Bojonegoro (Antara Jatim) - Buku dengan judul Mata Lensa karya Fotografer "Agence France Presse" (AFP) Adek Berry bukan mengedepankan karya-karya foto jurnalistik, tetapi berisi tulisan di tengah kancah tugasnya menekuni profesi sebagai jurnalis foto.
Meskipun di dalam buku setebal 358 halaman itu juga dilengkapi dengan sejumlah foto berwarna dan hitam putih, tetapi lebih mengambarkan kondisi Adek Berry di lokasi peliputan.
Tidak hanya itu, buku itu juga mengambarkan kodratnya sebagai seorang ibu rumah tangga yang harus bertanggung jawab terhadap nasib anak-anaknya.
"Mata Lensa", buku yang diterbitkan TransMedia Pustaka dengan editor Nanang Junaedi merupakan tulisan kisah perjalanan Adek Berry dalam menekuni profesinya sebagai jurnalis foto di AFP. Pembuatan buku dengan melibatkan kurator foto Oscar Motuloh dan Rani Andriani Koeswara.
Tentang penulis disertakan dibelakang yang kemudian disusul belasan foto berwarna salah satunya foto poster bomber Bali Amrozi dan Ali Mukhlas yang diambil di Ponpes Al Islam di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan.
Di dalam catatan tentang penulis juga disebutkan "proses" itu yang kemudian menghantar Adek Berry mendapatkan penghargaan bergengsi dan NPPA (The Nasional Press Potographers Assosciation Amerika Serikat dan Life Magazine (Amerika Serikat) serta TIME LightBox untuk kerjanya di bidang jurnalistikfoto kategori bencana dan konflik.
Buku ini berisi kisah-kisah menarik tentang pergulatan Adek Berry dalam menekuni pekerjaannya dalam memperoleh foto yang menarik juga disertai bahaya yang mengancam, juga mendudukkan dirinya sebagai seorang ibu rumah tangga.
"Aku menerima SMS dari suamiku Yudi, saat tengah berada di dalam tenda di "Camp" Sabit Khadam yang juga dinamanakan "Camp Jackson", Sanggin Helmand Utara. isinya, "Alhamdullilah Hafid "student of the year lagi."
"Aku terharu. Mataku berkaca-kaca bahagia. Rasanya seperti mendapatkan minuman segar ketika berada di padang pasir," tulis Adek Berry di bukunya (halaman 264) yang ketika itu bertugas meliput peperangan di Afghanistan.
"Embeded" tulisnya yang berarti seorang jurnalis yang menempel dalam satu pasukan militer di daerah konflik. Terasa asing ketika melihat foto Adek Berry dengan pakaian muslimah berfoto bersama pasukan Marinir Amerika Serikat. Apalagi berdiri di depan kendaraan anti bom dan mengikuti pasukan marinir berpatroli di gurun pasir di Provinsi Helmand.
Adek Berry memberi judul buku ini "Mata Lensa" dan masih ada sambungan kalimat dibelakang judulnya, yakni "Jejak Ketangguhan seorang Jurnalis Foto Perempuan" yang berarti mengambarkan kegigihannya selama 20 tahun menekuni dunia jurnalisfoto dengan keberagamannya.
Menggali Memori
Untuk seorang fotografer bisa membuat buku setebal 358 halaman bukanlah pekerjaan mudah, sebab ia harus menggali memori selama 20 tahun juga tetap melakukan pekerjaan rutin, termasuk menjadi seorang ibu rumah tangga dengan dua putra.
"Sulit. Selain lama tidak menulis dengan baik dan benar, juga memori yang ditarik adalah memori dalam 20 tahun pengalaman bekerja dalam bidang jurnalistik," kata dia kepada Antara di Bojonegoro, Rabu (5/12).
Ia mengaku peluncuran buku Mata Lensa dilakukan di Kantor Pusat Kebudayaan Perancis di Jakarta, pada 29 November lalu.
"Cetakan awal 3.500 eksemplar. Beredar di seluruh Indonesia di Toko buku Gramedia, juga Toga Mas.," ucapnya.
Kesulitan yang dialami dalam membuat buku, sebagaimana dijelaskan dia, bukanlah dengan mudah bisa dilalui, karena banyak detil tulisan yang harus dicek ulang kepada rekan-rekan yang meliput bersama ketika kejadian.
Selain itu ia juga harus menulis untuk semua orang sehingga harus mampu memberikan gambaran yang jelas dan mudah ditangkap.
"Kesulitan lain adalah membagi waktu antara pekerjaan kantor, pekerjaan rumah dan agenda rutin lain yang tetap bergulir," ujarnya.
Menurut dia, selama menulis untuk membuat buku, tidak mengubah pekerjaannya sebagai jurnalis foto yang tetap menjalankan "assignment" (tugas) baik di luar negeri maupun keluar kota.
Bahkan, lanjut dia, kesulitan yang juga mendera yaitu fokus agar tetap menulis atau menyelesaikan buku. "Mood, keinginan lain, gangguan-gangguan kecil yang membuat distraksi saat menulis," ujarnya.
Yang jelas, menurut dia, untuk bisa menerbitkan buku Mata Lensa dibutuhkan waktu tiga tahun untuk mencapai kesepakatan dengan penerbit sampai buku siap naik cetak.
Ia merinci dalam kurun "on and off" selama tiga tahun, yaitu satu tahun yang intens menulis dan melakukan editing bersama editor.
"Akhir 2016 saya pakai cuti tahunan sekitar dua pekan untuk fokus menulis. Tidak keluar rumah termasuk tidak aktif di media sosial. Hanya sekali-kali cek telepon selular," kata dia menjelaskan.
Meskipun buku sudah rampung, kata dia, proses masih terus bergulir untuk editing dengan editor disebabkan bahasa, "angle" dan detil harus bisa menjangkau semua pembaca. Artinya dalam narasi bahasa harus bisa tepat dalam mengatur untuk menggunakan bahasa yang serius, juga menggunakan kalimat yang mengoda.
Oleh karena itu, ia mentargetkan buku Mata Lensa bisa dibaca pembaca umum, mahasiswa, siswa yang tengah mencari jati diri agar mengenali diri sendiri.
"Agar mereka tahu yang diinginkan (membaca buku Mata Lensa) lalu mengisi diri dengan berbagai kompetensi untuk mengejar mimpi mereka." katanya menegaskan.
Ia juga menyebutkan buku ini dipersembahkan untuk jurnalis/jurnalisfoto, praktisi maupun mereka yang tengah belajar.
"Semoga kisah pengalaman yang saya alami berguna bagi orang lain. Karena saya pun banyak belajar dari orang lain.
Harapan saya buku ini menjadi sumbangan positif bagi fotografi jurnalistik Indonesia," ucapnya menambahkan.
Adek Berry membagi bukunya menjadi delapan episode yang diawali kata pengantar oleh Wartawan Senior, Ketua Umum Yayasan Sekolah Jurnalisme Indonesia dan Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat Marah Sakti Siregar.
Sejumlah nama tokoh terkenal juga berpendapat terkait buku Mata Lensa, yaitu, Desi Anwar (TV Anchor, Senior Journalist), Oscar Matuloh (Jurnalis Foto dan Kurator Galeri Foto Antara) dan Yenny Wahid (Director of Wahid Foundation, a Muslim Peace activist).
Lainnya Arbain Rambey (Jurnalis Foto Senior Harian Kompas), Wisnu Nugroho (Pimpred Kompas.com) dan Johnny Hendarta, Hon E.FPSI,A.FPSI Fotografer Profesional, Ketua Dewan etik FPSI (Federasi Perkumpuan Senifoto Indonesia).
Delapan episode buku Mata Lensa yaitu Menjadi Jurnalis Foto, Martir Reformasi, Mendaki Gunung, Memotret Pesawat, Menghadapi Kekuatan Alam, Di Pusaran Konflik, "Ngepos" di Istana, dan Antiklimaks Sebuah Liputan.
Ada pepatah bahwa Mahkota sebuah Foto adalah "Kejujuran". Di sini di Mata Lensa, Adek Berry juga mampu menceriterakan dalam tulisan tentang kejujuran juga ketangguhannya sebagai seorang fotografer profesional sekaligus sebagai seorang ibu rumah tangga yang bisa menanggis. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017
Meskipun di dalam buku setebal 358 halaman itu juga dilengkapi dengan sejumlah foto berwarna dan hitam putih, tetapi lebih mengambarkan kondisi Adek Berry di lokasi peliputan.
Tidak hanya itu, buku itu juga mengambarkan kodratnya sebagai seorang ibu rumah tangga yang harus bertanggung jawab terhadap nasib anak-anaknya.
"Mata Lensa", buku yang diterbitkan TransMedia Pustaka dengan editor Nanang Junaedi merupakan tulisan kisah perjalanan Adek Berry dalam menekuni profesinya sebagai jurnalis foto di AFP. Pembuatan buku dengan melibatkan kurator foto Oscar Motuloh dan Rani Andriani Koeswara.
Tentang penulis disertakan dibelakang yang kemudian disusul belasan foto berwarna salah satunya foto poster bomber Bali Amrozi dan Ali Mukhlas yang diambil di Ponpes Al Islam di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan.
Di dalam catatan tentang penulis juga disebutkan "proses" itu yang kemudian menghantar Adek Berry mendapatkan penghargaan bergengsi dan NPPA (The Nasional Press Potographers Assosciation Amerika Serikat dan Life Magazine (Amerika Serikat) serta TIME LightBox untuk kerjanya di bidang jurnalistikfoto kategori bencana dan konflik.
Buku ini berisi kisah-kisah menarik tentang pergulatan Adek Berry dalam menekuni pekerjaannya dalam memperoleh foto yang menarik juga disertai bahaya yang mengancam, juga mendudukkan dirinya sebagai seorang ibu rumah tangga.
"Aku menerima SMS dari suamiku Yudi, saat tengah berada di dalam tenda di "Camp" Sabit Khadam yang juga dinamanakan "Camp Jackson", Sanggin Helmand Utara. isinya, "Alhamdullilah Hafid "student of the year lagi."
"Aku terharu. Mataku berkaca-kaca bahagia. Rasanya seperti mendapatkan minuman segar ketika berada di padang pasir," tulis Adek Berry di bukunya (halaman 264) yang ketika itu bertugas meliput peperangan di Afghanistan.
"Embeded" tulisnya yang berarti seorang jurnalis yang menempel dalam satu pasukan militer di daerah konflik. Terasa asing ketika melihat foto Adek Berry dengan pakaian muslimah berfoto bersama pasukan Marinir Amerika Serikat. Apalagi berdiri di depan kendaraan anti bom dan mengikuti pasukan marinir berpatroli di gurun pasir di Provinsi Helmand.
Adek Berry memberi judul buku ini "Mata Lensa" dan masih ada sambungan kalimat dibelakang judulnya, yakni "Jejak Ketangguhan seorang Jurnalis Foto Perempuan" yang berarti mengambarkan kegigihannya selama 20 tahun menekuni dunia jurnalisfoto dengan keberagamannya.
Menggali Memori
Untuk seorang fotografer bisa membuat buku setebal 358 halaman bukanlah pekerjaan mudah, sebab ia harus menggali memori selama 20 tahun juga tetap melakukan pekerjaan rutin, termasuk menjadi seorang ibu rumah tangga dengan dua putra.
"Sulit. Selain lama tidak menulis dengan baik dan benar, juga memori yang ditarik adalah memori dalam 20 tahun pengalaman bekerja dalam bidang jurnalistik," kata dia kepada Antara di Bojonegoro, Rabu (5/12).
Ia mengaku peluncuran buku Mata Lensa dilakukan di Kantor Pusat Kebudayaan Perancis di Jakarta, pada 29 November lalu.
"Cetakan awal 3.500 eksemplar. Beredar di seluruh Indonesia di Toko buku Gramedia, juga Toga Mas.," ucapnya.
Kesulitan yang dialami dalam membuat buku, sebagaimana dijelaskan dia, bukanlah dengan mudah bisa dilalui, karena banyak detil tulisan yang harus dicek ulang kepada rekan-rekan yang meliput bersama ketika kejadian.
Selain itu ia juga harus menulis untuk semua orang sehingga harus mampu memberikan gambaran yang jelas dan mudah ditangkap.
"Kesulitan lain adalah membagi waktu antara pekerjaan kantor, pekerjaan rumah dan agenda rutin lain yang tetap bergulir," ujarnya.
Menurut dia, selama menulis untuk membuat buku, tidak mengubah pekerjaannya sebagai jurnalis foto yang tetap menjalankan "assignment" (tugas) baik di luar negeri maupun keluar kota.
Bahkan, lanjut dia, kesulitan yang juga mendera yaitu fokus agar tetap menulis atau menyelesaikan buku. "Mood, keinginan lain, gangguan-gangguan kecil yang membuat distraksi saat menulis," ujarnya.
Yang jelas, menurut dia, untuk bisa menerbitkan buku Mata Lensa dibutuhkan waktu tiga tahun untuk mencapai kesepakatan dengan penerbit sampai buku siap naik cetak.
Ia merinci dalam kurun "on and off" selama tiga tahun, yaitu satu tahun yang intens menulis dan melakukan editing bersama editor.
"Akhir 2016 saya pakai cuti tahunan sekitar dua pekan untuk fokus menulis. Tidak keluar rumah termasuk tidak aktif di media sosial. Hanya sekali-kali cek telepon selular," kata dia menjelaskan.
Meskipun buku sudah rampung, kata dia, proses masih terus bergulir untuk editing dengan editor disebabkan bahasa, "angle" dan detil harus bisa menjangkau semua pembaca. Artinya dalam narasi bahasa harus bisa tepat dalam mengatur untuk menggunakan bahasa yang serius, juga menggunakan kalimat yang mengoda.
Oleh karena itu, ia mentargetkan buku Mata Lensa bisa dibaca pembaca umum, mahasiswa, siswa yang tengah mencari jati diri agar mengenali diri sendiri.
"Agar mereka tahu yang diinginkan (membaca buku Mata Lensa) lalu mengisi diri dengan berbagai kompetensi untuk mengejar mimpi mereka." katanya menegaskan.
Ia juga menyebutkan buku ini dipersembahkan untuk jurnalis/jurnalisfoto, praktisi maupun mereka yang tengah belajar.
"Semoga kisah pengalaman yang saya alami berguna bagi orang lain. Karena saya pun banyak belajar dari orang lain.
Harapan saya buku ini menjadi sumbangan positif bagi fotografi jurnalistik Indonesia," ucapnya menambahkan.
Adek Berry membagi bukunya menjadi delapan episode yang diawali kata pengantar oleh Wartawan Senior, Ketua Umum Yayasan Sekolah Jurnalisme Indonesia dan Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat Marah Sakti Siregar.
Sejumlah nama tokoh terkenal juga berpendapat terkait buku Mata Lensa, yaitu, Desi Anwar (TV Anchor, Senior Journalist), Oscar Matuloh (Jurnalis Foto dan Kurator Galeri Foto Antara) dan Yenny Wahid (Director of Wahid Foundation, a Muslim Peace activist).
Lainnya Arbain Rambey (Jurnalis Foto Senior Harian Kompas), Wisnu Nugroho (Pimpred Kompas.com) dan Johnny Hendarta, Hon E.FPSI,A.FPSI Fotografer Profesional, Ketua Dewan etik FPSI (Federasi Perkumpuan Senifoto Indonesia).
Delapan episode buku Mata Lensa yaitu Menjadi Jurnalis Foto, Martir Reformasi, Mendaki Gunung, Memotret Pesawat, Menghadapi Kekuatan Alam, Di Pusaran Konflik, "Ngepos" di Istana, dan Antiklimaks Sebuah Liputan.
Ada pepatah bahwa Mahkota sebuah Foto adalah "Kejujuran". Di sini di Mata Lensa, Adek Berry juga mampu menceriterakan dalam tulisan tentang kejujuran juga ketangguhannya sebagai seorang fotografer profesional sekaligus sebagai seorang ibu rumah tangga yang bisa menanggis. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017