Minimnya lapangan pekerjaan mengakibatkan posisi tawar buruh di Indonesia masih menyesakkan. Buruh berpenghasilan rendah, bahkan di bawah UMK masih saja terjadi, demikian halnya dengan yang dialami dengan kaum buruh di wilayah Madiun dan sekitarnya.

Kondisi itulah yang membuat Aris Budiono bergabung dengan Serikat Buruh Madiun-Kongres Aliansi Serikat Buruh Indobesia (SBM-KASBI). Ia ingin menyuarakan nasib buruh di wilayah Kota Madiun dan Kabupaten Madiun yang masih terpuruk.

"Di Madiun masih banyak perusahaan yang melanggar sistem kontrak. Juga masih banyak karyawan yang dibayar di bawah UMK. Bahkan ada kasus teman kami yang sampai tidak menerima gaji selama berbulan-bulan," ujar Aris Budiono.

Aris yang menjabat sebagai Koordinator KASBI Madiun itu juga pernah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan perusahaan tempat ia bekerja. Hal itu semakin menguatkan tekadnya untuk membela kaum buruh, terlebih di wilayah Madiun.

Pegiat/aktivis buruh itu menilai, situasi perburuhan di Indonesia semakin merosot dengan terbitnya PP Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Aturan tersebut membuat kenaikan upah buruh tidak lebih dari 11,5 persen setiap tahunnya.

Belum lagi, pemerintah sejak tahun 2003 telah memberlakukan undang-undang perburuhan yang melegalkan buruh kontrak dan buruh "outsourching" atau alih daya. Kondisi itu semakin memperparah nasib buruh di Indonesia.

"Bahkan baru-baru ini berkembang sistem permagangan di pabrik-pabrik yang kapanpun bisa dipecat tanpa harus memberikan uang pesangon. Kondisi itu jelas merugikan buruh. Ditambah lagi upah yang murah di Kota dan Kabupaten Madiun yang semakin menjauhkan buruh dari kesejahteraan," katanya.

Banyak kasus ketidakadilan yang dialami buruh di wilayah Madiun. Lebih banyak lagi yang tidak diketahui dan terekspos karena minimnya pengetahuan buruh. Para buruh tersebut juga semakin pusing dengan permasalahan kehidupan yang ia hadapi. 

Pihaknya mencatat selama tahun 2016 hingga April 2017 sudah ada lima kasus buruh yang didampingi oleh SBM-KASBI Madiun. Empat kasus di antaranya terselsaikan dengan perusahaan memberikan pesangon yang menjadi hak buruh sedangkan satu lainya masih proses.

"Sebenarnya sangat banyak kasus buruh di Madiun. Mereka kebanyakan tidak terekspos dan tidak tahu harus berbuat apa. Lima kasus yang kami dampingi tersebut merupakan kasus buruh yang sampai ke tahap mediasi," terang mantan ketua serikat pekerja di Carrefour Madiun itu.

Menyikapi hari Buruh Sedunia (May Day) pada tanggal 1 Mei mendatang, ia bersama organisasinya terus menyuarakan kesejahteraan buruh dengan meminta pemerintah dan pihak terkait mencabut PP Nomor 78 Tahun 2015 tetang Pengupahan.

"PP tentang pengupahan sangat menyengsarakan buruh. Karena PP tersebut memihak kepada pengusaha dan pro-upah murah. Kami menuntut agar PP tersebut dihapus," kata dia. 

Ia juga meminta pihak berwenang menghapus sistem kerja kontrak dan alih daya, meniadakan politik upah murah, memberlakukan upah layak nasional, menolak PHK dan kriminalisasi terhadap buruh serta anggota dan pengurus serikat kerja. 

Melalui momentum hari buruh tersebut, pihaknya juga menyuarakan penghentian kasus kekeraan dan diskriminsi terhadap buruuh perempuan. Ia juga meminta pemerintah melindungi buruh migran Indonesia dan keluarganya. 

Ia berharap buruh di Indonesia memiliki nasib yang lebih baik di negaranya sendiri dibandingkan dengan buruh asing yang banyak masuk ke Tanah Air sebagai imbas dari Masyarakat Ekonomi ASEAN. Demikian halnya dengan para buruh di wilayah Madiun, jangan kalah dengan tenaga kerja luar yang masuk wilayahnya. (*)

Pewarta: Louis Rika Stevani

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017