Jakarta, (Antara) - Satu hal yang membuat Presiden Jokowi merasa jengkel adalah soal begitu banyaknya jumlah regulasi yang menghambat percepatan pembangunan di berbagai bidang.

Begitu banyaknya jumlah regulasi yang menumpuk dan tumpang tindih sehingga banyak kalangan menilai bahwa Indonesia sudah mengalami obesitas atau kegemukan dalam regulasi.

Kepala Negara menyebut terdapat sekitar 42 ribu peraturan, baik undang-undang, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan daerah, peraturan gubernur hingga peraturan bupati, wali kota yang rentan bertentangan.

Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara bahkan mencatat total regulasi di Indonesia hingga saat ini diperkirakan mencapai 62 ribu peraturan yang tersebar di berbagai instansi baik di pusat maupun di daerah.

Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-4 di Jember, Jatim pada 10-13 November 2017 juga merekomendasikan kepada pemerintah untuk melakukan penataan regulasi.

Sepanjang tahun ini yang merupakan tahun ketiga pemerintahannya, dalam berbagai kesempatan, Jokowi kerap mengeluhkan soal begitu banyaknya aturan, yang justru menghambat percepatan pembangunan.

Saking jengkelnya, Jokowi saat membuka Konferensi Nasional ke-12 Pemberantasan Korupsi dan Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2017 serta Peluncuran Aplikasi e-LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) di Jakarta pada Senin (11/12) lalu melontarkan gagasan membuat lomba pangkas regulasi.

Siapa yang bisa memangkas regulasi akan diberi hadiah oleh Presiden. Kepala Negara mengaku merasa jengkel dengan begitu banyaknya regulasi karena setiap ingin bergerak, ada aturannya, ada izinnya, ada persyaratannya.

Tampaknya tak ada jalan lain bagi pemerintah kecuali menata kembali berbagai regulasi yang terlalu gemuk atau banyak sehingga obesitas regulasi dapat diatasi menjadi regulasi yang ramping agar gerak roda pembangunan semakin laju berputar.

Sebenarnya pemerintah, melalui Kementerian Hukum dan HAM, telah mengupayakan pembentukan tim khusus untuk penataan regulasi di Indonesia.

Namun, tim yang sudah mulai berjalan untuk menata berbagai regulasi itu hanya internal, belum mencerminkan lintas sektoral atau lintas kementerian dan lembaga, termasuk dari lembaga perguruan tinggi dengan disiplin hukum tata negara yang dapat memberikan banyak masukan untuk menyederhanakan regulasi.

Memang bisa dibayangkan bahwa untuk menyortir 62 ribu peraturan bukanlah merupakan pekerjaan mudah bila hanya ditangani oleh Kementerian Hukum dan HAM apalagi produk aturan itu berasal dari berbagai instansi di pusat dan daerah.

              Semakin sedikit, semakin bagus
Langkah Kementerian Dalam Negeri yang pada tahun 2016 pernah mencabut 3.143 peraturan daerah yang dianggap bermasalah karena dianggap menghambat proses perizinan dan investasi di daerah sebenarnya merupakan langkah yang baik.

Pencabutan ribuan peraturan daerah itu sesuai amanat Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, khususnya diatur dalam Pasal 251 ayat 1, 2 dan 3, yang memberikan kewenangan kepada Kementerian Dalam Negeri untuk membatalkan peraturan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Sayangnya kebijakan tegas tersebut digugat oleh Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan kawan-kawan yang mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi pada awal 2017.

Mahkamah Konstitusi dalam persidangan pada 4 April 2017 memutuskan membatalkan berlakunya aturan terkait kewenangan Menteri Dalam Negeri dalam membatalkan peraturan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 251 ayat 1, 2, 3, 4, dan 8 dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Beruntung Kepala Negara kemudian menginstruksikan semua kementerian dan lembaga pemerintahan di pusat dan daerah harus mulai menghentikan kebiasaan membentuk peraturan atau regulasi yang sesungguhnya tidak diperlukan, dengan tujuan untuk mengurangi obesitas regulasi.

Birokrasi cenderung menerbitkan sebanyak mungkin peraturan, sebanyak mungkin izin, sebanyak mungkin syarat, dan banyak sebetulnya yang sebelumnya syarat kemudian diubah menjadi izin. Akibatnya akan timbul hubungan transaksional antara regulator dengan masyarakat.

Banyak yang suka menerbitkan aturan tidak jelas, menggunakan bahasa abu-abu, sehingga menjadi objek transaksional, pemerasan, dan korupsi.

Kepala Negara meminta semua kementerian, lembaga, kepala daerah, dapat memangkas regulasi dan aturan perizinan serta persyaratan yang memberikan beban ke masyarakat dan dunia usaha karena menjadikan Indonesia tidak efisien.

Seluruh jajaran birokrasi tidak boleh lagi membuat susah dunia usaha. Membuat susah masyarakat dengan menyibukkan dirinya membuat aturan-aturan tidak jelas, justru menurunkan produktivitas bangsa.

Jadi instruksi dari Presiden Jokowi kepada semua kementerian dan lembaga pemerintahan di pusat dan daerah untuk menghentikan kebiasaan membentuk peraturan atau regulasi yang sesungguhnya tidak diperlukan, menjadi sangat relevan untuk dipatuhi.

Itulah komitmen kuat dari Presiden Jokowi, menjadi hal pertama yang perlu ada dalam penataan regulasi. Hal kedua adalah terkait pembentukan tim lintas kementerian atau lintas instansi yang khusus bertugas memilah dan memilih mana aturan yang memang dibutuhkan dan mana aturan yang tumpang tindih sehingga perlu disederhanakan, dan mana aturan yang bisa dicabut karena sudah tidak relevan dengan perkembangan yang ada.

Tim khusus itu tampaknya juga memerlukan payung hukum berupa Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang menjadi dasar mereka untuk bekerja menyederhanakan beragam peraturan yang menumpuk dan tumpang tindih tersebut.

Tim penataan regulasi ini juga menyelaraskan undang-undang dengan peraturan di bawahnya supaya dalam pelaksanaannya tidak bertentangan.

Hal ketiga yang perlu dilakukan dalam menata regulasi adalah DPR tidak perlu membuat banyak undang-undang, apalagi yang hanya sekadar "proyek" membuat undang-undang.

Dalam hal ini Jokowi juga telah meminta DPR tidak perlu membuat banyak undang-undang karena yang terpenting adalah peraturan yang berkualitas. Presiden sudah membicarakan soal ini kepada pimpinan DPR untuk tidak perlu membuat undang-undang sampai 40 buah dalam setahun, misalnya, karena cukup satu atau dua undang-undang, asalkan berkualitas.
DPR RI bersama pemerintah telah menghasilkan satu undang-undang yang merupakan "penggabungan" dari berbagai undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang telah mengakomodasi regulasi tentang partai politik, pemilu anggota DPR, DPD, DPRD, pemilu presiden, penyelenggara pemilu, yang sebelumnya memiliki masing-masing undang-undang.
    
              Sangat cepat
Indonesia sedang melangkah dalam era ekonomi digital. Beragam inovasi lahir pada era digital. Masyarakat dimanjakan berbagai pilihan menarik dan pemerintah berpikir keras dalam menyikapi perkembangan yang berjalan sangat cepat.

        Hal keempat terkait dengan era digital ini dalam penataan regulasi adalah pemerintah seharusnya tidak mengeluarkan banyak regulasi yang mengatur secara ketat perkembangan ekonomi konvensional menuju digitalisasi tersebut lantaran dinamika era digital berubah sangat cepat. Regulasi yang ketat dikhawatirkan akan mematikan pelaku usaha yang tengah berusaha untuk tumbuh.

Tantangan pada masa transisi ke era digital harus disikapi secara bijak oleh pemerintah. Pemerintah harus mendorong kebijakan yang memberikan kesetaraan bagi pemain, baik konvensional maupun digital agar bisa sama-sama tumbuh.

Persoalan regulasi bisa saja tidak terpikirkan dengan baik oleh regulator sehingga ada tarik-menarik antarpelaku konvensional dan digital. Hal itu bukan masalah karena regulator punya peluang melakukan perbaikan dengan merevisi ketentuan-ketentuan yang memberatkan.

Dengan demikian deregulasi menjadi salah satu kuncinya. Belasan paket deregulasi yang telah dilakukan pemerintah sejauh ini perlu dilanjutkan.

Hal kelima dalam menata regulasi adalah bukan berarti sama sekali stop atau tidak membuat aturan apapun, melainkan regulasi yang dibuat harus diterbitkan dengan melihat momentum yang tepat. Misalnya, dalam mengantisipasi percepatan era digital dewasa ini, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2017 tentang "Road Map e-Commerce 2017-2019" dan Paket Kebijakan Jilid 14.

Peta jalan ini diharapkan mendorong inovasi dan ekspansi industri. Sebagai negara berkembang, Indonesia perlu belajar dari negara maju lain bagaimana regulasinya walaupun kita tahu belum ada negara yang mapan regulasinya karena dinamika sangat tidak seragam.

Hal keenam yang bisa dilakukan dalam menata regulasi adalah menyederhanakan beragam aturan dari berbagai instansi yang saling beririsan.

Di tingkat pusat obesitas regulasi terjadi terutama pada tingkat keputusan atau peraturan menteri. Pola-pola surat keputusan bersama sejumlah menteri lintas sektor bisa menjadi model dalam menyederhanakan aturan yang saling beririsan. Dengan menyederhanakan aturan itu bisa mempersempit ruang pembentukan peraturan yang tidak terkendali.

Hal ketujuh adalah melakukan harmonisasi aturan. Seperti halnya Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden, setiap rancangan keputusan atau peraturan menteri, misalnya, harus juga melalui proses harmonisasi di Kementerian Humum dan HAM.

Masing-masing kementerian juga bisa melakukan evaluasi peraturan yang sudah ada dan kemudian dengan sadar dicabut bila memang dirasa bahwa peraturan itu sulit dilakukan. Ego sektoral masing-masing kementerian harus ditanggalkan. Itu hal kedelapan yang bisa dilakukan dalam menata regulasi.

Hal kesembilan yang dapat dilakukan dalam menata regulasi adalah memanfaatkan momentum bahwa Indonesia mendapat predikat sebagai negara yang telah membuat perbaikan terbesar dalam hal regulasi bisnis di antara negara-negara Asia Timur dan Pasifik.

Laporan terbaru Kelompok Bank Dunia "Doing Business 2018: Reforming to Create Jobs" mencatat Indonesia sebagai negara dengan perbaikan terbesar dari sejak 2005. Indonesia menempati posisi pertama diikuti oleh Kamboja, Kepulauan Solomon, Brunei Darussalam, dan Malaysia secara berturut-turut.

Secara peringkat, dalam empat tahun terakhir posisi Indonesia juga terus naik dari posisi 114 pada 2014, lalu 109 pada 2015, kemudian 91 pada 2016, lalu menjadi 72 pada tahun ini.

Sepanjang 2016-2017, Indonesia melakukan tujuh reformasi untuk meningkatkan kemudahan berusaha, yang merupakan jumlah reformasi tertinggi dalam satu tahun. Di kawasan Asia Timur dan Pasifik, Indonesia cuma kalah dari Brunei Darussalam dan Thailand yang telah melakukan delapan reformasi kemudahan berusaha.

Tujuh reformasi tersebut menyangkut biaya memulai usaha dibuat lebih rendah dengan penurunan dari sebelumnya 19,4 persen menjadi 10,9 persen pendapatan per kapita. Biaya mendapatkan sambungan listrik dibuat lebih murah dengan mengurangi biaya sambungan dan sertifikasi kabel internal. Biaya untuk mendapatkan sambungan listrik kini 276 persen dari pendapatan per kapita, turun dari 357 persen.

Lalu akses perkreditan juga ditingkatkan dengan dibentuknya biro kredit baru. Perdagangan lintas negara difasilitasi dengan memperbaiki sistem penagihan elektronik untuk pajak, bea cukai serta pendapatan bukan pajak. Akibatnya, waktu untuk mendapatkan, menyiapkan, memroses, dan mengirimkan dokumen saat mengimpor turun dari 133 jam menjadi 119 jam.

Pendaftaran properti dibuat lebih murah dengan pengurangan pajak transfer sehingga mengurangi biaya keseluruhan dari 10,8 persen menjadi 8,3 persen dari nilai properti. Hak pemegang saham minoritas diperkuat dengan adanya peningkatan hak, meningkatkan peran mereka dalam keputusan perusahaan besar, dan peningkatan transparansi perusahaan.

Sementara reformasi ketujuh berupa pelaporan pajak kini telah berbasis online dan pemerintah juga sudah menurunkan pajak penghasilan (PPh) untuk pembelian rumah murah dari sebelumnya persen.

Terkait dengan penataan regulasi ini, pemerintah menargetkan pada Februari 2018 akan ada satu gedung "single submission" sehingga masyarakat dapat menelusuri di mana lokasi izin yang menghambat apakah di pusat atau daerah atau di tempat lain.

Pemerintah juga akan memperluas sistem layanan perizinan terpadu satu pintu (PTSP), sebagaimana yang ada di Badan Koordinasi Penanaman Modal. Kelembagaan PTSP sudah ada di 531 daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sedangkan di kecamatan baru ada di 197 lokasi.

Dengan demikian penataan regulasi merupakan keniscayaan.(*)

Pewarta: Budi Setiawanto

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017