Senin, 17 Juli 2017, menjadi hari pertama masuk sekolah untuk tahun pembelajaran 2017/2018. Para orang tua sibuk pergi ke sekolah, mulai menyiapkan berbagai peralatan anak, mencarikan tempat duduk dalam kelas, hingga yang sekedar mengantar ke sekolah, dan lain sebagainya.

Kehebohan orang tua saat anak sekolah hari pertama juga tampak di berbagai media sosial. Mulai dalam bentuk foto yang mengambarkan suasana sekolah, welfie dengan sang anak saat berangkat atau berada di sekolah, hingga yang menulis status sedang "standby" mendampingi sang anak. Berbagai kesan, harapan, dan doa juga bertebaran sebagai status mengiringi sang anak memasuki sekolah di hari pertama.

Berbagai ekspresi orang tua dalam mendampingi anak saat masuk sekolah di hari pertama ini tentu saja cukup menggembirakan. Maklum saja, euforia ini menunjukkan bahwa tidak sedikit warga di republik ini yang sangat peduli soal pendidikan generasi mendatang. Meski, sudah tentu orang tua yang tidak mengekspresikan "harapan" mereka di media sosial,  bukan berarti tidak peduli pada pendidikan anaknya.

Lebih dari sekadar mengekspresikan kepercayaan "menyerahkan" anak ke sekolah, tentu ada masalah fundamental yang tidak boleh dilupakan. Pendidikan di sekolah memang upaya menyiapkan generasi mendatang yang lebih baik, tapi yang tidak kalah pentingnya adalah menjadikan keluarga tetap sebagai lembaga pendidikan informal yang berkualitas.

Artinya, seremonial mengantarkan anak ke sekolah di hari pertama masuk sekolah dengan segala asesorisnya harus dilihat sebagai sinergi dengan lembaga pendidikan lain di luar keluarga. Ia sesungguhnya simbol dari keharusan orang tua harus bersinergi dengan stakeholder sekolah dalam mengarahkan perkembangan anak ke arah yang lebih baik. Terutama dalam menyiapkan generasi mendatang yang dipenuhi dengan karakter positif.

Harus dipahami bahwa sebagus apapun pendidikan karakter yang didapatkan anak di sekolah akan menjadi kurang optimal jika tidak didukung oleh sinergi pendidikan yang berkualitas dalam keluarga. Meski tentu saja ada beberapa anak yang menjadi pengecualian, tapi secara umum karakter anak tidak akan berjalan secara optimal.

Sebagaimana termaktub dalam Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 27 ayat (1), disebutkan kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.

Pasal itu secara gamblang menunjukkan bahwa keluarga merupakan salah satu penyelenggara dan pengguna hasil pendidikan yang penting, sehingga keberadaan dan kualitasnya harus ditingkatkan, sebab ada keterkaitan antara faktor keluarga dan tingkat kenakalan anak.

Keluarga yang "broken home" atau berarti kurangnya kebersamaan dan interaksi antar-keluarga, orang tua yang otoriter dan sejenisnya cenderung menghasilkan anak yang "bermasalah" (Ratna Megawangi: 2004).

Momentum awal sekolah harus dimaknai sebagai awal langkah bagi orang tua untuk bersinergi dengan pihak sekolah. Keluarga adalah kelompok pertama sebelum lembaga pendidikan lain, sehingga menjadi  dasar pembentukan kepribadian, watak, harapan, dan cita-cita anak.

Artinya, keluarga punya peran penting dalam menanamkan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Begitu pentingnya posisi keluarga, tak heran jika para sosiolog memandang keluarga sebagai lembaga sosial dasar dari semua pranata sosial. Orang tua merupakan guru yang pertama kali memberikan pendidikan kepada anak-anak sebagai pondasi untuk pengembangan selanjutnya di lembaga pendidikan informal, nonformal, maupun formal lainnya. Keluarga menjadi pusat pendidikan yang paling pertama dan terpenting, karena sebagian besar  waktu  anak  dihabiskan dalam  keluarga.

Dalam pendidikan keluarga, pola pengasuhan orang tua punya peran yang fundamental dalam pembentukan karakter anak. Setidaknya, ada beberapa peran penting yang perlu dilakukan oleh orangtua dan anggota keluarga dalam dalam pendidikan informal ini, yaitu pendidik, pembimbing, teladan, dan motivator.

Orang tua harus menjadi pendidik bagi anak dengan cara merencanakan pola pengasuhan untuk mengubah tingkah laku anak menjadi sesuatu yang diharapkan  yang bersifat membangun (konstruktif). Mendidik harus selalu menunjukkan sikap, perbuatan atau cara bicara yang baik. Selain itu, orang tua harus bisa membimbing, mengarahkan atau mempengaruhi agar anak dapat mengembangkan potensi secara optimal.

Yang tidak kalah pentingnya, orang tua juga harus mampu menjadi teladan bagi sang anak dalam perbuatan dan perkataan. Jangan sampai apa yang dikatakan oleh orang tua justru berbeda dengan implementasinya. Ya, keteladanan inilah yang akan ditangkap oleh sang anak untuk ditiru, kemudian diidentifikasi, dan selanjutnya bisa terinternalisasikan sebagai karakter sang anak.

Memiliki posisi strategis sebagai tempat investasi emosional pertama sang anak dalam masa awal-awal pertumbuhan, posisi ini juga menjadi titik lemah keluarga bagi pembentukan karakter anak, sebab tidak ada korelasi antara kemampuan untuk melahirkan anak dan kemampuan orang tua untuk menjadi pendidik. Sederhananya, menjadi orang tua hanya punya persyaratan biologis, sementara untuk menjadi pendidik dibutuhkan pengalaman, keahlian, dan pemahaman tentang pedagogi (Doni Koesoema A: 2015).

Karena itu, orang tua sudah seharusnya tidak bosan-bosannya untuk terus mengembangkan kemampuan dalam mendidik dan mengasuh anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, sebab kegagalan keluarga dalam melakukan pendidikan karakter pada anak-anak akan mempersulit institusi-institusi lain di luar keluarga untuk memperbaikinya. Ketidakoptimalan ini sangat mungkin membuat "output" yang dihasilkan juga tidak banyak bermanfaat untuk kebaikan bangsa dan negara. Allah a'lam bi al-Shawab.

-----------
*) Penulis adalah pelajar Magister Pendidikan Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. (*)

Pewarta: Muhammad Kholid Asyadulloh *)

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017