Surabaya (Antara Jatim) - Ratusan buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kota Surabaya menolak upah murah dan tunda sentralisasi pengawas ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya.
     
 "Tetapkan UMK Surabaya 2017 sebesar Rp3.700.000," kata Sekretaris FSPMI Kota Surabaya Nuruddin Hidayat saat mendatangi gedung DPRD Surabaya, Selasa.
     
 Menurut dia, carut marut pembahasan dan penetapan UMK dan UMSK yang terjadi setiap tahun tampaknya akan terjadi lagi pada tahun ini karena pemerintah tetap memaksakan acuan perhitungan kenaikan UMK 2017 menggunakan PP 78 tahun 2015 tentang Pengupahan yang inkonstitusional.
     
 "Padahal disaat yang sama buruh masih melakukan gugatan kepada MA untuk mencabut PP 78/2015 tersebut," katanya.
      
Selain itu, lanjut dia, belum lagi adanya rencana Pemprov Jawa Timur yang akan menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) pada 1 November 2016  dengan acuan perhitungan dari PP 78/2015 yakni UMK terendah di Jawa Timur ditambah Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi, maka UMP Jatim nantinya ditetapkan mengacu terhadap UMK Pacitan, Trenggalek, Ponorogo dan Magetan yang besarnya hanya Rp1.283.000. 
      
"Tentu UMP ini jauh dibawah UMK Surabaya yang besarnya Rp3.045.000,- untuk tahun ini," katanya. 
      
 Apabila UMP ini dipaksakan untuk ditetapkan, lanjut dia, tentunya para pengusaha nanti akan lebih memilih membayar upah buruhnya sesuai dengan UMP yang telah ditetapkan. Maka kesejahteraan buruh Surabaya akan terdegradasi mengingat biaya hidup di kota Surabaya jauh lebih tinggi dibandingan dengan kabupaten/kota di Pacitan, Trenggalek, Ponorogo dan Magetan.
     
Selain itu, kata dia, pengawasan terhadap pemenuhan hak normatif buruh juga sangat penting dalam upaya mensejahterakan buruh. Selama ini pengawasan ketenagakerjaan di Kota Surabaya sudah relatif berjalan dan efektif. Namun dengan adanya UU No. 23/2004 tentang Pemerintah Daerah maka Pengawas Ketenagakerjaan akan disentralisasi ke Pemerintah Provinsi dalam hal ini dibawah naungan Disnakertransduk Jawa Timur. 
      
Menurut dia, dengan adnaya sentralisasi pengawas ketenagakerjaan ini dikhawatirkan kinerja dan fungsi pengawasan kan lemah, mengingat kabupaten/kota  yang mengetahui karakteristik perusahaan dan buruhnya di kabupaten/kota masing-masing. 
      
Selain itu, selama ini Pengawas Disnaker Kota Surabaya dalam menangani kasus ketenagakerjaan selalu bekerja sama dengan mediator dari Bidang Hubungan Industrial dan Syarat Kerja, sehingga dalam upaya memastikan pemenuhan hak normatif buruh tetap menjaga hubungan industrial yang harminis, dinamis dan berkeadilan. 
     
 Terkait sentralisasi pengawas ketenagakerjaan tersebut, buruh Surabaya melakukan gugatan Judisial Review ke Mahkamah Konstitusi terhadap UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah. Maka dengan adanya permasalahan tersebut diatas, FSPMI menuntut tolak upah murah dan etapkan UMK Surabaya tahun 2017 sebesar Rp3.700.000.
      
 "Dewan Pengupahan kota Surabaya agar tetap melakukan survei kebutuhan hidup layak (KHL) dan melakukan peninggkatan kualitas KHL. Menolak adanya Upah Minimum Provinsi (UMP) di Jawa Timur dan tunda sentralisasi pengawas ketenagakerjaan Disnker Surabaya," katanya.
      
 Untuk itu, kata dia, pihaknya mendesak DPRD Kota Surabaya merekomendasikan kepada Presiden RI, DPR RI, Mendagri, Gubernur Jawa Timur dan DPRD Provinsi Jawa Timur untuk melakukan penundaan sentralisasi pengawas ketenagakerjaan Disnaker Surabaya hingga ada putusan dari Mahakah Kontoitusi terkait gugatan Judisial Review terhadap UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah. (*)

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016