Surabaya (Antara Jatim) - Dewan Pendidikan Jawa Timur menyoroti banyaknya siswa SMA/SMK yang putus sekolah di Kota Surabaya pasca-peralihan pengelolaan dari pemerintah kota ke Pemprov Jatim terus bertambah.  

Anggota Dewan Pendidikan Jatim Isa Ansori, di Surabaya, Selasa, mengatakan data dari Kemendikbud tentang peta pendidikan di Surabaya pada 2015 terjadi gambaran angka partisipasi murni sekolah siswa SD yang melanjutkan ke jenjang SMP sekitar 83 persen, sedang yang melanjutkan dari SMP ke Jenjang SMA sekitar 53 persen.
     
"Itu artinya ada sekitar 47 persen siswa SMP yang tidak melanjutkan ke jenjang SMA. Itu data 2015, kemungkinan datanya tidak jauh bahkan bisa naik dari 2016," katanya. 

Menurut dia, hal ini dipicu oleh beberapa faktor di antaranya faktor budaya dan faktor ekonomi. Ia membenarkan bahwa di Surabaya melaksanakan wajib belajar 12 tahun, tapi kebutuhan pendidikan tidak hanya yang tercover di bantuan pemerintah, melainkan juga ada kebutuhan lain yang harus dipenuhi oleh wali murid, misalnya kebutuhan peralatan sekolah dan kebutuhan transportasi dari rumah ke sekolah. 

Selain itu, lanjut dia, problemnya kesinambungan program wajib belajar 12 tahun tidak begitu terkoneksi dengan Satuan kerja Perangkat Daerah (SKPD) lain dalam menunjang terlaksananya program wajar 12 tahun tersebut. 

Isa mencontohkan kalau persoalan ekonomi yang menyebabkan putusnya anak dari sekolah, maka intervensi ekonomi bagi keluarga yang anaknya rentan putus sekolah semestinya menjadi sebuah keharusan.

"Namun sayangnya seringkali tidak terkoneksi. Hal lain yang menyebabkan putus sekolah adalah faktor budaya," katanya. 

Di beberapa wilayah di Surabaya masih ada anggapan dari masyarakat berbudaya tertentu yang mengatakan buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujungnya hanya cari uang. 

"Orang tua menjadi patron tanpa sekolah yang tinggi, mereka bisa mendapatkan materi yang cukup," ujarnya.

Pada persoalan budaya, lanjut dia, mestinya SKPD terkait berupaya melakukan penyadaran agar terjadi perubahan paradigma tentang perlunya sekolah dan belajar. 

Namun seringkali upaya intervensi yang dilakukan adalah pemberian bantuan yang justru menciptakan ketergantungan, sehingga perlu pendekatan yang lebih berkesinambungan yang mendorong semangat belajar. 

Anggota Komisi D Bidang Pendidikan DPRD Surabaya Reni Astuti Legislator sebelumnya menilai angka siswa SMA/SMK yang putus sekolah di Kota Surabaya pasca-peralihan pengelolaan dari pemerintah kota ke Pemprov Jatim terus bertambah. 

"Saat reses, saya menemukan tiga anak putus sekolah di kawasan eks Lokalisasi, Putat Jaya. Di satu RT ada 3 anak yang putus sekolah sejak Januari lalu. Mereka kebetulan sekolah di swasta," katanya.

Menurut dia, kondisi tersebut terjadi karena selama ini sekolah SMA/SMK mendapatkan bantuan bopda dari pemerintah kota. Namun, setelah ada peralihan tidak ada bantuan dari Pemprov Jatim.

"Karena tidak ada bantuan dari pemkot dan pemprov, maka beban anggaran dikembalikan lagi ke siswa," katanya.

Ia mengakui selama ini masih ada beberapa SMA/SMK yang mengandalkan dana BOS dan Bopda untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya. Hal itu terjadi, karena pendanaan di sekolah tersebut yang terbatas.

Kepala Dinas Pendidikan Surabaya M. Ikhsan hingga saat ini belum bisa dikonfirmasi. Saat dihubungi melalui telepon selulernya tidak aktif.  (*)

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017