Kediri (Antaranews Jatim) - Pemerintah Kota Kediri, Jawa Timur, mengajak masyarakat memerangi hoaks yang banyak beredar di jejaring sosial yang bisa merugikan orang lain.
"Ramai di media cetak, elektronik terkait hoaks dan dampaknya yang luar biasa. Kami sebagai lembaga yang ikut bertanggung jawab memberitahukan tentang UU, kemudian mempunyai ide sosialisasi. Walaupun banyak yang tahu, kadang pelaksanaannya masih kurang," kata Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Kediri Haris Candra Purnama di Kediri, Jumat.
Ia mengatakan pemkot mengadakan sosialisasi tentang peraturan perundang-undangan dengan harapan bisa mengurangi beragam informasi hoaks yang banyak beredar di telepon seluler. Adanya kecanggihan teknologi ternyata membawa dampak yang negatif, padahal perkembangan teknologi bisa menguntungkan.
"Sebenarnya kecanggihan teknologi sangat menguntungkan bagi kehidupan. Namun, kami berharap warga semakin tahu, sehingga mengurangi hal yang negatif," kata dia.
Akademisi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Tony Dwi Susanto menganjurkan agar masyarakat lebih berpikir kritis sebagai upaya menangkal informasi yang tidak benar atau hoaks.
"Edukasi tentang budaya kebiasaan berpikir kritis itu penting. Agak aneh memang, tapi di luar negeri hal yang biasa. Jadi, semua masyarakat tidak mudah percaya sampai ada bukti empirik dan secara logika bisa diterima," kata Tony.
Ia mengatakan, pemerintah memang telah membuat pendekatan represif dengan penegakan hukum, namun hal itu masih kurang ketika kebiasaan berpikir kritis masyarakat tidak dibangun. Jika hal itu dilakukan, mereka akan melakukan pengecekan lagi tentang informasi yang diterimanya dan tidak secara gamblang mengirimkan pada orang lain. Padahal, informasi itu belum tentu kebenarannya.
Ia menegaskan, budaya revolusi mental harus tetap dibangun. Salah satunya, bisa dilakukan dengan membangun budaya digital Indonesia. Budaya itu menyangkut pendidikan karakter, misalnya mengajarkan sopan dan tidak sopan.
"Harus tetap dibangun, dibudayakan budaya digital Indonesia. Sekarang di media digital tidak ada, kosong. Ada ruang kosong di dalam ruangan budaya untuk media digital, misalnya etika mana yang mengatakan bahwa jika dengan orangtua mau bertanya harus meminta izin atau huruf kapital tidak boleh banyak maupun berapa tanda seru, termasuk memosting fotonya orang lain," ujar dosen yang mengajar sistem informasi itu.
Ia meminta masyarakat tetap bijaksana dengan berbagai informasi yang diterima. Selain itu, pemerintah dianjurkan untuk membuat panduan pendidikan karakter yang bisa menjadi kebijakan nasional. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
"Ramai di media cetak, elektronik terkait hoaks dan dampaknya yang luar biasa. Kami sebagai lembaga yang ikut bertanggung jawab memberitahukan tentang UU, kemudian mempunyai ide sosialisasi. Walaupun banyak yang tahu, kadang pelaksanaannya masih kurang," kata Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Kediri Haris Candra Purnama di Kediri, Jumat.
Ia mengatakan pemkot mengadakan sosialisasi tentang peraturan perundang-undangan dengan harapan bisa mengurangi beragam informasi hoaks yang banyak beredar di telepon seluler. Adanya kecanggihan teknologi ternyata membawa dampak yang negatif, padahal perkembangan teknologi bisa menguntungkan.
"Sebenarnya kecanggihan teknologi sangat menguntungkan bagi kehidupan. Namun, kami berharap warga semakin tahu, sehingga mengurangi hal yang negatif," kata dia.
Akademisi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Tony Dwi Susanto menganjurkan agar masyarakat lebih berpikir kritis sebagai upaya menangkal informasi yang tidak benar atau hoaks.
"Edukasi tentang budaya kebiasaan berpikir kritis itu penting. Agak aneh memang, tapi di luar negeri hal yang biasa. Jadi, semua masyarakat tidak mudah percaya sampai ada bukti empirik dan secara logika bisa diterima," kata Tony.
Ia mengatakan, pemerintah memang telah membuat pendekatan represif dengan penegakan hukum, namun hal itu masih kurang ketika kebiasaan berpikir kritis masyarakat tidak dibangun. Jika hal itu dilakukan, mereka akan melakukan pengecekan lagi tentang informasi yang diterimanya dan tidak secara gamblang mengirimkan pada orang lain. Padahal, informasi itu belum tentu kebenarannya.
Ia menegaskan, budaya revolusi mental harus tetap dibangun. Salah satunya, bisa dilakukan dengan membangun budaya digital Indonesia. Budaya itu menyangkut pendidikan karakter, misalnya mengajarkan sopan dan tidak sopan.
"Harus tetap dibangun, dibudayakan budaya digital Indonesia. Sekarang di media digital tidak ada, kosong. Ada ruang kosong di dalam ruangan budaya untuk media digital, misalnya etika mana yang mengatakan bahwa jika dengan orangtua mau bertanya harus meminta izin atau huruf kapital tidak boleh banyak maupun berapa tanda seru, termasuk memosting fotonya orang lain," ujar dosen yang mengajar sistem informasi itu.
Ia meminta masyarakat tetap bijaksana dengan berbagai informasi yang diterima. Selain itu, pemerintah dianjurkan untuk membuat panduan pendidikan karakter yang bisa menjadi kebijakan nasional. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018