Jakarta, (Antara) - Peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia (UI) Solahudin mengatakan media sosial mempercepat proses radikalisasi karena seseorang dapat terpapar pesan radikal dalam jumlah yang banyak dalam frekuensi tinggi.
Berdasarkan hasil penelitiannya terhadap narapidana terorisme, 85 persen melakukan teror hanya dalam rentang kurang dari satu tahun setelah terpapar paham radikalisme melalui media sosial.
"Kurang dua setahun dia sudah radikal. Media sosial penting, kalau bicara radikalisasi perannya cukup signifikan," ucap Solahudin dalam diskusi Forum Media Barat 9 di Gedung Kominfo, Jakarta, Rabu.
Dibandingkan dengan terpidana terorisme 2002-2012, mereka rata-rata mulai radikal dalam kurun waktu lima sampai sepuluh tahun sejak pertama terpapar hingga melakukan aksi terorisme.
Kelompok ekstrimis, radikal atau teroris di Indonesia, kata dia, memanfaatkan media sosial secara maksimal untuk proses radikalisasi.
Namun, khusus di Indonesia penggunaan media sosial oleh kelompok tersebut hanya untuk radikalisasi, sementara untuk perekrutan tetap menggunakan metode tatap mata atau pertemuan langsung.
"Indonesia radikalisasi melalui media sosial, proses rekrutmen terjadi offline, tatap muka. Tidak lewat dunia maya proses rekrutmennya," ucap Solahudin.
Dari 75 orang narapidana terorisme yang ditemuinya, hanya sembilan persen yang mengatakan bergabung kelompok ekstrimis melalui media sosial.
Sebagian besar, ujar Solahudin, direkrut melalui forum keagamaan yang sulit dicegah karena di Indonesia mempunyai kebebasan berekspresi dan beroganisasi.
Alasan selanjutnya rekrutmen di Indonesia melalui pertemuan langsung adalah kelompok teroris tidak percaya pada proses rekrutmen secara daring karena tidak dapat memastikan kebenaran identitas.
Masyarakat pun diimbau untuk melaporkan kepada Kominfo atau langsung kepada platform media sosial apabila menemukan akun atau konten yang berkaitan dengan terorisme dan meresahkan.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
Berdasarkan hasil penelitiannya terhadap narapidana terorisme, 85 persen melakukan teror hanya dalam rentang kurang dari satu tahun setelah terpapar paham radikalisme melalui media sosial.
"Kurang dua setahun dia sudah radikal. Media sosial penting, kalau bicara radikalisasi perannya cukup signifikan," ucap Solahudin dalam diskusi Forum Media Barat 9 di Gedung Kominfo, Jakarta, Rabu.
Dibandingkan dengan terpidana terorisme 2002-2012, mereka rata-rata mulai radikal dalam kurun waktu lima sampai sepuluh tahun sejak pertama terpapar hingga melakukan aksi terorisme.
Kelompok ekstrimis, radikal atau teroris di Indonesia, kata dia, memanfaatkan media sosial secara maksimal untuk proses radikalisasi.
Namun, khusus di Indonesia penggunaan media sosial oleh kelompok tersebut hanya untuk radikalisasi, sementara untuk perekrutan tetap menggunakan metode tatap mata atau pertemuan langsung.
"Indonesia radikalisasi melalui media sosial, proses rekrutmen terjadi offline, tatap muka. Tidak lewat dunia maya proses rekrutmennya," ucap Solahudin.
Dari 75 orang narapidana terorisme yang ditemuinya, hanya sembilan persen yang mengatakan bergabung kelompok ekstrimis melalui media sosial.
Sebagian besar, ujar Solahudin, direkrut melalui forum keagamaan yang sulit dicegah karena di Indonesia mempunyai kebebasan berekspresi dan beroganisasi.
Alasan selanjutnya rekrutmen di Indonesia melalui pertemuan langsung adalah kelompok teroris tidak percaya pada proses rekrutmen secara daring karena tidak dapat memastikan kebenaran identitas.
Masyarakat pun diimbau untuk melaporkan kepada Kominfo atau langsung kepada platform media sosial apabila menemukan akun atau konten yang berkaitan dengan terorisme dan meresahkan.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018