Dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla agaknya juga menjadi sorotan Rektor Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof. Dr. Mohammad Nasih, SE., Mt., Ak., CMA.

Dalam pandangannya, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla juga memerlukan pembangunan infrastruktur sumber daya manusia untuk meningkatkan daya saing bangsa.

"Pembangunan ekonomi dari pinggiran melalui infrastruktur bandara, pelabuhan, dan semacamnya selama dua tahun terakhir memang cukup penting untuk mengukuhkan ke-Indonesia-an kita," ucapnya kepada Antara di Surabaya (27/10/2016).

Menurut Guru Besar Ilmu Ekonomi Unair itu, dua tahun kepemimpinan Jokowi-JK sebenarnya masih terlalu dini untuk dievaluasi, namun terlihat greget pembangunannya masih fokus pada ekonomi.

"Komitmen pada infrastruktur, energi, pajak, kemaritiman, dan sejenisnya itu tidak salah untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi, apalagi dalam situasi perekonomian dunia yang melemah memang perlu ikhtiar yang cukup untuk bisa berhasil di tengah keterpurukan dunia," tuturnya.

Namun,tandasnya, pembangunan yang mengabaikan infrastruktur SDM akan menurunkan daya saing bangsa dan akhirnya memperlebar jurang ketimpangan di Indonesia yang kini masih menduduki peringkat ketiga di dunia setelah Rusia dan Thailand.

"Aneh memang, Rusia dan Thailand serta Indonesia yang cenderung sosialisme justru faktanya terlihat sangat kapitalis. Kalau hal itu dibiarkan akan sangat potensial memicu konflik sosial dalam hitungan waktu," kilahnya.

Data Bank Dunia mencatat 66,2 persen aset nasional di Rusia di tangan satu orang, lalu di Thailand mencapai 55,5 persen aset nasional yang dikuasai satu orang dan Indonesia ada 50,3 persen aset nasional yang dikuasai satu orang.

"Artinya, ketimpangan masih tinggi. Apa artinya pembangunan ekonomi meningkat bila timpang, karena itu pembangunan infrastruktur SDM juga perlu didongkrak lewat jalur pendidikan dan kesehatan secara masif, jangan seperti peneliti yang diberi target tertentu, tapi sarana laboratorium yang ada justru minim," ujarnya.

Secara faktual, "gini ratio" (tingkat ketimpangan) di era Jokowi-JK memang membaik dari 0,3 persen menjadi 0,4 persen, namun hal itu sangat kecil, sehingga "kue" pembangunan harus diratakan dengan pendidikan dan kesehatan yang memihak masyarakat agar siapapun bisa sekolah dan sehat, meski miskin.

"Saat ini, daya saing kita masih menduduki peringkat ke-34 dari 37 untuk tingkat penduduk, lalu peringkat untuk negara menduduki posisi ke-142 dari 180 negara di dunia. Nilai tukar petani kita juga sangat rendah yakni 102 persen atau masih jauh dari sejahtera," paparnya. (*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016