Bangli (Antaranews Jatim) - Sebagai objek wisata budaya bangunan kawasan Desa Penglipuran, Kabupaten Bangli, Bali, baru dikembangkan masyarakat secara swadaya sejak 2012.
Ini bisa terbaca di papan pengumuman di gerbang masuk tanda ucapan selamat yang di bawahnya terdapat prasasti peresmian Desa Penglipuran, sebagai Desa Wisata Berbasis Masyarakat yang ditandatangani Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Firmansyah Rahim pada 15 Desember 2012
"Kawasan objek wisata di sini tidak terdampak bencana gempa di Pulau Lombok, termasuk wisman tetap mengalir datang," kata pemandu wisata Desa Penglipuran, Bangli, Ali Alfayed, dalam perbincangan kepada Antarajatim di lokasi desa setempat, Kamis (9/8).
Di kawasan setempat, kata dia, terdapat 76 rumah pemukiman adat khas Bali, berdiri di atas tanah seluas 120 hektare termasuk pekarangan dan tegalan.
Pada kesempatan itu, Ali Alfayed, juga mengatakan kepada rombongan wartawan Tuban dan Bojonegoro yang datang dalam kegiatan Media Gathering Semen Indonesia itu, bahwa dirinya menjadi pemandu wisata karena magang di objek wisata itu.
"Saya mahasiswa jurusan Pariwisata Politeknik Universitas Samarinda, magang di Penglipuran selama tiga bulan sebagai pemandu wisata," ucapnya.
Keberadaan rumah atau kawasan Desa Penglipuran yang masuk objek wisata dengan hawa yang sejuk, asri itu, mengelompok. Di lokasi setempat pemukiman rumah warga berjajar apik lurus dari bawah menanjak berundak hingga ke atas.
"Di luar Penglipuran juga masih ada rumah warga lainnya tapi tidak masuk kawasan objek wisata. Kalau jumlah warganya setiap rumah rata-rata 2 kepala keluarga (KK) sampai 4 KK," ucapnya.
Sebagaimana dijelaskan seorang pemilik rumah di Penglipuran I Ketut Astika bahwa di rumahnya itu dihuni 5 KK dengan jumlah 21 jiwa yang semuanya keluarganya.
"Warga di Penglipuran bekerja sebagai petani, ada juga yang menjadi guru," ucap I Ketut Astika menambahkan.
I Ketut Astika sendiri mengaku tidak memiliki pekerjaan yang tetap, karena bekerja serabutan. "Di rumah saya ada 4 KK. Itu anak dagangan anak saya," ucap seorang warga lainnya I Wayan Alus seraya menunjukkan berbagai dagangan di rumahnya mulai minuman, juga cindera mata.
Baik menurut I Ketut Astika maupun Ali Alfayed, rumah adat di Penglipuran mengadopsi pemukiman warga di desa tetangganya yaitu Desa Bayunggede, Kecamatan Kintamani.
"Keberadaan rumah di Penglipuran mulai tertata sejak 1990," ucapnya.
Sejak masuk desa setempat kendaraan baik roda dua mapun roda empat (bus dan kendaraan roda empat ringan) berhenti di tempat parkir parkir tidak diperbolehkan masuk ke kawasan setempat.
Di jalan masuk ke desa setempat juga terdapat balai-balai tempat berkumpul pengunjung yang bisa memperoleh hal ikhwal keberadaan rumah adat Penglipuran yang masih dipertahankan karena mempertahankan budaya bangunan.
"Rumah yang sebelah utara ini nomornya ganjil, sedangkan yang di selatan nomornya genap," ucap Ali menambahkan.
Menjawab pertanyaan, Ali mengatakan bahwa salah satu tanda khas bangunan yang ada di desa setempat yang memiliki kesamaan yaitu di depannya ada pintu gerbang yang hampir sama namanya "angkul" bangunan khas gaya arsitektur Bali.
Begitu pula, lanjut I Ketut Astika, di rumah warga di Penglipuran selalu terdapat tempat ibadah yang disebut "Sanggah"."Itu Sanggah ya atau bisa disebut Pure," ucap dia seraya menunjukkan bangunan Sanggah di belakang rumahnya.
Meskipun rumah I Ketut Astika cukup modern dengan lantai keramik, tapi di belakang rumahnya terdapat dapur tradisional dengan bahan bakar kayu, juga bangunan dari anyaman bambu.
"Dapur ini masih dimanfaatkan keluarga kami," ucapnya.
Mengenai stabilnya pengunjung di objek wisata Desa Penglipuran baik wisdom dan wisman, dibenarkan seorang pengemudi bus pariwisata asal Bali, Iwan yang menunggu rombongan wisatawan berkunjung di desa Penglipuran.
"Justru adanya evakuasi wisman dari berbagai manca negara di Gilitrawangan banyak yang masuk Bali, termasuk mengunjungi Desa Penglipuran," ucapnya menegaskan.
Desa Penglipuran, dengan mudah ditempuh dengan jalan darat hanya sekitar 5 kilometer ke utara dari Kota Bangli, sedangkan dari Kota Denpasar sekitar 45 kilometer.
"Sekitar 2 jam kalau ditempuh dengan kendaraan dari Bandar Ngurah Rai, Tuban," ucap Iwan menjelaskan.
Dari keterangan warga Desa Penglipuran termasuk desa adat di Bali, yang banyak melakukan acara ritual, antara lain, upacara Kuningan, Galungan, juga yang lainnya.
Arti Penglipuran atau Pengeling Pura yang mempunyai makna tempat suci untuk mengenang para leluhur. Keunikkan lainnya yang masih berlaku di Penglipuran yaitu seorang laki-laki tidak diperbolehkan berpoligami. (*)
Video Oleh Slamet Agus Sudarmojo
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
Ini bisa terbaca di papan pengumuman di gerbang masuk tanda ucapan selamat yang di bawahnya terdapat prasasti peresmian Desa Penglipuran, sebagai Desa Wisata Berbasis Masyarakat yang ditandatangani Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Firmansyah Rahim pada 15 Desember 2012
"Kawasan objek wisata di sini tidak terdampak bencana gempa di Pulau Lombok, termasuk wisman tetap mengalir datang," kata pemandu wisata Desa Penglipuran, Bangli, Ali Alfayed, dalam perbincangan kepada Antarajatim di lokasi desa setempat, Kamis (9/8).
Di kawasan setempat, kata dia, terdapat 76 rumah pemukiman adat khas Bali, berdiri di atas tanah seluas 120 hektare termasuk pekarangan dan tegalan.
Pada kesempatan itu, Ali Alfayed, juga mengatakan kepada rombongan wartawan Tuban dan Bojonegoro yang datang dalam kegiatan Media Gathering Semen Indonesia itu, bahwa dirinya menjadi pemandu wisata karena magang di objek wisata itu.
"Saya mahasiswa jurusan Pariwisata Politeknik Universitas Samarinda, magang di Penglipuran selama tiga bulan sebagai pemandu wisata," ucapnya.
Keberadaan rumah atau kawasan Desa Penglipuran yang masuk objek wisata dengan hawa yang sejuk, asri itu, mengelompok. Di lokasi setempat pemukiman rumah warga berjajar apik lurus dari bawah menanjak berundak hingga ke atas.
"Di luar Penglipuran juga masih ada rumah warga lainnya tapi tidak masuk kawasan objek wisata. Kalau jumlah warganya setiap rumah rata-rata 2 kepala keluarga (KK) sampai 4 KK," ucapnya.
Sebagaimana dijelaskan seorang pemilik rumah di Penglipuran I Ketut Astika bahwa di rumahnya itu dihuni 5 KK dengan jumlah 21 jiwa yang semuanya keluarganya.
"Warga di Penglipuran bekerja sebagai petani, ada juga yang menjadi guru," ucap I Ketut Astika menambahkan.
I Ketut Astika sendiri mengaku tidak memiliki pekerjaan yang tetap, karena bekerja serabutan. "Di rumah saya ada 4 KK. Itu anak dagangan anak saya," ucap seorang warga lainnya I Wayan Alus seraya menunjukkan berbagai dagangan di rumahnya mulai minuman, juga cindera mata.
Baik menurut I Ketut Astika maupun Ali Alfayed, rumah adat di Penglipuran mengadopsi pemukiman warga di desa tetangganya yaitu Desa Bayunggede, Kecamatan Kintamani.
"Keberadaan rumah di Penglipuran mulai tertata sejak 1990," ucapnya.
Sejak masuk desa setempat kendaraan baik roda dua mapun roda empat (bus dan kendaraan roda empat ringan) berhenti di tempat parkir parkir tidak diperbolehkan masuk ke kawasan setempat.
Di jalan masuk ke desa setempat juga terdapat balai-balai tempat berkumpul pengunjung yang bisa memperoleh hal ikhwal keberadaan rumah adat Penglipuran yang masih dipertahankan karena mempertahankan budaya bangunan.
"Rumah yang sebelah utara ini nomornya ganjil, sedangkan yang di selatan nomornya genap," ucap Ali menambahkan.
Menjawab pertanyaan, Ali mengatakan bahwa salah satu tanda khas bangunan yang ada di desa setempat yang memiliki kesamaan yaitu di depannya ada pintu gerbang yang hampir sama namanya "angkul" bangunan khas gaya arsitektur Bali.
Begitu pula, lanjut I Ketut Astika, di rumah warga di Penglipuran selalu terdapat tempat ibadah yang disebut "Sanggah"."Itu Sanggah ya atau bisa disebut Pure," ucap dia seraya menunjukkan bangunan Sanggah di belakang rumahnya.
Meskipun rumah I Ketut Astika cukup modern dengan lantai keramik, tapi di belakang rumahnya terdapat dapur tradisional dengan bahan bakar kayu, juga bangunan dari anyaman bambu.
"Dapur ini masih dimanfaatkan keluarga kami," ucapnya.
Mengenai stabilnya pengunjung di objek wisata Desa Penglipuran baik wisdom dan wisman, dibenarkan seorang pengemudi bus pariwisata asal Bali, Iwan yang menunggu rombongan wisatawan berkunjung di desa Penglipuran.
"Justru adanya evakuasi wisman dari berbagai manca negara di Gilitrawangan banyak yang masuk Bali, termasuk mengunjungi Desa Penglipuran," ucapnya menegaskan.
Desa Penglipuran, dengan mudah ditempuh dengan jalan darat hanya sekitar 5 kilometer ke utara dari Kota Bangli, sedangkan dari Kota Denpasar sekitar 45 kilometer.
"Sekitar 2 jam kalau ditempuh dengan kendaraan dari Bandar Ngurah Rai, Tuban," ucap Iwan menjelaskan.
Dari keterangan warga Desa Penglipuran termasuk desa adat di Bali, yang banyak melakukan acara ritual, antara lain, upacara Kuningan, Galungan, juga yang lainnya.
Arti Penglipuran atau Pengeling Pura yang mempunyai makna tempat suci untuk mengenang para leluhur. Keunikkan lainnya yang masih berlaku di Penglipuran yaitu seorang laki-laki tidak diperbolehkan berpoligami. (*)
Video Oleh Slamet Agus Sudarmojo
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018