Jakarta (Antaranews Jatim) - Pemerintah masih mengumpulkan opsi untuk menambal defisit yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Tahun Anggaran 2018.

"Kami sudah beberapa kali rapat teknis dilakukan di kantor Kemenko PMK untuk bisa mengoordinasikan terkait masalah di BPJS. Ini pun juga sempat dibicarakan juga bersama Presiden, namun kelanjutannya tentu saja saya harus mengundang semua 'stakeholder' yaitu Kemenkes, Kemenkeu, BPJS, dan Kemenkumham untuk bisa menyatukan pemikiran dan mencari solusi terbaik," kata Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani di kawasan Istana Negara Jakarta, Selasa.

Laporan keuangan tahunan BPJS Kesehatan menunjukkan defisit sebesar Rp3,8 triliun pada 2014, Rp5,9 triliun pada 2015, dan Rp9,7 triliun pada 2016, Rp9 triliun pada 2017, dan diperkirakan Rp16,5 triliun pada 2018.

Kemenko PMK juga masih menunggu hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengenai defisit tahun berjalan 2018.

"Belum (terima audit BPKP, red.), sedang dilakukan oleh Kementerian Keuangan memulai melakukan audit melalui BPKP. Sudah menjadi kesepakatan bahwa kami bersepahaman dengan semuanya, pemerintah dan BPJS untuk lebih transparan dalam melakukan audit sehingga meminta BPKP untuk melakukan audit," kata dia.

Puan mengaku sudah ada beberapa opsi yang dibicarakan akan tetapi keputusan opsi mana yang diambil untuk menambal defisi BPJS Kesehatan  baru bisa didapat setelah ada angka defisit berdasarkan hasil audit.

"Tentu saja hanya bisa dilakukan kalau kita sudah bisa mendapatkan angka yang jelas mengenai berapa angka sebenarnya yang bisa kita lakukan untuk bisa mengurangi defisit dari BPJS. Ada sembilan bauran yang sudah dilakukan macam-macam," katanya.

Kemenko PMK sebelumnya mendapatkan angka dari BPJS, Kemenkeu, dan Kemenkes, namun perlu disamakan dengan audit BPKP.

"Angkanya jelas, namun memang ini masalahnya menyangkut banyak orang, menyangkut penerima manfaat dan juga termasuk pemangku kepentingan, seperti RS, dokter, dan lainnya. Ini yang sekarang saya minta untuk lebih diakuratkan sehingga akan jelas apa yang harus kita lakukan ke depan," kata Puan.

Kepala BPKP Ardan Adiperdana mengatakan bahwa audit BPJS Kesehatan masih dalam proses.

"Masih proses, sudah masuk seminggu saat ini sedang berjalan dan sekarang sedang di Pak Wamenkeu," kata dia.

Pada 25 Juli 2018, BPJS Kesehatan menerbitkan tiga peraturan baru terkait dengan pelayanan katarak, persalinan bayi lahir sehat, dan rehabilitasi medik yang ditujukan meningkatkan potensi efisiensi biaya pada Juli-Desember 2018 mencapai Rp360 miliar.

Tiga peraturan itu adalah Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Katarak dalam Program Jaminan Kesehatan, Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan dengan Bayi Lahir Sehat, dan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik.

Terkait dengan penjaminan biaya rehabilitasi medik oleh BPJS Kesehatan hanya bisa dilakukan dengan syarat visus mata kurang dari 6/18 preoperatif, untuk penjaminan persalinan dengan bayi lahir sehat pelayanan hanya diberikan dalam satu paket persalinan atas nama kepesertaan ibunya, sedangkan ibu hamil yang bayinya terindikasi akan membutuhkan perawatan khusus setelah persalinan harus mendaftarkan calon bayi menjadi peserta JKN terlebih dulu agar bisa mendapatkan jaminan dalam pelayanan kesehatan.

Terkait dengan peraturan tentang pelayanan rehabilitasi medik mengatur pembatasan kunjungan layanan fisioterapis yang dilakukan pasien per bulan. (*)

Pewarta: Desca Lidya Natalia

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018