Pamekasan (Antara Jatim) - Lembaga Sensor Film (LSF) menjelaskan ada hubungan antara film yang ditayangkan kepada publik dengan ideologi dan kebijakan politik yang dianut oleh negara dimana film itu diproduksi.
"Setiap produksi media yang dipublikasikan tidak lepas dari kepentingan ideologi bangsa dimana film tersebut diluncurkan kepada publik," kata pengurus LSF Arturo Gunapriatna saat menyampaikan sosialisasi Sosialisasi Kebijakan Lembaga Sensor Film di Pamekasan, Pulau Madura, Jawa Timur, Kamis.
Pria kelahiran Buenos Aires, Argentina, 26 Februari 1959 yang kini menjadi anggota LSF mewakili unsur masyarakat bidang perfilman ini lebih lanjut menjelaskan, film yang diproduksi oleh produsen film, tidak hanya sebagai media hiburan, akan tetapi juga sebagai media pendidikan kepada publik guna memperkenalkan jadi diri, ideologi dan budaya bangsa.
"Oleh karenanya, kepentingan ideologi sebuah bangsa juga masuk dalam film itu," kata Arturo yang juga pengajar pada Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta ini.
Anggota Komisi I Bidang Penyensoran dan Dialog ini lebih lanjut menjelaskan, memang kebijakan lembaga lembaga sensor di masing-masing periode berbeda, dan oleh karenanya, ada produksi film yang telah lulus sensor pada masa lalu, akan tetapi menuai kritik pada masa kini.
Salah satunya, seperti film Gerakan 30 September oleh PKI atau yang dikenal dengan film "G-30 S PKI".
Jenis film ini dinyatakan lulus sensor pada masa itu, dan relatif tidak mendapatkan protes keras masyarakat.
Akan tetapi akhir-akhir ini juga ada masyarakat yang mengkritik yang dinilai mempertontonkan kekerasan.
"Yang perlu diketahui pada kesempatan kali ini, bahwa rezim pemerintahan kala itu, yakni Orde Baru punya maksud tertentu sebagai rezim yang memproduksi film G 30/S PKI tersebut," ujarnya, menjelaskan.
"Tapi kalau ada masyarakat yang tidak setuju dengan film itu, ya jangan ditonton, bikinlah film tandingan yang dinilai lebih bagus," kata Arturo, editor film yang pernah meraih Piala Citra FFI 1991 untuk film "Cinta Dalam Sepotong Roti" itu, menambahkan.
Anggota LSM Arturo Gunapriatna menjelaskan hal ini, menanggapi pertanyaan audien dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pamekasan Hairul Anam tentang gambaran penculikan mata di film tersebut yang menurutnya, seolah telah membentuk fakta sejarah.
Sementara itu, Budayawan Madura D Zawawi Imron yang juga menjadi pembicara dalam kegiatan itu menjelaskan, yang terpenting dalam film adalah mengambil hikmah dari alur cerita yang disampaikan.
"Pencungkilan mata dalam peristiwa itu mungkin ada, tapi bisa saja tidak ada. Tetapi yang perlu kita lakukan adalah mengambil hikmah dari sejarah itu, bukan mengutuknya," ujar Zawawi. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017
"Setiap produksi media yang dipublikasikan tidak lepas dari kepentingan ideologi bangsa dimana film tersebut diluncurkan kepada publik," kata pengurus LSF Arturo Gunapriatna saat menyampaikan sosialisasi Sosialisasi Kebijakan Lembaga Sensor Film di Pamekasan, Pulau Madura, Jawa Timur, Kamis.
Pria kelahiran Buenos Aires, Argentina, 26 Februari 1959 yang kini menjadi anggota LSF mewakili unsur masyarakat bidang perfilman ini lebih lanjut menjelaskan, film yang diproduksi oleh produsen film, tidak hanya sebagai media hiburan, akan tetapi juga sebagai media pendidikan kepada publik guna memperkenalkan jadi diri, ideologi dan budaya bangsa.
"Oleh karenanya, kepentingan ideologi sebuah bangsa juga masuk dalam film itu," kata Arturo yang juga pengajar pada Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta ini.
Anggota Komisi I Bidang Penyensoran dan Dialog ini lebih lanjut menjelaskan, memang kebijakan lembaga lembaga sensor di masing-masing periode berbeda, dan oleh karenanya, ada produksi film yang telah lulus sensor pada masa lalu, akan tetapi menuai kritik pada masa kini.
Salah satunya, seperti film Gerakan 30 September oleh PKI atau yang dikenal dengan film "G-30 S PKI".
Jenis film ini dinyatakan lulus sensor pada masa itu, dan relatif tidak mendapatkan protes keras masyarakat.
Akan tetapi akhir-akhir ini juga ada masyarakat yang mengkritik yang dinilai mempertontonkan kekerasan.
"Yang perlu diketahui pada kesempatan kali ini, bahwa rezim pemerintahan kala itu, yakni Orde Baru punya maksud tertentu sebagai rezim yang memproduksi film G 30/S PKI tersebut," ujarnya, menjelaskan.
"Tapi kalau ada masyarakat yang tidak setuju dengan film itu, ya jangan ditonton, bikinlah film tandingan yang dinilai lebih bagus," kata Arturo, editor film yang pernah meraih Piala Citra FFI 1991 untuk film "Cinta Dalam Sepotong Roti" itu, menambahkan.
Anggota LSM Arturo Gunapriatna menjelaskan hal ini, menanggapi pertanyaan audien dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pamekasan Hairul Anam tentang gambaran penculikan mata di film tersebut yang menurutnya, seolah telah membentuk fakta sejarah.
Sementara itu, Budayawan Madura D Zawawi Imron yang juga menjadi pembicara dalam kegiatan itu menjelaskan, yang terpenting dalam film adalah mengambil hikmah dari alur cerita yang disampaikan.
"Pencungkilan mata dalam peristiwa itu mungkin ada, tapi bisa saja tidak ada. Tetapi yang perlu kita lakukan adalah mengambil hikmah dari sejarah itu, bukan mengutuknya," ujar Zawawi. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017