Surabaya (Antara Jatim) - Pakar komunikasi dan politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Suko Widodo meraih gelar doktor ilmu sosial setelah menjalani sidang terbuka di kampus itu di Surabaya, Kamis.

Dalam sidang tersebut, Suko Widodo berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul "Kolonisasi Ruang Publik dalam Penyiaran Publik di Indonesia, Studi Kasus Penyiaran Publik Lokal Jawa Timur (TVRI Jatim dan ATV Batu) di hadapan para penguji dan mendapat predikat sangat memuaskan dengan indeks prestasi 3,81.

Sejumlah tokoh hadir menjadi penguji dan penyanggah dalam ujian doktor terbuka Suko Widodo, antara lain Gubernur Jatim Soekarwo, dosen Universitas Indonesia (UI) Effendi Ghazali, Wakil Rektor I Unair Prof Djoko Santoso, dan lain-lain. Sementara Prof Hotman Siahaan menjadi promotor dan Prof Rachmah Ida selaku ko-promotor.

Suko Widodo usai sidang mengatakan, penelitian disertasi yang ia angkat dilatarbelakangi oleh maraknya praktik penyelenggaraan siaran televisi di Indonesia.

"Regulasi pertelevisian diberlakukan sebagai konsekuensi dari upaya membangun sistem demakrasl di Indonesia. Harapannya, dengan keberadaan media televisi di berbagai daerah akan memiliki ruang publik sebagai sarana mengekspresikan kepentingannya," kata dia.

Namun dalam realitasnya, lanjut Suko, terjadi kompetisi stasiun televisi lokal yang ketat dan beberapa stasiun televisi kesulitan menjalankan operasionaI siarannya. Hal sama juga berlangsung pada televisi publik lokal yang terpaksa harus menerabas aturan demi keberlangsungan operasional siarannya.

"Akibatnya, publik setempat yang seharusnya memperoleh ruang publiknya sebagai konsekuensi dari otonomi penyiaran, dalam kenyataannya tidak mendapatkannya secara maksimal," ujar Ketua Pusat Informasi dan Humas (PIH) Unair ini.

Dia menjelaskan, kajian yang dia ambil berfokus pada gagasan ruang publik yang dikemukakan Jurgen Habermas dan praktik ekonomi politik media yang diajukan Moscow untuk menjawab tiga persoalan. Selain itu, penelitiannya juga merujuk pada gagasan ruang publik (televisi) yang wajib memfasilitasi ruang berkomunikasi bagi publik-dan kemudian menelaahnya dengan pendekatan ekonomi politik.

"Semoga penelitian saya bisa memiilki dampak kongkret bagi ranah keilmuan tearitis, maupun di ranah praktik pengelolaan pertelevisian tanah air. Sehingga, pertelevisian kita, khususnya televisi lokal, bisa lebih bersumbangsih dalam menyalurkan aspirasi masyarakat," ujar dia.

Sementara itu, dosen Universitas Indonesia (UI) Effendi Ghazali mengatakan kadangkala orang membuat disertasi sambil berpikir, nanti kalau jadi ahli atau pakar bisa laku atau tidak di pasaran. "Misalnya jadi ahli komunikasi politik yang kemudian bisa menjadi konsultan dalam Pilkada. Sudah terbayang berapa miliar yang didapat nanti," kata dia.

Hal itu berbanding terbalik dengan yang dilakukan Suko Widodo. Menurut Effendi, yang ditempuh Suko ini kadang-kadang disebut jalan sunyi, "the third way taken" atau jalan ketiga yang orang lain tidak lewat. "Karena jangan-jangam dia (Suko) satu-satunya ahli penyiaran publik yang berlevel doktor," ujarnya.

Sebagai ahli penyiaran publik, lanjut dia, jalannya seperti jalan sunyi. Tidak banyak uangnya, orang sudah tidak peduli penyiaran publik ditonton atau tidak, serta sedikit yang meneliti. Padahal, di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, Inggris, Jepang, Korea Selatan, serta Australia, penyiaran publiknya maju.

Gubernur Jatim Soekarwo mengapresiasi langkah Suko Widodo yang masih memikirkan penyiaran publik sebagai ruang publik. "Dia memang harus mendengarkan suara yang tidak didengar karena liberalisme makin memarjinalkan penyiaran publik," ujar pria yang akrab disapa Pakde Karwo ini.(*)

Pewarta: willy irawan

Editor : Masuki M. Astro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017