Malang (Antaranews Jatim) - Puluhan anak-anak muda asal Taiwan mengunjungi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan berbagai pengalaman dalam upayanya melestarikan bahasa daerah (bahasa ibu) yang kini mulai ditinggalkan.
"Menggunakan bahasa daerah (bahasa ibu) menjadi sesuatu yang jarang lagi dilakukan oleh para remaja. Anak muda zaman sekarang cenderung gengsi memakainya. Mereka akan lebih memilih menggunakan bahasa nasional dalam kehidupan sehari-hari," kata salah seorang anggota Meinong People Assosiation (MPA) Taiwan Sabrina di sela kunjungannya di UMM di Malang, Jawa Timur, Minggu.
Ia mengaku hal yang sama terjadi juga di Taiwan. Fenomena ini kemudian menarik MPA Taiwan, yakni sebuah gerakan kampanye masyarakat tentang kebudayaan Meinong, sebuah kota di Taiwan untuk membuat anak muda kembali mencintai bahasa daerahnya, Bahasa Hakka.
Sabrina yang juga pengurus kantor TransAsia Sister Assosiation Taiwan (TASAT) itu menyampaikan di tengah era modern saat ini menjadi tugas bersama untuk membuat generasi penerus bangsa mencintai budanyanya.
"Budaya, termasuk bahasa ibu mesti dilestarikan, misalnya Bahasa Jawa, karena anak-anak zaman sekarang cenderung gengsi dan malu menggunakan bahasa daerah. Jika tidak dipakai ini akan hilang," kata mantan WNI yang telah menikah dengan warga negara Taiwan dan tinggal di Meinong selama 20 tahun tersebut.
Kunjungan anak-anak muda Taiwan tersebut dikemas dalam agenda "Kajian Multidisipliner Komparasi Budaya Masyarakat Taiwan dan Indonesia".
Selain Sabrina, dalam rombongan yang berjumlah 20 orang tersebut juga ada anak-anak muda yang telah berhasil berkreasi melestarikan kebudayaan asli suku Hakka, yakni Willy, Jason, Nick dan Ryan. Keempatnya mengaku jatuh cinta setelah coba mengenal budaya Hakka lebih dalam.
"Kami mempelajari Pa in Hakka, alat musik yang mulai ditinggalkan," ujar Willy remaja berusia 15 tahun yang sudah sejak beberapa tahun terakhir menekuni rangkaian alat musik bersuara merdu yang terdiri dari 8 alat ini.
Sebelumnya, Pa in Hakka hanya dimainkan pada acara-acara adat. Namun, seiring perkembangan dan munculnya minat pada anak-anak muda, kini beberapa komunitas sedang mencoba melestarikan musik ini dengan cara yang berbeda.
"Kami menggunakannya dalam drama-drama anak muda yang dipentaskan. Meski awalnya hanya karena terpaksa mempelajari musik ini karena malas les, sekarang Pa in Hakka justru menjadi kebanggaan terbesar kami," ujar Jason sambil memperlihatkan geliat aktivitas budayanya yang diliput oleh beberapa media.
Satu semangat dengan Willy dan Jason, Nick dan Ryan juga memiliki tekad yang kuat untuk mengajak anak-anak muda mencintai bahasa Hakka. Terinspirasi dari salah seorang musisi, keduanya kemudian mengikuti bimbingan musik khusus dan serius memperdalam kemampuan bermusik dengan memasukkan lirik bahasa Hakka. Target utamanya untuk mengajak anak-anak muda di Meinong kembali mencintai bahasa sukunya.
“Kebanyakan anak muda sekarang lebih suka bahasa Mandarin, ini membuat kami prihatin. Kami kemudian memperdalam musik, membuat lagu hingga album pop dengan lirik berbahasa Hakka. Kami mulai dari musik bertema anak-anak hingga remaja," kata Ryan.
Karya album mereka yang pertama berjudul X+Y, menceritakan tentang kegalauan anak-anak yang membenci matematika dan album kedua berjudul Masa Remaja yang menceritakan dilema remaja mulai dari persoalan cinta hingga konflik dengan orang tua.
“Kami tidak main-main, lagu-lagu kami merupakan lagu pilihan yang dipilih musisi nasional dan kami menggelar konser dengan berkolaborasi bersama mereka," tambah Nick.
Apa yang dilakukan keempat remaja tersebut ternyata tidak sia-sia. Meski awalanya sempat menjadi cibiran teman-teman lantaran menggunakan "bahasa orang tua", mereka justru menjadi sosok yang menginpirasi teman-teman remaja disekitarnya.
"Mereka banyak yang kemudian tertantang dan turut bergabung dan belajar bersama," pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Lembaga Kebudayaan UMM Dr Daroe Iswatiningsih menyampaikan kunjungan MPA Taiwan itu merupakan tindak lanjut kerja sama UMM dengan berbagai lembaga di Tiongkok. Setelah memperkenalkan budaya mereka, ke-20 orang dalam rombongan tersebut akan belajar membatik dan mengenal alat musik gamelan.
"Ke depannya kita rencanakan pertukaran budaya dalam lingkup yang lebih luas," kata Daroe.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
"Menggunakan bahasa daerah (bahasa ibu) menjadi sesuatu yang jarang lagi dilakukan oleh para remaja. Anak muda zaman sekarang cenderung gengsi memakainya. Mereka akan lebih memilih menggunakan bahasa nasional dalam kehidupan sehari-hari," kata salah seorang anggota Meinong People Assosiation (MPA) Taiwan Sabrina di sela kunjungannya di UMM di Malang, Jawa Timur, Minggu.
Ia mengaku hal yang sama terjadi juga di Taiwan. Fenomena ini kemudian menarik MPA Taiwan, yakni sebuah gerakan kampanye masyarakat tentang kebudayaan Meinong, sebuah kota di Taiwan untuk membuat anak muda kembali mencintai bahasa daerahnya, Bahasa Hakka.
Sabrina yang juga pengurus kantor TransAsia Sister Assosiation Taiwan (TASAT) itu menyampaikan di tengah era modern saat ini menjadi tugas bersama untuk membuat generasi penerus bangsa mencintai budanyanya.
"Budaya, termasuk bahasa ibu mesti dilestarikan, misalnya Bahasa Jawa, karena anak-anak zaman sekarang cenderung gengsi dan malu menggunakan bahasa daerah. Jika tidak dipakai ini akan hilang," kata mantan WNI yang telah menikah dengan warga negara Taiwan dan tinggal di Meinong selama 20 tahun tersebut.
Kunjungan anak-anak muda Taiwan tersebut dikemas dalam agenda "Kajian Multidisipliner Komparasi Budaya Masyarakat Taiwan dan Indonesia".
Selain Sabrina, dalam rombongan yang berjumlah 20 orang tersebut juga ada anak-anak muda yang telah berhasil berkreasi melestarikan kebudayaan asli suku Hakka, yakni Willy, Jason, Nick dan Ryan. Keempatnya mengaku jatuh cinta setelah coba mengenal budaya Hakka lebih dalam.
"Kami mempelajari Pa in Hakka, alat musik yang mulai ditinggalkan," ujar Willy remaja berusia 15 tahun yang sudah sejak beberapa tahun terakhir menekuni rangkaian alat musik bersuara merdu yang terdiri dari 8 alat ini.
Sebelumnya, Pa in Hakka hanya dimainkan pada acara-acara adat. Namun, seiring perkembangan dan munculnya minat pada anak-anak muda, kini beberapa komunitas sedang mencoba melestarikan musik ini dengan cara yang berbeda.
"Kami menggunakannya dalam drama-drama anak muda yang dipentaskan. Meski awalnya hanya karena terpaksa mempelajari musik ini karena malas les, sekarang Pa in Hakka justru menjadi kebanggaan terbesar kami," ujar Jason sambil memperlihatkan geliat aktivitas budayanya yang diliput oleh beberapa media.
Satu semangat dengan Willy dan Jason, Nick dan Ryan juga memiliki tekad yang kuat untuk mengajak anak-anak muda mencintai bahasa Hakka. Terinspirasi dari salah seorang musisi, keduanya kemudian mengikuti bimbingan musik khusus dan serius memperdalam kemampuan bermusik dengan memasukkan lirik bahasa Hakka. Target utamanya untuk mengajak anak-anak muda di Meinong kembali mencintai bahasa sukunya.
“Kebanyakan anak muda sekarang lebih suka bahasa Mandarin, ini membuat kami prihatin. Kami kemudian memperdalam musik, membuat lagu hingga album pop dengan lirik berbahasa Hakka. Kami mulai dari musik bertema anak-anak hingga remaja," kata Ryan.
Karya album mereka yang pertama berjudul X+Y, menceritakan tentang kegalauan anak-anak yang membenci matematika dan album kedua berjudul Masa Remaja yang menceritakan dilema remaja mulai dari persoalan cinta hingga konflik dengan orang tua.
“Kami tidak main-main, lagu-lagu kami merupakan lagu pilihan yang dipilih musisi nasional dan kami menggelar konser dengan berkolaborasi bersama mereka," tambah Nick.
Apa yang dilakukan keempat remaja tersebut ternyata tidak sia-sia. Meski awalanya sempat menjadi cibiran teman-teman lantaran menggunakan "bahasa orang tua", mereka justru menjadi sosok yang menginpirasi teman-teman remaja disekitarnya.
"Mereka banyak yang kemudian tertantang dan turut bergabung dan belajar bersama," pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Lembaga Kebudayaan UMM Dr Daroe Iswatiningsih menyampaikan kunjungan MPA Taiwan itu merupakan tindak lanjut kerja sama UMM dengan berbagai lembaga di Tiongkok. Setelah memperkenalkan budaya mereka, ke-20 orang dalam rombongan tersebut akan belajar membatik dan mengenal alat musik gamelan.
"Ke depannya kita rencanakan pertukaran budaya dalam lingkup yang lebih luas," kata Daroe.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018