Bondowoso (Antara Jatim) - Ulama muda asal Jawa Timur KHR Ahmad Azaim Ibrahimy mengingatkan kaum santri agar memikirkan tantangan yang akan mereka hadapi di masa-masa mendatang.

"Untuk menyambut hari santri ini yang kita pikirkan adalah kirab atau gebyarnya. Jarang sekali di antara kita memikirkan apa tantangan kaum santri ke depan," kata Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo ini seusai tasyakuran Ulang Tahun ke-29 IKSASS di Bondowoso, Rabu malam.

Cucu Pahlawan Nasional KHR As'ad Syamsul Arifin ini mengutarakan definisi santri sebagaimana diungkapkan KH Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam sebuah acara.

Gus Mus dalam sebuah ceramahnya mendefinisikan santri itu adalah orang Indonesia yang beragama Islam. Mereka bukan kebetulan orang Islam yang ada di Indoneaia, mereka juga bukan turis. 

"Kiai-kiai desa itu tidak tahu nasionalisme. Tapi Kenapa mempertahankan Indonesia? Karena pikiran mereka sederhana, bahwa Indonesia ini rumahku," kata Gus Mus dalam rekaman di media sosial.

Menurut Kiai Azaim, sebagaimana yang diungkapkan oleh Gus Mus, definisi santri itu sangat luas. Tantangan santri ke depan adalah bagaimana mereka menjaga nilai-nilai kesantrian dalam arti memperjuangkan visi misi kesantrian di tengah masyarakat.

"Adanya santri itu berangkat dari kearifan lokal, warisan Wali Sanga. Santri itu kaum Muslim Indonesia, untuk tidak mengatakan pribumi sebagaimana yang ramai sekarang," katanya.

Ia kemudian mengutarakan definisi santri yang pernah disampaikan oleh KHR As'ad Syamsul Arifin, ada tiga, yakni "santri sesungguhnya", "orang yang berbau santri", dan "santri bau".

"Santri yang sesungguhnya, adalah orang yang mengamalkan ajaran gurunya, diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tentunya ajaran guru itu adalah nilai-nilai keislaman," kata lulusan pesantren di Mekkah ini.

Definisi kedua adalah mereka yang tidak pernah tinggal sekian tahun mengenyam pendidikan di pesantren, tapi secara kultural punya hubungan kuat dengan pesantren atau ulama. Mereka menyimak ajaran kiai dan mengamalkannya dengan sungguh-sungguh di tengah masyarakat.

"Mereka bisa lebih santri dari santri yang pernah tinggal di pesantren. Sementara yang ketiga yang bermasalah. Mereka mengenyam pendidikan ala pesantren, tapi ketika pulang ke masyarakat tidak mengamalkan ajaran gurunya dengan baik," katanya.

Mereka, katanya, justru terkontaminasi oleh ideologi-ideologi lain dan kemudian lebih tertarik pada paham-paham yang lain itu. Dalam definisi yang pernah populer di Indonesia, "santri bau" ini masuk sebagai bahaya laten. 

"Mereka terpengaruh ideologi lain dari luar Islam yang masuk melalui 'santri bau'. Mereka betul-betul paham lika liku kehidupan pesantren. Dalam sejarah keislaman mereka disebut kaum munafikun. Semoga para santri yang beriktikad baik mengamalkan ajaran kiai lebih kuat sehingga mampu memberantas karakter santri-santri bau ini," katanya.(*)

Pewarta: Masuki M. Astro

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017