Di zaman serba digital seperti saat ini, ternyata masih banyak orang yang memakai "jubah" agama untuk menyembunyikan kedok (tipu-tipu), seperti fenomena Dimas Kanjeng Taat Pribadi.
    
Sejak ditangkap di padepokannya di Desa Wangkal, Gading, Kabupaten Probolinggo pada 22 September 2016, maka nama Dimas Kanjeng Taat Pribadi sontak mendadak terkenal ke seantero Indonesia.
    
Sang Guru Taat Pribadi disangka menjadi otak pembunuhan dua pengikutnya yakni Abdul Gani dan Ismail Hidayah, namun ia dikenal bukan karena kasus pembunuhannya, melainkan konon Dimas Kanjeng Taat Pribadi mampu menggandakan uang.
    
Pengikutnya percaya bahwa sang Guru mereka mampu menjadi penyelamat sekaligus utusan yang diberikan Tuhan untuk menyejahterakan mereka dengan kemampuannya.
    
"Sama halnya seperti Nabi Sulaiman yang bisa berkomunikasi dengan Jin Ifrit, Kanjeng juga diberikan kemampuan serupa oleh Tuhan," ucap salah satu pengikut Taat Pribadi, Arifin Aming.
    
Awalnya, Arifin mendengar dari temannya akan kemampuan dari seorang Taat Pribadi yang sakti, namun Arifin akhirnya menyerahkan sejumlah mahar atau uang untuk digandakan, bahkan ia juga rela menginap di tenda-tenda di halaman padepokan.
    
"Saya masuk jadi 'santri' memang baru 2014 dan saya dapat informasi bahwa kabar ada uang yang diambil dari Gunung Lawu, ada seorang yang mengambil dari sana tapi wujudnya seperti apa itu yang tidak semua tahu, hanya Kanjeng saja yang mengontak dari sini," urainya.
    
Dia menceritakan saat dirinya mengaji bersama di lahan tenda santri. Dirinya melihat langit sangat terang melebihi sinar penerangan di sekitar lahan tersebut. "Saya saat itu bermunajat kepada Tuhan tiba-tiba ada gumpalan awan itu berwarna cerah melebihi lampun neon di sini," ungkapnya.
    
Selanjutnya, hanya selang 30 menit, dirinya melihat ribuan santri lain di sekitar sini masih menunduk memohon kepada Tuhan.
    
Selain itu, pengikutnya memanggil Taat Pribadi sebagai "Guru Besar" dan juga "Yang Mulia" karena gelar raja juga disematkan padanya yakni Sri Raja Prabu Rajasanagara Dimas Kanjeng Taat Pribadi.
    
Entah dari mana gelar raja itu dia terima, karena pada dasarnya dia bukan keturunan bangsawan atau raja. Taat Pribadi adalah anak dari mantan Kapolsek di Probolinggo.
    
Setelah ditetapkan menjadi tersangka oleh Polda Jatim serta padepokannya disegel dan dijaga ketat oleh polisi, tak serta merta membuat para pengikutnya sadar dan meninggalkan padepokan tersebut.
    
Taat Pribadi diketahui mempunyai pengikut lebih dari 3.000 orang yang menetap di tenda-tenda yang ada di halaman padepokan. Setidaknya ada 100 tenda yang berdiri di atas tanah seluas 15 hektare tersebut. Dalam setiap tenda yang terbuat dari bambu yang mempunyai luas 3x10 meter serta beratap terpal tersebut dihuni sekitar 11 orang.
    
Tenda-tenda perjuangan tersebut berornamen cukup beragam tergantung penghuninya. Ada yang bergaya Bali, Bugis, Minangkabau, dan bergaya biasa. Tapi satu yang pasti, dalam setiap tenda terlihat banner-banner yang terdapat foto Dimas Kanjeng Taat Pribadi.

Salah satu pengikut, Aminullah Sukardi menjelaskan bahwa dirinya tinggal dengan sepuluh orang di satu tenda. Bahkan untuk biaya listrik mereka (santri) itu rela berbagi.
    
"Kalau bayar listrik seikhlasnya mas, di sini saya ada Rp50 ribu ya patungan. Itu berjalan sudah turun menurun," tuturnya.
    
Pria asal Pasuruan ini menegaskan bahwa keputusannya ikut menjadi "santri" di Padepokan Dimas Kanjeng adalah untuk mencari ketenangan jiwa dan mengaktualisasi diri.
    
"Saya disini memilih untuk mengaktualisasikan diri saya, dan memang informasi adanya padepokan ini saya dapat sejak 2010, dan  baru saya resmi jadi 'santri' di sini pada tahun 2013," paparnya.
    
Pria 58 tahun yang mengaku lulusan IAIN Sunan Ampel Surabaya dan juga pengikut Muhammadiyah ini mengatakan Padepokan Dimas Kanjeng Pribadi sama seperti pondok lainnya yang ada di Indonesia pada umumnya.
    
"Saya masih punya keyakinan yang kuat bahwa ajaran Kanjeng Dimas Taat Pribadi ini benar adanya, karena di padepokan ini saya bisa meningkatkan spiritual saya, inteletual saya juga, tentunya sosial saya sendiri. Bukan berarti di rumah tidak bisa tetapi yang saya butuhkan itu Insyaa-Allah saya dapatkan," tegasnya.
    
Setelah gempar pemberitaan penggandaan uang di era digital itu, MUI Probolinggo langsung mengeluarkan tiga poin rekomendasi.
    
Sekretaris Umum MUI Kabupaten Probolinggo KH. Syihabuddin menjelaskan, pihaknya telah berkoordinasi dengan MUI Jatim dan MUI pusat soal ajaran di Padepokan Dimas Kanjeng.
    
"Kami telah menyampaikan sejumlah laporan dan bukti-bukti terkait ajaran padepokan. Dari laporan kronologi itu, MUI bakal menyampaikan fatwanya dalam waktu segera," katanya.
    
Selain fatwa MUI Pusat tentang Dimas Kanjeng Taat Pribadi mirip "Tuhan" yang masih perlu ditunggu itu, MUI setempat  juga menyiapkan tiga rekomendasi terkait keberadaan Padepokan Dimas Kanjeng.
    
Tiga rekomendasi itu, menurut Syihabuddin, adalah meminta pemerintahan dan kepolisian untuk mengusut tuntas kasus yang terjadi di Padepokan Dimas Kanjeng tersebut.
    
"Poin kedua, kami meminta mereka menutup Padepokan Dimas Kanjeng, supaya keberadaan padepokan tidak lagi muncul dan kembali ada korban," tandasnya.
    
Terakhir, merehabilitasi para pengikut padepokan tersebut, sebab para pengikut itu merupakan korban dari keberadaan yayasan padepokan.
    
"Pengikut-pengikut padepokan itu perlu direhabilitasi dan diberikan pembinaan, karena mereka menjadi korban," katanya. (*)

Pewarta: willy irawan

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016