Surabaya (Antara Jatim) - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Narotama Surabaya Dr. Rusdianto Sesung, S.H, M.H mengatakan jika semua tindakan pemerintahan (Bestuurhandeling) Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, rawan gugatan hukum dan dapat dibatalkan.

"Aktifnya kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta dapat menimbulkan permasalahan hukum baru terkait keabsahan tindakan pemerintahan (bestuurhandeling) yang akan dilakukan oleh Ahok setelah aktif," katanya dalam pernyataan pers di Surabaya, Senin.

Hal ini, kata dia, karena Ahok merupakan terdakwa dalam perkara pidana yang didakwa melanggar Pasal 156 atau Pasal 156a KUHP yang ancaman hukumannya 5 tahun.

"Dalam Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan tegas dinyatakan bahwa Kepala Daerah yang menjadi terdakwa atas perkara pidana yang ancaman hukumannya minimal lima tahun, maka dia harus diberhentikan sementara dari jabatannya," katanya.

Dalam kasus Ahok itu, dakwaannya bersifat alternatif, yakni ancaman 4-5 tahun, namun bukan berarti ancaman empat tahun tersebut dapat dijadikan alasan untuk tidak memberhentikan sementara Ahok sebagai gubernur karena pada saat yang sama, dia juga diancam lima tahun penjara.

"Dengan perkataan lain bahwa Presiden tidak perlu menunggu tuntutan JPU kepada Ahok sebagaimana dikemukakan oleh Mendagri," katanya. 

Ia menjelaskan, pendapat Dr. Refly Harun yg menyatakan bahwa Pasal 83 UU Pemda mengatur bahwa "hanya kepala daerah yang didakwa dengan ancaman paling singkat 5 tahun sajalah yang dapat diberhentikan sementara, sedangkan BTP melanggar Pasal 156a KUHP yang ancamannya paling lama 5 tahun, sehingga tidak ada alasan untuk memberhentikan BTP" merupakan pendapat yang keliru.

"Dr. Refly tidak mengaitkan UU Pemda secara sistematis dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang memang mengatur ketentuan untuk penyebutan batas bawah bagi ancaman hukuman minimal memang menggunakan frasa "paling singkat", namun maknanya bukan berarti bahwa tindak pidana yg ancamannya paling lama 5 tahun tidak termasuk dalam kategori Pasal 83 ayat (1) UU Pemda tersebut," katanya.

Ia mengatakan, ketentuan mengenai pemidanaan atau ancaman hukuman dalam KUHP bersifat "maksimum umum", berbeda dengan UU tindak pidana khusus yang bersifat "minimum khusus" dan "maksimum khusus".

"Yang dimaksud dengan sifat 'maksimum umum' ialah semua ancaman pidana yang diatur dalam KUHP bersifat batas maksimal, bukan batas minimal," katanya.

Jadi, kata dia, semua ancaman hukuman di KUHP memang selalu menggunakan frasa "paling lama atau selama-lamanya" dan bukan "paling singkat" sebagaimana yg digunakan dalam UU Tindak Pidana Khusus seperti UU Tipikor dan UU Tipidsus lainnya.

"Sebagai contoh misalnya ancaman pidana dalam Pasal 338 KUHP mengenai pembunuhan yang ancaman pidananya selama-lamanya 15 tahun," katanya.

Menurutnya, jika menggunakan pendapat Dr. Refly Harun tersebut, maka siapapun Kepala Daerah yang menjadi terdakwa kasus pembunahan tidak dapat diberhentikan sementara karena ancaman pidananya menyebutkan selama-lamanya 15 tahun, bukan paling singkat 5 tahun.

"Sungguh pendapat yang fallacy (sesat) dan Exfalso Qualibed (kesimpulan salah karena kesalahan argumentasi awal)," katanya.

Dengan demikian, lanjut dia, jika BTP tidak diberhentikan sementara dari jabatannya, maka akibat hukum dari tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh BTP sebagai Gubernur DKI ialah tidak sah dan dapat dibatalkan (vernietegbaar).

"Ketidakabsahan tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh BTP tersebut karena BTP tidak lagi memiliki legal standing atau kedudukan hukum lagi sebagai Gubernur sehingga sejak saat diterimanya nomor register pengadilan seharusnya BTP diberhentikan sementara sehingga BTP tidak berwenang untuk melakukan tindakan-tindakan pemerintahan, baik tindakan nyata (feitelijk bestuurhandeling) maupun tindakan hukum (rechts bestuurhandeling)," katanya.

Jika tindakan hukum yang dilakukan oleh BTP tidak sah dan rawan gugatan maka akan menimbulkan permasalah hukum yang berkepanjangan dikemudian hari sebagai akibat dari tindakan hukum yang dilakukan tanpa alas kewenangan yang sah tersebut. 

"Oleh karena itu, untuk menghindari permasalahan hukum yang lebih rumit dikemudian hari, maka BTP harus diberhentikan sementara dan berdasarkan Pasal 86 UU Pemda, maka Wakil Gubernur (Djarot Saiful Hidayat) akan melaksanakan tugas dan kewenangan gubernur sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap," pungkasnya.(*)

Pewarta: Indra Setiawan

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017