Tulungagung, (Antara Jatim) - Andalan Petani Tebu Rakyat Republik Indonesia (APTRI) Cabang Tulungagung aksi solidaritas mogok massal selama 10 menit di depan pintu masuk Pabrik Gula Modjopanggung, Tulungagung, Jawa Timur, Kamis.

Aksi sederhana itu dilakukan dengan memarkir 12 truk bermuatan tebu di pinggir Jalan Raya Kawi yang menjadi jalur lingkar Kota Tulungagung via Karangrejo atau tepat di depan pintu masuk PG Modjopanggung.

Tak bertahan lama, unjuk rasa yang disebut pengurus APTRI Tulungagung sebagai aksi solidaritas terhadap gerakan APTRI secara nasional itu hanya berlangsung sekitar 10 menit.

Usai memarkir seluruh truk muatan tebu yang datang, para petani tebu kemudian membentangkan dua spanduk berisi tuntutan kepada pemerintah agar menghapus kebijakan PPN gula 10 persen, stop gula impor dan kenaikan HPP (harga pokok penjualan) serta HET (harga eceran tertinggi).

Setelah melakukan simbolisasi aksi dengan membentangkan kedua spanduk di depan truk-truk muatan tebu didampingi polisi dan TNI yang asyik ikut berfoto bersama belasan massa aksi, mereka lalu membubarkan diri.

Satu per-satu truk masuk ke dalam area PG Modjopanggung untuk menurunkan muatan. "Memang aksi ini bagian dari solidaritas kami terhadap gerakan aksi yang diinstruksikan DPP APTRI secara nasional," kata pengurus APTRI Tulungagung Sutrisno.

Kendati tak merasakan langsung dampak kebijakan PPN 10 persen terhadap produksi gula nasional, petani tebu rakyat di Tulungagung tegas meminta agar regulasi tersebut tidak jadi diterapkan.

Pasalnya, sebagaimana diungkapkan Sutrisno maupun beberapa pengurus APTRI Tulungagung yang hari itu terlibat dalam aksi solidaritas seperti Suryanto dan Ari Sudibyo, pengenaan PPN 10 persen tetap akan berpengaruh negatif terhadap harga tebu di tingkat petani.

"Kenapa kami menolak, ya karena fluktuasi harga tebu rakyat ini patokannya adalah rendemen dan harga gula. Kalau investor atau pedagang menahan produksi gula karena kebijakan PPN yang memberatkan itu, tentu efek dominonya tentu sampai juga ke petani," tutur Ari Sudibyo.

Selain itu, lanjut Ari, pengenaan pajak tersebut dirasa memberatkan petani tebu rakyat. Secara teori seharusnya pajak tersebut ditanggung oleh pembeli, namun dalam praktiknya justru petani yang dibebani.

Apalagi, terhitung mulai musim giling yang berlangsung sejak Mei 2017 para petani tebu sudah dipungut pajak oleh pembeli.

"Memang wacananya yang dikenakan pajak adalah investor, namun kenyataannya pajak tersebut kami yang nanggung, sehingga penghasilan petani semakin kecil," ucapnya.

Menurut pengurus APTRI cabang Tulungagung Sutrisno dan Suryanto, kondisi petani semakin terpuruk dengan adanya gula impor, sehingga membuat harga gula rakyat turun dan kurang diminati oleh masyarakat.

Selain itu, mereka juga meminta pemerintah untuk menaikkan harga pokok penjualan dan harga eceran tertinggi gula di pasaran.

Saat ini gula dari petani hanya dipatok sebesar Rp9.600 per kilogram, sehingga pendapatan petani hanya cukup untuk biaya pemeliharaan tebu hingga musim panen berikutnya.

"Idealnya harga eceran tertinggi gula (HET) Rp12.500 di atas besaran biaya pokok produksi (BPP) yang kini mencapai Rp10.700 per kilogramnya sehingga petani baru menikmati keuntungan," ujar Sutrisno.(*)
Video Oleh: Destyan H Sujarwoko

Pewarta: Destyan H. Sujarwoko

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017