Jakarta, (Antara) - Warga Negara Indonesia yang bekerja sebagai TKI di luar negeri kerap dielu-elukan sebagai "pahlawan devisa", tetapi sebenarnya yang diperlukan tidak hanya memberikan gelar, tetapi solidaritas yang sungguh-sungguh.

Pasalnya, meski berbagai regulasi telah dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi bermacam permasalahan yang kerap dialami TKI mulai dari sebelum keberangkatan hingga setelahnya, ternyata masih ditemukan sejumlah persoalan di sana-sini.

Anggota Komisi VI DPR sekaligus Tim Pengawas Tenaga Kerja Indonesia (TKI) DPR, Rieke Dyah Pitaloka diberitakan telah mengapresiasi langkah Menteri Tenaga Kerja mencabut izin PJTKI (perusahan jasa tenaga kerja Indonesia) yang terlibat pengiriman TKI ilegal.

"Lebih dari 1000 TKI terindikasi diberangkatkan secara ilegal ke Saudi. Pengiriman yang terindikasi ilegal tersebut dilakukan oleh perusahaan TTCo di Saudi, yang bekerja sama dengan beberapa PJTKI pada tahun 2016. Sebagian PJTKI yang terlibat telah dicabut izinnya oleh Menteri Tenaga Kerja pada bulan Januari 2017," kata Rieke.

Sebelumnya, Rieke mendesak pemerintah Indonesia bersama-sama dengan negara terkait lainnya untuk membongkar indikasi jaringan visa ilegal terkait TKI yang dikirimkan oleh perusahaan yang melanggar aturan.

"Harus segera dibongkar indikasi adanya perdagangan manusia berkedok pengiriman TKI, dengan mencabut izin PPTKIS (Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta) yang terlibat dan memberi sanksi pidana, termasuk jika ada oknum pejabat yang terlibat di lini manapun," katanya.

Politisi PDIP itu mengungkapkan, adanya dugaan perdagangan manusia berkedok pengiriman TKI yang dilakukan sebuah perusahaan yang berpusat di Jeddah.

Perusahaan itu, ujar dia, melakukan pengiriman TKI di sektor domestik meskipun secara hukum pengiriman TKI sektor domestik dinyatakan dihentikan sejak 4 Mei 2015 oleh Presiden Joko Widodo.

Namun, lanjutnya, perusahaan itu diduga tetap mengirim TKI dengan dalih bekerja sebagai "cleaning service" sehingga bisa diduga merupakan pelanggaran terhadap hukum.

"Kami telah melakukan kordinasi dengan tim kami di Saudi dengan KJRI Jeddah untuk melakukan penelusuran dan penyelidikan," jelasnya.

Rieke menegaskan bahwa pemerintah harus segera menyelamatkan dan melindungi para TKI yang menjadi korban indikasi perdagangan manusia, serta mengembalikan mereka ke keluarganya di Indonesia dengan selamat.

Selain itu, ia juga menginginkan agar pelaku dan perusahaan yang terbukti melakukan kasus perdagangan manusia terkait dengan pengiriman TKI perlu dihukum berat yang menimbulkan efek jera.

Untuk itu, ujar dia, revisi UU 39/2004 tentang Penempatan Dan Perlindungan TKI Di Luar Negeri, diharapkan juga dapat diharmonisasi bersama-sama UU No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Ia menegaskan bahwa revisi tersebut diharapkan dapat menjerat pihak korporasi atau oknum pejabat yang terlibat dalam tindak pidana perdagangan orang.

"Jadi efek jera itu bukan hanya pihak swasta tetapi juga pejabat negara yg terlibat dalam mekanisme ini," ujarnya.

Dia juga mengingikan pemerintah jangan membuat peraturan yang ambigu terkait TKI seperti Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260/2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI Pada Pengguna Perseorangan di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah.

Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan keputusan menghentikan penempatan penata laksana rumah tangga (PLRT) ke seluruh negara Timur Tengah.

Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) juga mencatat pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri selama Januari-November 2016 lebih banyak di sektor formal daripada informal.

"Sektor formal mendominasi jumlah penempatan secara keseluruhan yaitu sebanyak 114.171 orang atau 54 persen, sementara sektor informal mencapai 98.729 orang atau 46 persen," kata Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid dalam keterangan media Kinerja BNP2TKI tahun 2016 di Jakarta, Kamis (29/12).

Dorong solidaritas
Rieke Diah Pitaloka juga mendorong berbagai elemen bangsa untuk dapat mengusung solidaritas yang tinggi dalam rangka mengatasi persoalan yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri.

"Kita solidaritas bersama karena persoalan buruh migran di negara mana pun saya kira tidak bisa jalan sendiri," kata Rieke.

Menurut dia, masih adanya himpitan ekonomi dan ketersediaan lapangan pekerjaan yang terbatas di dalam negeri mendorong sebagian masyarakat mengadu nasib di luar negeri untuk menjadi TKI.

Lembaga Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyatakan warga Indonesia yang memilih menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) secara ilegal adalah dalam rangka menghindari alur birokrasi yang mahal sehingga mereka cenderung mencari jalur lain.

"Dibutuhkan Rp8 juta dan waktu 3-4 bulan untuk menjadi tenaga kerja di luar negeri. Bagi mereka yang datang dari keluarga pra-sejahtera dan tinggal di perdesaan, ini menjadi beban finansial yang sangat berat. Jadi tidak heran banyak dari mereka yang memilih jalur yang ilegal," kata peneliti CIPS Bidang Migrasi Internasional dan Kewirausahaan, Rofi Uddarojat dalam rilis, Kamis (2/2).

Menurut dia, peristiwa tragedi tenggelamnya sejumlah TKI di perairan Johor, Malaysia, mengindikasikan ada warga yang rela menempuh jalur ilegal untuk menghindari kerumitan alur yang dibuat oleh pemerintah.

Ia mencontohkan biaya proses rekrutmen yang bisa setara hingga delapan bulan gaji, serta prosedur yang dibuat untuk melindungi malah menciptakan hambatan yang panjang dan mahal untuk migrasi yang legal.

"Pemerintah harus mengurangi durasi dan merevisi kurikulum pelatihan. Membuat proses perekrutan lebih pendek dan murah akan membantu mengurangi angka TKI ilegal," katanya.

Sebuah studi yang dilakukan CIPS menunjukkan remitansi yang dikirim TKI mencapai 8 juta dolar AS pada 2014, sehingga membantu mengurangi angka kemiskinan di Tanah Air.

Studi CIPS juga menyoroti penurunan tingkat remitansi dari TKI tahun 2016 sebesar 15,65 persen dibandingkan dengan tahun 2015.

"Menurunnya remitansi di tahun 2016 sebesar 15,65 persen dibanding tahun sebelumnya telah merugikan masyarakat miskin yang selama ini menggunakan remitansi sebagai sumber penghidupan mereka," kata Rofi Uddarojat.

CIPS juga menunjukkan remitansi telah mendukung kesejahteraan masyarakat miskin dengan penggunaan konsumsi rumah tangga, membangun perumahan, biaya pendidikan, dan modal memulai wirausaha.

Dia mengingatkan bahwa Bank Dunia memperkirakan remitansi TKI telah mengurangi angka kemiskinan sebesar 26,7 persen pada periode 2000-2007, dan migrasi berdampak tidak hanya pada keuntungan ekonomi tetapi juga pada peningkatan keterampilan, mental, dan pengetahuan, terutama pada TKI perempuan.

"Sudah saatnya pemerintah mengevaluasi kebijakan moratorium ke Timur Tengah. Selain tidak efektif mencegah keberangkatan TKI ilegal, kebijakan ini juga secara signifikan mengurangi remitansi yang sangat membantu masyarakat kecil di pedesaan," ucapnya.

Sebelumnya, Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf mengatakan, pemerintah daerah perlu didorong untuk mengirimkan TKI formal dibandingkan dengan informal.

"Kami ingin mendorong pemda dalam mengirimkan tenaga kerja sektor formal, bukan lagi informal," kata Dede Yusuf.

Menurut dia, bedanya TKI formal dan informal adalah mereka yang formal dinilai lebih berpendidikan, bersertifikasi, serta memiliki kontrak yang jelas.

Politisi Partai Demokrat itu mengingatkan bahwa sebagian besar TKI yang bekerja di luar negeri bergerak di sektor informal, sehingga TKI tidak memiliki posisi tawar-menawar yang kuat dalam menentukan kontrak kerja.

Meski terdapat beragam solusi yang ditawarkan oleh berbagai pihak terkait dengan permasalahan yang dihadapi oleh TKI, tetapi yang penting adalah solidaritas yang sungguh-sungguh dari seluruh elemen bangsa.(*)

Pewarta: Muhammad Razi Rahman

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017