Tulungagung (Antara Jatim) - Bupati Tulungagung Sahri Mulyo mendukung sikap ormas NU setempat yang menolak kebijakan "fullday school" dengan membubuhkan tanda tangan petisi di atas selembar kain panjang, bersama Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf saat hadir dalam acara halalbihalal dan silaturahim warga nahdliyin di PCNU Tulungagung, Minggu.
Saat dikonfirmasi mengenai keputusannya menandatangani petisi penolakan program FDS di sekolah, Bupati Sahri mengatakan sikap itu selaras dengan sikap Pemda Tulungagung dalam merespon polemik kebijakan program pendidikan lima hari masuk sekolah dalam sepekan tersebut.
"Memang sebaiknya kebijakan 'fullday school' itu sebaiknya ditunda," kata Sahri Mulyo kepada wartawan.
Sahri beralasan, Jawa Timur identik dengan nahdliyin. Fakta itu menurutnya tidak lepas dari besarnya jumlah warga nahdliyin yang mencapai 80 persen lebih dari total penduduk Jatim yang menurut statistik mencapai 40 juta lebih.
"Jatim itu identik dengan NU, dan NU identik dengan madratsah diniyah. Sehingga jika kebijakan 'fullday school' ini diterapkan maka dikhawatirkan pendidikan ahlak itu bakal 'njomplang' (tidak seimbang)," katanya.
Sahri mengatakan, sikap Pemda Tulungagung sejalan dengan sikap NU dalam hal FDS karena mayoritas warganya adalah nahdliyin, sehingga aspirasi ormas Islam terbesar itu selalu menjadi acuannya dalam mengambil kebijakan dalam hal layanan publik.
"Saya instruksikan kepada dinas pendidikan untuk tidak menerapkan kebijakan FDS ini karena memang faktanya program lima hari masuk sekolah ini tidak cocok diimplementasikan di Tulungagung," ujarnya.
Sahri mengaku belum mendengar ada sekolah di daerahnya yang sudah mulai menerapkan sistem FDS, yakni SMAN 1 Boyolangu, SMAN 1 Kedungwaru, SMAN 1 Rejotangan, SMKN 1 Boyolangu, SMKN 3 Boyolangu dan SMKN Bandung.
"Jenjang SMA/SMK tidak di bawah kewenangan Dindik Tulungagung, melainkan langsung dikelola oleh provinsi. Jika ada sekolah di bawah naungan pemkab yang berkeras menjalan FDS ini, nanti akan saya panggil kepala dinas (pendidikan) agar kebijakan itu dipending dulu," katanya.
Senada, Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Tulungagung Supriyono setuju sikap warga nahdliyin yang menolak "fullday school".
Supriyono yang juga Ketua DPRD Tulungagung dan Ketua DPC PDIP Tulungagung, ikut membubuhkan tanda tangan di atas lembaran kain panjang yang dipasang di depan kantor PCNU, bersama Wagub Saifullah Yusuf, Wabup Tulungagung, Maryoto Bhirowo, Ketua PCNU Tulungagung Abdul Hakim Mustofa, serta sejumlah kiai dan ratusan warga nahldiyin lain.
"Kasihan anak-anak (siswa) itu jika kebijakan FDS ini dipaksakan berlaku. Mereka akan kelelahan, kehilangan keceriaan, dan waktu untuk bermain," ujarnya.
Menurut Supriyono, konsep para petinggi di sana (pusat) itu tidak ideal dilaksanakan di daerah.
Banyak resistensi, terutama dari NU dan itu harus menjadi pertimbangan bahwa sistem ini justru akan mengganggu kesempatan anak-anak mendapat pendidikan di luar akademik, terutama urusan ahlakul karimah.
"Dengan pertimbangan aspek itu saya selaku Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Tulungagung menyatakan menolak kebijakan 'fullday school'," ujarnya.
Sementara itu, Ketua PCNU Tulungagung Ambul Hakim Mustofa mengatakan bahwa gerakan petisi penolakan pelaksanaan program FDS merupakan kebijakan menyeluruh yang digalang PBNU secara nasional.
Dia beralasan, basis pengembangan pendidikan NU adalah madratsah diniyah. Pelaksanaan program pendidikan lima hari masuk sekolah dalam sepekan dengan durasi pembelajaran lebih dari delapan jam di sekolah reguler akan mematikan kesempatan pengembangan pendidikan diniyah di pesantren.
"Kalau full day school diterapkan dengan sehari delapan jam pendidikan, kan tidak ada waktu lagi anak-anak kita mengikuti program pendidikan diniyah. Padahal lembaga informal ini pendidikan karakter, pembangunan ahlak warga yang cinta NKRI selama ini dibangun di basis-basis pesantren NU," kata Mustofa.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017
Saat dikonfirmasi mengenai keputusannya menandatangani petisi penolakan program FDS di sekolah, Bupati Sahri mengatakan sikap itu selaras dengan sikap Pemda Tulungagung dalam merespon polemik kebijakan program pendidikan lima hari masuk sekolah dalam sepekan tersebut.
"Memang sebaiknya kebijakan 'fullday school' itu sebaiknya ditunda," kata Sahri Mulyo kepada wartawan.
Sahri beralasan, Jawa Timur identik dengan nahdliyin. Fakta itu menurutnya tidak lepas dari besarnya jumlah warga nahdliyin yang mencapai 80 persen lebih dari total penduduk Jatim yang menurut statistik mencapai 40 juta lebih.
"Jatim itu identik dengan NU, dan NU identik dengan madratsah diniyah. Sehingga jika kebijakan 'fullday school' ini diterapkan maka dikhawatirkan pendidikan ahlak itu bakal 'njomplang' (tidak seimbang)," katanya.
Sahri mengatakan, sikap Pemda Tulungagung sejalan dengan sikap NU dalam hal FDS karena mayoritas warganya adalah nahdliyin, sehingga aspirasi ormas Islam terbesar itu selalu menjadi acuannya dalam mengambil kebijakan dalam hal layanan publik.
"Saya instruksikan kepada dinas pendidikan untuk tidak menerapkan kebijakan FDS ini karena memang faktanya program lima hari masuk sekolah ini tidak cocok diimplementasikan di Tulungagung," ujarnya.
Sahri mengaku belum mendengar ada sekolah di daerahnya yang sudah mulai menerapkan sistem FDS, yakni SMAN 1 Boyolangu, SMAN 1 Kedungwaru, SMAN 1 Rejotangan, SMKN 1 Boyolangu, SMKN 3 Boyolangu dan SMKN Bandung.
"Jenjang SMA/SMK tidak di bawah kewenangan Dindik Tulungagung, melainkan langsung dikelola oleh provinsi. Jika ada sekolah di bawah naungan pemkab yang berkeras menjalan FDS ini, nanti akan saya panggil kepala dinas (pendidikan) agar kebijakan itu dipending dulu," katanya.
Senada, Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Tulungagung Supriyono setuju sikap warga nahdliyin yang menolak "fullday school".
Supriyono yang juga Ketua DPRD Tulungagung dan Ketua DPC PDIP Tulungagung, ikut membubuhkan tanda tangan di atas lembaran kain panjang yang dipasang di depan kantor PCNU, bersama Wagub Saifullah Yusuf, Wabup Tulungagung, Maryoto Bhirowo, Ketua PCNU Tulungagung Abdul Hakim Mustofa, serta sejumlah kiai dan ratusan warga nahldiyin lain.
"Kasihan anak-anak (siswa) itu jika kebijakan FDS ini dipaksakan berlaku. Mereka akan kelelahan, kehilangan keceriaan, dan waktu untuk bermain," ujarnya.
Menurut Supriyono, konsep para petinggi di sana (pusat) itu tidak ideal dilaksanakan di daerah.
Banyak resistensi, terutama dari NU dan itu harus menjadi pertimbangan bahwa sistem ini justru akan mengganggu kesempatan anak-anak mendapat pendidikan di luar akademik, terutama urusan ahlakul karimah.
"Dengan pertimbangan aspek itu saya selaku Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Tulungagung menyatakan menolak kebijakan 'fullday school'," ujarnya.
Sementara itu, Ketua PCNU Tulungagung Ambul Hakim Mustofa mengatakan bahwa gerakan petisi penolakan pelaksanaan program FDS merupakan kebijakan menyeluruh yang digalang PBNU secara nasional.
Dia beralasan, basis pengembangan pendidikan NU adalah madratsah diniyah. Pelaksanaan program pendidikan lima hari masuk sekolah dalam sepekan dengan durasi pembelajaran lebih dari delapan jam di sekolah reguler akan mematikan kesempatan pengembangan pendidikan diniyah di pesantren.
"Kalau full day school diterapkan dengan sehari delapan jam pendidikan, kan tidak ada waktu lagi anak-anak kita mengikuti program pendidikan diniyah. Padahal lembaga informal ini pendidikan karakter, pembangunan ahlak warga yang cinta NKRI selama ini dibangun di basis-basis pesantren NU," kata Mustofa.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017