Malang (Antara Jatim) - Pemerintah Kota Malang minta Kementerian Perhubungan segera menerbitkan aturan yang jelas dan tegas terkait pengoperasian transportasi berbasis aplikasi dalam jaringan (daring/online) karena terus menerus memunculkan polemik di tingkat daerah.

Wakil Wali Kota Malang Sutiaji di Malang, Jawa Timur, Selasa mengemukakan selama belum ada payung hukum yang jelas dan tegas sejak dikabulkannya gugatan regulasi terkait taksi online oleh Mahkamah Agung (MA) beberapa waktu lalu, di daerah akan terjadi benturan dan memunculkan polemik yang tidak berkesudahan.

"Regulasi di tingkat daerah pun juga sulit diterbitkan. Kalaupun dibuat, mungkin hanya berkaitan dengan gojek, kurang lengkap dan itu pun sampai sekarang juga belum ada, karena itu ranahnya pusat. Oleh karena itu, kami desak pusat agar segera menerbitkan aturan yang jelas agar di daerah tidak terjadi benturan terus menerus," katanya.

MA mengabulkan gugatan pihak taksi online dan berdampak pada dicabutnya beberapa poin dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam Trayek atau Permenhub tentang Taksi Online.

Ia mengakui di daerah tidak ada dasar hukum yang mengatur terkait transportasi berbasis aplikasi online tersebut. "Aturan dan regulasinya merupakan kewenangan dan ranahnya pemerintah pusat, sehingga kami yang di daerah tidak bisa berbuat apa-apa ketika ada tuntutan atau komplain dari transportasi konvensional," ujarnya.

Setelah mereda beberapa bulan terakhir, polemik dan tarik ulur terkait transportasi berbasi aplikasi online kembali muncul, bahkan ribuan sopir transportasi  konvensional, baik angkutan umum kota (angkot) maupun taksi berencana menggelar aksi besar-besaran memprotes keberadaan transportasi online tersebut, Senin (18/9), namun dibatalkan.

Meski rencana itu dibatalkan, bukan berarti permasalahan ini tuntas. "Ada kekosongan hukum dalam fenomena transportasi online yang mencuat satu tahun terakhir ini. Oleh karenanya, kami sampaikan ke pemerintah pusat, daerah tidak ada dasar hukum yang mengatur dan pemerintah pusat harus segera membuat regulasinya agar tidak memnculkan polemik terus menerus," ujarnya.

Sementara itu, salah seorang sopir angkot trayek Landungsari-Dinoyo-Arjosari (ADL), Mohammad menilai tidak adanya keadilan terkait transportasi online tersebut, sebab seluruh kendaraan konvensional harus taat aturan, mulai dari izin trayek, uji kir hingga peraturan lainnya.

Sedangkan transportasi online, katanya, tiba-tiba beroperasi di wilayah operasional angkot dan taksi konvensional, tanpa ada izin trayek, uji kir dan ketentuan lainnya yang wajib dipatuhi seperti halnya angkot dan taksi konvensional. "Enak sekali mereka beropearsi tanpa harus memenuhi segala aturan seperti yang kami jalani selama ini," ucapnya.

Sebelum adanya transportasi berbasis aplikasi online, lanjutnya, penumpang angkot sudah menurun drastis akibat terbukanya pasar sepeda motor dengan pemberian kredit murah dan mudah, bahkan tanpa batasan jumlah kendaraan (sepeda motor) yang dilepas ke pasaran.

"Dulu saja sudah sangat sulit mendapatkan penumpang, apalagi sekarang setelah adanya transportasi berbasis online. Lama-lama kami (angkot) akan mati dengan sendirinya, apalagi sekarang juga ada grab dan gojek," katanya.

Pada awal 2017, ribuan sopir angkot dan taksi menggelar unjuk rasa, bahkan mogok massal hingga beberapa hari sehingga ribuan penumpang tak terangkut dan berdampak pada kelancaran serta kinerja pegawai yang masih mengandalkan angkot.  

Akhirnya penumpang diangkut kendaraan militer dan relawan yang bermunculan, baik relawan sepeda motor maupun mobil. Rencananya, ribuan sopir angkot tersebut menggelar unjuk rasa lagi (Senin, 18/9), namun diurungkan.(*)

Pewarta: Endang Sukarelawati

Editor : Masuki M. Astro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017