Menelusuri sudut-sudut Surabaya, di tengah kehijauan taman dan ruang terbuka kota ini, Anda bersiap disambut beragam tempat menarik untuk disinggahi barang sejenak. 
Di antara tempat-tempat itu, ada yang mengusung nilai dan semangat kejuangan rakyat Surabaya seperti Taman Monumen Kapal Selam, Monumen Bambu Runcing, dan Tugu Pahlawan.
Bagi para pelancong yang menggemari wisata religi, Masjid Agung Sunan Ampel, Masjid Muhammad Cheng Ho, dan Gereja Kepanjen bisa menjadi pilihan.
Namun, di antara tempat-tempat menarik dan layak disinggahi saat menelusuri sudut-sudut kota seluas 33.306,30 hektare yang kaya akan tapak jejak Kolonial Belanda ini, Gedung Balai Pemuda bisa dijadikan pilihan karena menawarkan sesuatu yang berbeda.
Betapa tidak, di gedung yang dibangun pada 1907 buah tangan arsitek Belanda bernama Westmaes ini, fondasi masa depan Surabaya sebagai kota literasi dibangun.
Di kompleks gedung yang dulu bernama Simpangsche Societeit ini, Pemerintah Kota Surabaya menempatkan perpustakaan umum dan rumah bahasa yang dimilikinya untuk melayani kebutuhan literasi dan pemberdayaan warga kota secara gratis.
Memasuki area kompleks gedung Balai Pemuda ini dari pintu depan Jalan Yos Sudarso, Anda terlebih dahulu menemukan Rumah Bahasa Surabaya.
Rumah bahasa yang diresmikan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini pada 4 Februari 2014 itu bak dapur yang disiapkan pemerintah kota untuk warganya agar mampu menghadapi pasar bebas Masyarakat Ekonomi Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Bagi yang ke sana dengan mobil pribadi, Anda tak perlu khawatir karena area parkir gedung berstatus cagar budaya Kota Surabaya sejak 26 September 1996 ini cukup luas.
Ongkos parkir pun tak membuat kantong tipis. Berbeda dengan aturan parkir di mal-mal besar yang menempatkan tarif per jam, parkir berjam-jam lamanya di area Balai Pemuda, cukup membayar Rp5.000 kepada petugas parkir gedung.
Di Rumah Bahasa Surabaya yang menempati satu ruang di gedung ini, warga ditawarkan kelas gratis belajar 10 bahasa asing serta bahasa Indonesia dan Jawa, kata Adi Yatmoko kepada Antara saat mampir di rumah bahasa itu pada Selasa (16/1).
10 bahasa asing yang diajarkan secara gratis di kelas yang terbuka bagi semua warga berkartu penduduk Surabaya itu adalah Inggris, Arab, Belanda, Jepang, Jerman, Korea, Mandarin, Prancis, Rusia, dan Spanyol, kata pria berusia 26 tahun ini.
Menurut staf dan guru bahasa Inggris Rumah Bahasa Surabaya ini, kelas-kelas bahasa asing itu tidak hanya diikuti pelajar dan mahasiswa tetapi juga kalangan lain, termasuk pengusaha kecil dan menengah.
Kegiatan belajar-mengajar di kelas pun tak hanya diisi tujuh orang staf Rumah Bahasa Surabaya, termasuk dirinya, tetapi juga diisi para sukarelawan yang datang dari berbagai kalangan, seperti para profesional dan pengusaha, kata Adi Yatmoko.
"Bahkan, 95 persen dibantu oleh para sukarelawan yang datang dari masyarakat Kota Surabaya," kata lulusan Program Pendidikan Bahasa Inggris Unversitas PGRI Adi Buana Surabaya ini.
Keluar dari rumah bahasa, kunjungan dilanjutkan ke perpustakaan umum kota yang hanya berjarak kurang dari 200 meter dari kantor rumah bahasa tersebut.
Tak sulit menemukan letak perpustakaan yang kini memiliki koleksi sebanyak 29 ribu eksemplar buku dan 26 ribu judul buku ini karena menjelang pintu masuk, di dindingnya tertulis dengan abjad berukuran besar warna biru "Perpustakan Umum Kota Surabaya".
Di bawah nama penanda perpustakaan itu, Anda pun menemukan prasasti pencanangan "Surabaya Kota Literasi" yang ditandatangani Wali Kota Tri Rismaharini pada 2 Mei 2014.
Prasasti "Surabaya Kota Literasi" yang diletakkan di bawah nama perpustakaan umum ini agaknya bukan sebuah kebetulan mengingat buku berfungsi bak "jendela dunia" dan "dapur" penyemai tumbuhnya generasi pembelajar di masa kini dan mendatang.
Untuk mengoptimalkan perannya dalam mendukung terwujudnya "Surabaya Kota Literasi" itu, perpustakaan yang dilengkapi fasilitas WIFI gratis dan sejumlah pojok sumber bacaan lintas usia, termasuk "Dyslexia Corner" bagi anak-anak disleksia, ini memiliki 1.428 titik layanan baca yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
"Dari 1.428 titik layanan bacaan itu, sebanyak 395 titik berada di balai-balai rukun warga di perkampungan-perkampungan. Di situ, warga masyarakat diberi taman bacaan," kata Hamzah, petugas teknis Perpustakaan Balai Pemuda Kota Surabaya.
Selain menyasar warga melalui taman-taman bacaan di Balai Rukun Warga (RW), titik-titik layanan baca Perpustakaan Kota Surabaya itu juga menyentuh perpustakaan sekolah tingkat SD/SMP dan Madrasah Ibtidaiyah/Tsanawiyah, pondok pesantren, dan taman kota.
Layanan baca pun menyentuh warga kota melalui taman bacaan yang hadir di taman kota, rumah sakit, dan kantor polsek, kata karyawan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Pemkot Surabaya yang sudah mengabdi selama tujuh tahun ini.
Sebanyak 525 orang petugas teknis perpustakaan bertugas setiap hari untuk melayani perpustakaan kota dengan 1.428 titik layanan bacaan tersebut. Mereka bekerja di perpustakaan sekolah dari pukul 07.30 hingga 12.00 WIB dan kemudian ke taman bacaan Balai RW untuk melayani warga pada pukul 13.00 - 14.00 WIB, katanya.
   
  Wajib baca
Gerakan literasi Pemkot Surabaya itu tidak hanya terbatas pada peningkatan layanan dan revitalisasi perpustakaan sekolah, tetapi juga penerapan kurikulum wajib baca bagi para siswa SD/SMP, serta wajib baca 15 menit bagi siapa pun di lingkungan sekolah.
Melalui kurikulum wajib baca, para siswa SD/SMP di Surabaya mendapatkan materi ajar tentang membaca-menceritakan kembali, membaca-memahami, menulis, meresume, dan "mind-mapping" dari tenaga teknis perpustakaan di perpustakaan sekolah mereka.
Kegiatan belajar yang dilakukan di perpustakaan sekolah para siswa itu dilakukan saat jam pelajaran Bahasa Indonesia, kata Hamzah.
Gerakan literasi Pemkot Surabaya yang antara lain dilakukan melalui perpustakaan untuk mendukung tumbuhnya budaya baca masyarakat itu dipandang penting karena tingkat literasi bangsa Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara yang disurvei Universitas Negeri Central Connecticut (CCSU) Amerika Serikat dua tahun silam.
Posisi Indonesia itu hanya setingkat lebih baik dari Bostswana yang menempati posisi paling bontot. Di tingkat ASEAN, sebagai negara berpenduduk terbesar keempat dunia setelah China, India, dan AS, tingkat literasi Indonesia justru kalah dari Singapura yang berada di urutan 36, Malaysia (53), dan Thailand (59).
Tantangan besar yang dihadapi Indonesia itu dijawab Pemerintah Kota Surabaya dari gedung berciri khas kubah yang sepintas mirip mahkota ratu Belanda ini.
Di masa Kolonial dulu, gedung yang berlokasi di Simpangstraat atau sekarang lebih dikenal dengan Jalan Gubernur Suryo ini, para bangsawan Belanda dan kaum ekspatriat menjadikannya tempat berpesta.
Ada pun, kaum pribumi Indonesia, sebagaimana tertulis dalam isi naskah "Sejarah Singkat Balai Pemuda" yang dipajang pihak pengelola gedung warisan Kolonial Belanda ini, tak dibolehkan ikut bersama para bangsawan Belanda berpesta.
"Verboden voor Inlander" (Pribumi Dilarang Masuk), begitu tulisan di papan pengumuman yang berada di halaman gedung.
Menurut catatan sejarah, "Kalaupun pribumi bisa ada di dalam gedung tersebut, itu karena mereka dijadikan sebagai pembantu atau pelayan".
Era kolonial yang pernah melarang kaum pribadi menginjakkan kakinya di gedung yang kini bernama Balai Pemuda itu telah lama terkubur. Kini, di gedung ini, masa depan Surabaya sebagai kota literasi dibangun. (*)

Pewarta: Rahmad Nasution

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018