaya, mayoritas terjadi di perlintasan ilegal atau tidak resmi.  Contohnya, kecelakaan yang menimpa mobil Pajero Sport bernomor polisi W 1165 YV dan KA Sri Tanjung di pelintasaan kereta api sebidang Jalan Pagesangan, Surabaya, Minggu (21/10) yang menewaskan satu keluarga.
 
Gatut mengatakan, perlintasan ilegal itu ada karena adanya pertumbuhan properti atau perumahan warga yang keberadaannya di sekitar perlintasan, sehingga pengembang atau warga terpaksa membuat perlintasan sebidang yang melewati jalur kereta api.

Berdasarkan catatan Daerah Operasi (Daop) 8 Surabaya, jumlah perlintasan di wilayah setempat dari hasil pantauan ada sebanyak 563, rinciannya perlintasan dijaga PT KAI sebanyak 133, perlintasan dijaga Dishub sebanyak 32, perlintasan tidak sebidang (fly/underpass) sebanyak 30, dan perlintasan tidak dijaga atau tidak resmi sebanyak 368 perlintasan.

Artinya, jumlah perlintasan ilegal di wilayah Daop 8 Surabaya hampir 60 persen dari total perlintasan yang ada.

Gatut mengatakan, sesuai aturan PT KAI, apabila jalur perlintasan KA itu frekuensinya padat, idealnya dibuat tidak sebidang atau bisa membangun flyover (jalan layang) maupun underpass (jalan bawah), sehingga pengguna jalan raya akan aman dan menekan angka kecelakaan.

Lantas, apakah pembangunan jalan layang atau Jalan bawah di sekitar perlintasan KA itu menjadi kewenangan PT KAI ?, Gatut merujuk pada aturan PP 56 tahun 2009 yang menyebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas pelintasan sebidang. 

Pasal 79 juga menyebutkan bahwa menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangannya melakukan evaluasi secara berkala terhadap perpotongan sebidang.

 "Artinya, pembangunan prasarana perkeretaapian merupakan wewenang dari penyelenggara prasarana perkeretaapian dalam hal ini pemerintah daerah setempat," katanya.

Namun demikian, apabila berdasarkan hasil evaluasi jalur perlintasan atau perpotongan itu berbahaya dan tidak layak, seyogianya harus ditutup, dan hal itu juga kewajiban pemerintah sebagaimana aturan yang berlaku.

"PT KAI hanya sebagai operator dan penyelenggara sarana perkeretaapian, tidak wajib bertanggung jawab atas pembangunan jalan raya yang melintasi perlintasan KA," katanya.

Meski demikian, disadari atau tidak,  keselamatan perjalanan kereta api maupun lalu lintas jalan umum merupakan tanggung jawab bersama.

Artinya tidak bisa memberatkan atau menyalahkan satu pihak, dan apabila setiap individu mempunyai pemahaman dan kesadaran akan tanggung jawab bersama, maka keselamatan yang diharapkan niscaya dapat diwujudkan. (*)






 

Pewarta: A Malik Ibrahim

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018