Surabaya (Antara Jatim) - Balai Kota, Istana Presiden, Monumen Nasional dan beberapa lokasi lainnya di Jakarta Timur, Jakarta Utara, Bekasi dan Tangerang, menjadi sasaran dalam rencana aksi massa pada 4 November 2016.

Aksi massa yang juga disebut demo 4/11 itu terkait dengan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh calon Gubernur DKI Basuki T. Purnama (Ahok) yang juga sudah dilaporkan ke Bareskrim Polri.

"Hingga kini (1/11), Bareskrim telah meminta keterangan setidaknya 15 orang saksi dalam kasus tersebut, termasuk beberapa orang saksi ahli," kata Kadivhumas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar di Jakarta (1/11).

Ia mengatakan gelar perkara kasus ini akan dilakukan bila Bareskrim telah memeriksa 10 saksi ahli yang berasal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), ahli tafsir, ahli hukum pidana dan ahli bahasa.

Terkait penyidikan kasus itu, beberapa ormas Islam mengerahkan massa dari berbagai daerah untuk mengadakan unjuk rasa menuntut adanya tindakan hukum terhadap Ahok yang merupakan calon Gubernur DKI Jakarta.

Demo 4/11 yang dialamatkan kepada Basuki T Purnama yang juga merupakan kandidat calon gubernur DKI Jakarta dalam Pilkada Serentak 2017 itu merupakan rencana aksi massa kedua setelah aksi pertama pada 14 Oktober.

Kendati massa dalam aksi itu dari kalangan Islam, namun dua ormas Islam terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menyatakan tidak terlibat secara organisatoris dalam demo terkait penistaan agama tersebut.

"Muhammadiyah secara kelembagaan tidak ikut serta dan terlibat dalam aksi unjuk rasa 4 November. Segala akibat yang timbul merupakan tanggung jawab pribadi," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir di Jakarfta (1/11).

Ia mengimbau warga Muhammadiyah untuk tidak membawa segala atribut dan fasilitas milik Muhammadiyah dalam demo 4/11 itu, meski ia tidak melarang warganya untuk turut serta dalam demonstrasi karena unjuk rasa merupakan hak yang sah dalam berdemokrasi selama dalam koridor kesantunan dan keadaban.

"Aksi demonstrasi merupakan bentuk pernyataan pendapat dan aspirasi, merupakan hak warga negara yang dijamin Undang-undang Dasar dan tidak dapat dilarang oleh siapapun, termasuk pemerintah," kata Haedar.

Hal penting yang diingatkannya yakni demonstrasi yang santun dan beradab sebagai cermin akhlak Islami dan budaya Indonesia, meskipun Ahok juga merupakan pihak yang dinilai kurang memiliki sopan santun dalam pergaulan kemasyarakatan.

"Demonstrasi juga sudah seharusnya mengindahkan ketentuan hukum, toleransi dan menghormati pihak yang absen unjuk rasa demi menjaga persatuan," katanya.

Pesan lain, unjuk rasa sebaiknya tidak digiring ke ranah politik karena sejatinya masih banyak tugas berat dalam mengamalkan Al-Quran. "Aksi politik yang tidak perlu dalam demonstrasi hanya akan menghabiskan energi untuk memajukan peradaban," katanya.

Sikap yang kurang lebih sama juga ditunjukkan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, bahkan ormas itu juga mengingatkan warga nahdliyyin untuk mewaspadai persoalan "pencatutan" nama ormas Islam itu dalam aksi massa yang seolah-olah dalam koordinasi organisasi itu, padahal hanya klaim.

"Ada yang mengibarkan sembilan bendera NU dalam aksi di Surabaya sesuai hasil temuan Ansor, ada yang memakai istilah Resolusi Jihad untuk pasukan di Pasuruan, ada pula simbol NU yang lain di Jakarta," kata Sekretaris PWNU Jatim Prof Akhmad Muzakki di Surabaya (28/10).

Guru Besar Pendidikan Islam UIN Sunan Ampel Surabaya itu menjelaskan pelaku "pencatutan" nama NU itu mungkin saja dilakukan individu NU, namun juga orang lain yang mengatasnamakan NU, padahal penggunaan nama atau simbol NU harus melalui prosedur organisatoris, bukan individu.

"Untuk itu, kami mengimbau warga NU agar waspada dan jangan mudah terpancing pihak lain, seperti apa yang dilakukan Aliansi Santri Pasuruan untuk menggelorakan Resolusi Jihad dengan mendeklarasikan pasukan berani mati pengawal MUI terkait penistaan Al-Quran pada 4 November," katanya.

Ia mengimbau warga NU sendiri untuk tidak ikut-ikutan dalam aksi massa dan sebaiknya berdoa saja, karena Nabi Muhammad sendiri mengutamakan pendekatan kasih sayang dan pendekatan yang mendamaikan, apalagi aksi massa seringkali di luar kendali yang justru bisa mencoreng Islam itu sendiri.

    
Medsos

Pandangan tentang demo 4/11 agak berbeda dikemukakan oleh Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian. "Saya minta kepada masyarakat agar jangan terprovokasi untuk terbawa aksi-aksi anarkis," katanya.

Setelah menghadiri Forum Perdamaian Dunia (WPF) ke-6 di Jakarta (2/11), ia menjelaskan provokasi dapat dimunculkan melalui media sosial yang bisa menyajikan konten apa pun secara bebas dan liar karena strukturnya tidak bertuan.

"Masyarakat jangan terpengaruh dengan media sosial, tolong cerna betul dan jangan langsung ditelan mentah-mentah, lalu terbawa emosi," tutur Tito.

Dia yakin apabila masyarakat tidak mudah terprovokasi dan media sosial menyajikan konten yang bertanggung jawab, maka demo nanti akan berlangsung aman.

Kapolri telah memerintahkan para personelnya untuk menindak para provokator yang memprovokasi pendemo melakukan kekerasan. Korps Brimob akan mengamankan jalannya aksi unjuk rasa supaya tidak berujung anarkistis.

Terkait adanya provokasi dari media sosial (medsos) itu juga diamati Wakil Ketua PW IPNU Jawa Tengah, Ahmad Naufa Khoirul Faizun.

Dalam hasil penelusuran yang dimuat dalam laman www.nu.or.id pada 28 Oktober 2016, ia menulis bahwa benih kegaduhan dimulai dari banyaknya serangan yang dialamatkan kepada Ahok  dengan menggunakan surat Al-Maidah ayat 51 yang dilakukan beberapa kelompok untuk berkampanye menggalang kekuatan massa.

Dengan adanya kampanye "Jangan Memilih Ahok" melalui Youtube itu, Ahok merasa risih, sehingga saat berkunjung ke Pulau Seribu, maka ia berpidato.

"Inti pidatonya adalah 'jangan mau dibohongi pakai Al-Maidah ayat 51' yang diteruskan dengan sikapnya: mau milih silakan, mau tidak milih silakan. Ahok memberi kebebasan," katanya.

Namun, oleh seorang yang bernama Buni Yani, video tersebut dipotong kata "pakai"-nya, lalu diunggah melalui akun fesbuk (face book, red) nya dengan ditambahi caption yang provokatif.

Babak baru dimulai. Menyebarlah video itu karena banyak di-share. Inilah era digital, yang mana satu akun face book di kemudian hari bisa menjadi "wasilah" (jalan) untuk timbulnya kegaduhan nasional.

Menurut dia, video itu kemudian menjadi viral dan pemicu marahnya kaum muslimin. Ya, dengan hilangnya beberapa kata, tentu menghilangkan substansi dan makna.

"Di sini orang banyak terjebak, jika tidak tahu yang sebenarnya. Siapa yang tidak marah mendengar kalimat editan yakni 'Jangan mau dibohongi Al-Maidah ayat 51?'. Bahkan, saya pun tentu akan marah, dan bila perlu memimpin laskar untuk demo di Jakarta, jika kata-kata itu yang memang dia keluarkan. Setelah saya cek, ternyata video itu hasil editing," katanya.

Karena video dan berita semakin viral, maka dimobilisasilah beberapa kelompok Islam untuk mendemo Ahok yang dinilai tidak memiliki sopan santu itu. Aksi pertama pada Jumat, 14 Oktober 2016, lalu rencana aksi kedua pada Jumat, 4 November 2016.

"Dalam aksi pertama, massa mendesak Ahok meminta maaf dan Ahok pun meminta maaf. Sebagai institusi, MUI memaafkan sikap Ahok tersebut, dan menyerahkan urusannya kepada pihak yang berwenang, dalam hal ini polisi. Jika ada anggota MUI yang tidak setuju dengan sikap resmi MUI, maka hal itu adalah sikap pribadi dan tidak perlu membesar-besarkannya," katanya.

Fakta tentang dua aksi massa itu membuktikan dampak media sosial yang dahsyat dan sangat liar, karena itu pernyataan Kapolri patut dipertimbangkan dengan objektif.

"Masyarakat jangan terpengaruh dengan media sosial, tolong cerna betul dan jangan langsung ditelan mentah-mentah, lalu terbawa emosi untuk aksi-aksi anarkis," kata Tito di Jakarta (2/11). (*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016