Surabaya (Antara Jatim) - Udara panas menyergap. Cuaca begitu terik. Tanaman jati yang biasanya hijau, terlihat meranggas bersama datangnya kemarau  yang menyelimuti kawasan Dusun Blimbing, Sambongrejo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
    
Namun, musik dari lesung penumbuk padi yang ditabuh rancak, sedikit demi sedikit mampu mengusir rasa gerah. Lagu "Lesung Jumengglung"  dibarengi musik lesung yang dipukul oleh ibu-ibu warga Samin, terdengar merdu, sehingga membuat suasana lebih damai.
    
Berpakaian kebaya warna hitam, para ibu-ibu warga Samin berada di kanan kiri lesung. Mereka mengayunkan antan untuk dipukulkan ke bagian lesung secara bergantian selaras nada. Lesung berbahan batang kayu berukuran cukup besar, mampu mengeluarkan nada berbeda-beda, sesuai bagiannya.
    
Atraksi tabuh lesung masyarakat Samin tersebut biasa ditampilkan saat menyambut tamu. Musik lesung ini juga lazim mereka mainkan saat mengolah hasil panen padi. Bulir padi yang masih ada kulitnya ditumbuk di lesung, mengelupas, ditampi dan menghasilkan beras.
    
Masyarakat Samin Sambongrejo saat itu sedang punya hajat, menyambut tamu Wakil Bupati Blora, Arif Rahman, bersama jajaran Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (Jabanusa), Exxon Mobile  serta peserta Lokakarya Media.
    
Keguyuban sangat terasa saat menginjakkan kawasan permukiman masyarakat Samin yang telah masyhur karena ajarannya,  Saminisme. Mereka berkumpul di pendopo sebagai lokasi komunal dalam beraktivitas untuk menyambut tamu.
    
Mereka menerima secara lesehan di bangunan berukuran sekitar 20X20 meter itu. Jamuan yang disediakan juga hasil bumi yang selama ini mereka budi dayakan,  seperti ketela, kacang, umbi-umbian, pisang rebus serta tapai ketan berbalut daun ploso. Mereka menyebut semua sajian itu dengan nama  "krowotan". Sedangkan minuman yang disajikan bersama krowotan seperti teh, kopi, air putih maupun kopi susu.  

Makanan dan minuman disajikan dalam sebuah paket  pada baki. Para tamu dipersilahkan mengambil sendiri makanan maupun minuman yang disukai.

Tidak ada sama sekali kesan mewah. Justru kesan kesederhanaan, kekeluargaan dan ketulusan yang tersirat dari cara mereka menyambut tamu. Mereka terlihat ceria menerima saudaranya dari luar. Mereka mengantarkan ke tempat bertani, ke tempat perladangan, ke tempat peternakan dan ke lingkungan permukiman mereka yang relatif seragam. Mereka dengan suka cita berbagi pengalaman.

Warga Samin di Sambongrejo ada  sekitar 40 Kepala Keluarga (KK). Mereka merupakan sebagian kecil dari masyarakat Samin atau Sedulur Sikep yang banyak tinggal di Kabupaten Blora, seperti di Desa Klopoduwur, Kemantren,  Bapangan  dan lainnya.
    
Bahkan, masyarakat Samin pada beberapa tahun lampau,  seperti dimuat dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie (1919),  diyakini telah menyebar ke berbagai daerah di luar Blora, utamanya daerah di kawasan Kendeng seperti di Bojonegoro,  Pati, Rembang, Kudus,  dan Grobogan.
    
Selaras dengan itu, buku Rich Forests, Poor People - Resource Control and Resistance in Java, yang ditulis Nancy Lee Peluso juga menjelaskan bahwa pergerakan Samin tumbuh tahun 1890 di dua desa hutan kawasan Randublatung, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, dan kemudian cepat menjalar ke desa-desa lainnya.
    
Sedangkan masyarakat Samin adalah salah satu suku di Indonesia. Masyarakat ini merupakan keturunan para pengikut Samin Surosentiko. Pengikut Samin Surosentiko inilah  yang kemudian disebut "Wong Samin" atau  Sedulur Sikep.

 
Masyarakat Terbuka 

Dukuh Blimbing, Desa Sambongrejo, yang ditinggali masyarakat Samin berada di Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora.  Dusun ini berada di kawasan yang banyak ditumbuhi hutan jati.
    
Dusun Blimbing berada tidak jauh dari jalan utama yang menghubungkan Kecamatan Cepu yang berbatasan dengan Kabupaten Bojonegoro di Jawa Timur  dengan pusat Kota Blora di Jawa Tengah. Jarak Dukuh Blimbing hanya sekitar satu kilometer dari jalan utama Cepu- Blora.
    
Untuk menuju permukiman masyarakat Samin di dusun ini bisa ditempuh sekitar 30 menit ke arah timur dari Kota  Blora. Sedangkan dari Cepu dapat ditempuh ke arah barat jauh lebih cepat,  karena jaraknya cukup dekat, sekitar 10 kilometer.
     
Sambongrejo bukan daerah yang terisolir. Oleh karena itu, masyarakat Samin pada dasarnya adalah masyarakat yang terbuka, karena mereka dengan mudah berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya. Masyarakat Samin bukan merupakan masyarakat yang fanatik, meskipun  tetap menjunjung tinggi ajaran Saminisme.
    
Samin Surosentiko sebagai pencetus Saminisme adalah kelahiran Desa Ploso Kedhiren, Randublatung, tahun 1859. Dia meninggal di pengasingan di Sumatra. Sedangkan Saminisme, berdasarkan literatur,  merupakan aksi pergerakan yang dilakukan komunitas Samin terhadap penjanjahan Belanda dan Jepang.

Masyarakat Samin melakukan pembangkangan, menolak membayar pajak, menolak bergotong royong, menolak ronda dan menjual hasil bumi kepada pemerintahan penjajah pada saat itu.  

Mereka melalukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial dengan caranya, tanpa kekerasan. Cara itu yang oleh sejumlah pihak dinamai aksi "nggendhengi". Namun,  sejak Indonesia merdeka, masyarakat Samin merupakan masyarakat yang taat kepada pemerintah.

Terlepas dari stigma bahwa masyarakat Samin dikenal lugu, tradisional atau bahkan terbelakang, tapi banyak ajaran-ajaran Saminisme yang menanamkan nilai-nilai positif, masih tetap relevan dengan konteks kekinian.

Nilai-nilai  yang diajarkan dalam paham Saminisme seperti nilai kebersamaan, kejujuran, kesederhanaan,  antikekerasan, tidak eksploitatif terhadap lingkungan, tidak mengambil yang bukan haknya atau koruptif dan lain sebagainya. Jika ada anggota yang tidak mematuhi nilai dan norma yang ada, mereka akan dikucilkan. Mereka punya "angger-angger",  aturan hukum tidak terulis.

Sesepuh masyarakat Samin, Pramugi Prawiro Wijoyo mengakui hal itu. Aturan tidak tertulis itu sama halnya dengan ajaran Saminisme yang tidak pernah dibukukan atau ditulis. Sebab,  pengertian menulis bagi masyarakat Samin ada dua, yakni menulis di atas papan dan menulis di dalam papan.
    
Menulis di atas papan maksudnya adalah menulis seperti halnya menulis di buku. Sedangkan menulis di dalam papan pengertiannya adalah menulis di dalam benak pikiran dan hati.  Pengertian yang kedua ini biasa dikenal masyarakat Jawa dengan istilah "tulis tanpo papan", menulis tanpa papan, kertas atau buku.

Belajar Membaca

Masyarakat Samin atau Sedulur Sikep di Dusun Blimbing, Desa Sambongrejo, tampaknya tidak ingin larut dalam stigma negatif yang melekat pada mereka. Masyarakat Samin bukanlah masyarakat tradisional maupun masyarakat yang  jauh dari mengenal perkembangan zaman.
    
Masyarakat Samin di Sambongrejo terus berbenah diri dalam  menyiapkan masa depan generasinya. Sedulur Sikep di daerah ini telah intens belajar membaca, menulis dan berhitung.

Petugas dari sanggar kegiatan belajar (SKB), yakni unit pelaksana teknis (UPT) Dinas Pendidikan Kabupaten Blora, Jumini, yang selama ini mendampingi masyarakat Samin mengatakan, selain belajar membaca, menulis dan berhitung, mereka juga belajar ketrampilan yang lain seperti membatik dan membuat kerajinan tangan.

Anak-anak Samin usia sekolah, utamanya usia sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, belajar di bangku sekolah formal. Sedangkan bagi masyarakat Samin pada umumnya, belajar bersama di pendopo didampingi petugas dari dinas pendidikan setempat.

Di pendopo juga telah tersedia perpustakaan kendati koleksi bukunya masih relatif sedikit. Bahkan, fasilitas internet untuk mengakses dunia luar atau dunia maya seperti halnya digunakan masyarakat pada umumnya, juga ada.

Memang, diakui untuk menumbuhkan semangat belajar membaca, menulis dan berhitung di kalangan masyarakat Samin, tentu tidak mudah. Sebab, masyarakat Samin yang bermata pencaharian bertani, seharian waktunya dihabiskan untuk bercocok tanam. Mereka belajar dengan sisa-sisa tenaganya.

Kendati begitu, sesepuh masyarakat Samin, Pramugi Prawiro Wijoyo, menyambut baik kegiatan tersebut. Dia tidak ingin masyarakatnya ketinggalan zaman karena tidak bisa membaca  maupun menulis. Ia juga tidak ingin Sedulur Sikep dibohongi orang luar hanya karena tidak bisa membaca dan menulis.

Kepala SKK Migas Jabanusa Ali Masyhar ketika bertamu ke lingkungan masyarakat Samin di Sambongrejo menyatakan kekagumannya atas nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat Samin.  

"Belajar kearifan tidak perlu jauh-jauh, di sini tempatnya. Kita bisa belajar dari masyarakat Samin yang istiqomah dan nyata dalam menjalankan nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini kebenarannya," kata dia. (*)

Pewarta: Slamet Hadi Purnomo

Editor : Masuki M. Astro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017