Surabaya (Antara Jatim) - Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) meminta pemerintah mempertimbangkan rencana penetapan tarif cukai hasil tembakau (rokok) hingga 8,9 persen, karena masih memberatkan industri rokok di Indonesia.
Ketua AMTI Budidoyo di Surabaya, Jumat mengatakan, kebijakan cukai harus rasional dengan mempertimbangkan kelangsungan bisnis industri tembakau, sebab rencana penetapan tarif cukai masih dianggap tidak rasional dan membebani industri rokok.
"Hal ini terlebih juga melihat perekonomian Indonesia yang saat ini belum menunjukkan gejala peningkatan signifikan, sebab masih dalam keadaan terpuruk," tuturnya.
Ia menjelaskan, volume produksi tembakau Tanah Air setiap tahunnya terus menurun, seperti pada 2016 volume produksi sudah turun sebanyak 6 miliar batang.
Hingga petengahan tahun 2017, volume itu kembali turun hingga 5,4 miliar batang, dan diprediksi akan terus turun hingga 11 miliar batang sampai akhir tahun.
"Pada tahun 2018, diperkirakan volume produksi juga akan turun hingga 10 miliar batang. Oleh karena itu, kami yakin pemerintah sudah mengerti kalau industri rokok dalam fase penurunan. Kenapa tarif cukainya masih dibuat tinggi ?," katanya, menanyakan.
Budidoyo mengaku, kalau dipaksakan sama dengan tidak memberi peluang bagi industri hasil tembakau untuk hidup.
Pada 2017, kata dia, tarif cukai berlaku sebesar 10.5 persen, dan menyebabkan volume industri rokok anjlok hingga 2 persen, dan apabila rencana kenaikan cukai 8,9 persen untuk tahun 2018 ditetapkan, akan dirasa sangat memberatkan karena industri hasil tembakau saat ini dalam keadaan terpuruk.
"Data ini harusnya menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah jika cukai dinaikkan terlalu tinggi. 8,9 persen akan memberatkan apalagi di atasnya," katanya.
Ia meminta pemerintah saat ini tidak hanya bergantung pada cukai tembakau sebagai sumber penerimaan cukai, terutama di tengah lesunya kondisi industri tembakau tahun ini, karena masih banyak potensi lainnya.
Budidoyo menjelaskan, industri tembakau merupakan industri padat karya yang melibatkan jutaan orang dari hulu hingga hilir, dan mata rantai industri hasil tembakau sangat panjang, karena tidak semata hanya melibatkan pabrikan rokok saja.
Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret-Kretek Indonesia (MPSI), Djoko Wahyudi, mengaku pihaknya juga tidak setuju dengan tingginya cukai rokok yang bakal dikenakan untuk tahun 2018.
"Bila rencana itu jadi dilakukan, maka yang bakal terjadi adalah kolapsnya industri rokok yang berakibat pada perumahan dan PHK pekerja rokok. Bila itu terjadi, maka target pemerintah untuk cukai rokok tak bakal terpenuhi," katanya.
Sementara itu, tahun 2017 pemerintah menetapkan tarif cukai rokok sebesar 10,5 persen dengan target penerimaan cukai rokok Rp147,5 triliun. Di tahun 2018, tarif cukai direncanakan ditetapkan 8,9 persen dengan target penerimaan cukai sebesar Rp155,4 triliun yang salah satunya berasal dari cukai rokok sebesar Rp148,2 triliun atau naik 0,5 persen dari target tahun lalu.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017