Ide brilian Presiden China Xi Jinping untuk merajut kawasan ekonomi melalui konsep satu ikatan dan satu jalan atau "One Belt, One Road" (OBOR) bakal menghadapi tantangan.

Tantangan tersebut bukan dari negara-negara yang ada dalam peta OBOR yang membentang dari Eropa, Afrika, hingga Asia.

Tantangan sebenarnya berasal dari negara-negara maju yang beberapa dasawarsa sebelumnya menjadi pemimpin ekonomi global.

Sebagai inisiator OBOR, China mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat fantastis di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi global.

Namun bukan berarti situasi tersebut akan selamanya menguntungkan negara berpenduduk terbesar di dunia itu. Apalagi kalau Amerika Serikat benar-benar menutup pintu bagi masuknya komoditas asing.

 Terus melemahnya nilai tukar yuan RMB terhadap dolar AS telah dicurigai oleh Presiden AS Donald Trump sebagai salah satu cara untuk memperlancar arus barang masuk ke negara adidaya tersebut.

Kecurigaan Trump itu diikuti dengan keluarnya daftar nama negara, termasuk di dalamnya ada China dan Indonesia, yang dianggap berkontribusi atas melambatnya pertumbuhan ekonomi AS.

AS telah menjadi negara utama tujuan ekspor China. Bahkan pangsa pasar ekspor China ke AS mencapai 18,30 persen atau tertinggi dibandingkan dengan negara-negara lain.

Padahal pangsa pasar (market share) impor China dari AS hanya 8,2 persen atau peringkat kedua di bawah Korea Selatan yang mencapai 10,23 persen.

China juga dihadapkan pada situasi perekonomian di Eropa setelah Inggris menyatakan keluar dari keanggotaannya di Uni Eropa.

 Dampak langsung dari kebijakan tersebut adalah menurunnya ekspor China ke Inggris. Pada periode Januari-Februari 2017, ekspor China ke Inggris tercatat hanya 7,5 miliar dolar AS.

Nilai ekspor tersebut lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama pada 2016 sebesar 8,3 miliar dolar AS dan 2015 sebesar 10 miliar dolar AS.

Oleh sebab itu tidak ada jalan lain bagi China kecuali dengan lebih mengintensifkan hubungan dengan mitra dagang di negara-negara yang berbatasan dengannya, termasuk di kawasan Asia Tenggara.

         
 Mitra Strategis
Dalam kunjungan kenegaraannya ke Indonesia, Presiden Xi tidak menyiakan kesempatan berbicara di depan anggota parlemen di Senayan pada 2013.

Pada kesempatan tersebut Xi menyampaikan gagasannya mengenai konsep OBOR tersebut dengan mengusulkan pendirian Bank Investasi Pembangunan Asia (AIIB) untuk mendanai pembangunan infrastruktur, mendukung konektivitas, dan mengintegrasikan perekonomian di kawasan.

Tawaran investasi dari China ke Indonesia pun mulai berdatangan. Salah satunya adalah proyek pembangunan jaringan sarana dan prasarana kereta api cepat Jakarta-Bandung.

Demikian pula dengan investasi asing langsung lainnya yang dibawa para pemilik modal dari daratan Tiongkok.

Pemerintah China sendiri dalam berbagai kesempatan menganggap bahwa jaringan kereta api cepat Jakarta-Bandung sebagai proyek prestisiusnya di kawasan Asia Tenggara.

Bahkan mereka juga menganggap proyek tersebut sebagai model percontohan efektivitas kerja sama kedua belah pihak dengan melibatkan pemerintah dan swasta.

Meskipun demikian, Indonesia masih dianggap tidak maksimal dalam mendapatkan porsi investasi OBOR di kawasan.

Apalagi jika ditinjau dari luas wilayah dan besarnya populasi, proyek investasi OBOR di Indonesia masih belum mencapai angka yang ideal.

Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), nilai investasi OBOR yang masuk ke Indonesia hanya 5-6 miliar dolar AS.

Padahal Pakistan telah merealisasikan proyek OBOR senilai 62 miliar dolar AS, Filipina (24 miliar dolar AS), dan Malaysia (30 miliar dolar AS).

Kesempatan untuk mendapatkan porsi investasi China melalui program OBOR masih sangat terbuka.

Negara dengan jumlah penduduk sekitar 1,5 miliar jiwa itu memiliki dana 300 miliar hingga 500 miliar dolar AS untuk program investasi selama 10 tahun ke depan.

Program investasi OBOR tersebut, terutama dalam proyek pembangunan infrastruktur sangat penting bagi Indonesia guna memperlancar masuknya komoditas ekspor ke China.

Data ekspor Indonesia ke China dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan tren yang menggembirakan.

Selama periode Januari-Februari 2017, nilai ekspor Indonesia ke China telah mencapai angka 4,3 miliar dolar AS, naik signifikan dibandingkan periode yang sama tahun 2016 (2,5 miliar dolar AS) dan 2015 (2,7 miliar dolar AS).

Nilai ekspor Indonesia berada di peringkat ke-14 atau berada di bawah Malaysia (8), Thailand (11), dan Singapura (13).

Lalu bagaimana peluang Indonesia untuk mendapatkan nilai investasi yang ideal? Tentunya hal itu tergantung pada pertemuan 28 kepala negara dan pemerintahan dalam Forum Kerja Sama Internasional Belt and Road di Beijing, 14-15 Mei 2017.

Presiden Joko Widodo selaku ketua delegasi telah mengerahkan kekuatan maksimal dengan mengajak 11 menteri menghadiri forum tersebut.

Kekuatan itu menjadi bukti bahwa pemerintah Indonesia telah melihat China sebagai peluang, bukan ancaman seperti yang pernah dilihatnya pada abad ke-20. (*)

------------------
*) Penulis adalah wartawan LKBN Antara yang bertugas di Beijing.

Pewarta: Oleh M. Irfan Ilmie *)

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017