Surabaya, (Antaranews Jatim) - Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) menyatakan anak-anak yang dilibatkan pelaku teror pada serangkaian aksi teror di Surabaya dan Sidoarjo akhir-akhir ini adalah korban.
Ketua Umum LPAI Seto Mulyadi saat mendatangi Rumah Sakit Bhayangkara Polda Jawa Timur di Surabaya, Rabu mengatakan ada tujuh anak pelaku teror yang saat ini masih hidup dan ada yang diajak melakukan teror.
Kak Seto sapaan akrabnya Seto mengatakan berdasar catatan lembaganya, rentetan aksi teror yang melibatkan anak-anak itu adalah yang pertama kali di Indonesia.
"Kami dapat kabar bahwa anak-anak ini mendapat stimulasi negatif. Mereka sangat mudah dipengaruhi," ujarnya.
Menurutnya, anak-anak tersebut perlu mendapatkan perlindungan ke depannya. Untuk itu, LPAI yang punya cabang di 28 provinsi, akan berusaha meluruskan informasi bahwa anak-anak tersebut bukanlah pelaku.
"Di dalam Undang-undang Perlindungan Anak, anak tidak bisa disalahkan. Mereka tidak bisa disebut sebagai pelaku. Anak adalah korban. Mereka korban dari lingkungan," ujarnya.
Kak Seto menjelaskan, ada dua amanat Undang-undang Perlindungan Anak. Pertama adalah tidak melakukan kekerasan terhadap anak, dan yang kedua tidak menyuruh anak melakukan kekerasan. Pada kasus teror ini, poin kedua akan menjadi perhatian LPAI.
Selain itu, Kak Seto mendesak negara harus hadir untuk melakukan terapi psikologis dengan cara mengubah lingkungan anak-anak tersebut.
"Sesuatu yang negatif itu bisa bisa cepat dihilangkan, diganti dengan yang positif. Harus diciptakan lingkungan yang kondusif," tuturnya.
Bersama kepolisian, LPAI siap bekerja sama untuk memulihkan trauma pada anak-anak tersebut. Untuk menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif itu, harus dilihat kembali bagaimana pola asuh orang tua.
"Kami akan melihat keluarganya apakah mereka menyebarkan paham-paham negatif. Kalau iya harus dipindah ke lingkungan baru," tuturnya.
Untuk mendekati dan berbicara dengan anak-anak tersebut, LPAI punya trik khusus. Salah satunya pendekatan dengan kategori usia.
"Kalau remaja berbeda dengan anak-anak. Mungkin tidak dengan dongeng-dongeng," ujar Kak Seto.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
Ketua Umum LPAI Seto Mulyadi saat mendatangi Rumah Sakit Bhayangkara Polda Jawa Timur di Surabaya, Rabu mengatakan ada tujuh anak pelaku teror yang saat ini masih hidup dan ada yang diajak melakukan teror.
Kak Seto sapaan akrabnya Seto mengatakan berdasar catatan lembaganya, rentetan aksi teror yang melibatkan anak-anak itu adalah yang pertama kali di Indonesia.
"Kami dapat kabar bahwa anak-anak ini mendapat stimulasi negatif. Mereka sangat mudah dipengaruhi," ujarnya.
Menurutnya, anak-anak tersebut perlu mendapatkan perlindungan ke depannya. Untuk itu, LPAI yang punya cabang di 28 provinsi, akan berusaha meluruskan informasi bahwa anak-anak tersebut bukanlah pelaku.
"Di dalam Undang-undang Perlindungan Anak, anak tidak bisa disalahkan. Mereka tidak bisa disebut sebagai pelaku. Anak adalah korban. Mereka korban dari lingkungan," ujarnya.
Kak Seto menjelaskan, ada dua amanat Undang-undang Perlindungan Anak. Pertama adalah tidak melakukan kekerasan terhadap anak, dan yang kedua tidak menyuruh anak melakukan kekerasan. Pada kasus teror ini, poin kedua akan menjadi perhatian LPAI.
Selain itu, Kak Seto mendesak negara harus hadir untuk melakukan terapi psikologis dengan cara mengubah lingkungan anak-anak tersebut.
"Sesuatu yang negatif itu bisa bisa cepat dihilangkan, diganti dengan yang positif. Harus diciptakan lingkungan yang kondusif," tuturnya.
Bersama kepolisian, LPAI siap bekerja sama untuk memulihkan trauma pada anak-anak tersebut. Untuk menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif itu, harus dilihat kembali bagaimana pola asuh orang tua.
"Kami akan melihat keluarganya apakah mereka menyebarkan paham-paham negatif. Kalau iya harus dipindah ke lingkungan baru," tuturnya.
Untuk mendekati dan berbicara dengan anak-anak tersebut, LPAI punya trik khusus. Salah satunya pendekatan dengan kategori usia.
"Kalau remaja berbeda dengan anak-anak. Mungkin tidak dengan dongeng-dongeng," ujar Kak Seto.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018