Surabaya (Antara Jatim) - Sejak ditetapkan UNESCO menjadi salah satu 'The World Heritage' pada 2 Oktober 2009, maka batik kini menjadi semakin diminati. Penggunaannya pun tak hanya didominasi oleh orang tua, tapi juga anak muda.

"Anak muda sudah tak malu lagi memakai batik, karena desainnya semakin menarik, sehingga semakin berkembang dan diminati. Banyak juga perempuan pergi ke mal pakai batik," ucap Ketua Komunitas Batik Jawa Timur di Surabaya (KiBaS) Ir Lintu Tulistyantoro M.Ds.

Baginya, desain batik yang menarik itu tak lepas dari peran desainer yang sangat penting hingga akhirnya dapat membuat anak muda lebih mencintai batik, apalagi fashion batik juga sudah memiliki frekuensi yang kerap.

"Memang, secara desain tidak terlalu berkembang, tapi batik sekarang sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri," tutur dosen Interior di Fakultas Seni dan Desain, Universitas Kristen (UK) Petra Surabaya itu kepada Antara di Surabaya (26/9).

Namun, industri batik yang saat ini cukup menggembirakan itu tetap harus disimak secara berhati-hati, karena banyaknya desainer batik juga berpotensi membuat batik tulis "menenggelamkan" batik klasik.

Oleh karena itu, pemerintah harus berperan menjaga "pasar" untuk batik klasik dan batik tulis agar sama-sama berkembang.

"Batik yang khas saat ini hanya ada di daerah perbatikan kuno, seperti Banyuwangi, Sidoarjo, Tulungagung, Trenggalek, Tuban dan Madura," timpalnya.

Dahulu batik, tidak banyak dikenal, namun sekarang sudah lebih dikenal. Contohnya, Batik Jawa Timur. "Dahulu orang akan lebih mengenal Batik Madura dibandingkan dengan Batik Jawa Timur secara keseluruhan. Sekarang, sudah mulai tersosialisasikan mulai Batik Tuban, Lamongan sampai Banyuwangi," ungkapnya.

Selain itu, dukungan dari pemerintah juga sangat luar biasa secara tertulis. Pemerintah selalu mengadakan acara-acara dengan batik selalu diberi fasilitas dengan pameran, seperti pameran batik secara besar-besaran di Jawa Timur pada Mei lalu.

"Lomba batik juga diangkat secara luar biasa. Namun justru yang banyak difasilitasi adalah kelompok-kelompok batik yang sudah terkenal, sedang komunitas baik yang belum terkenal pun berteriak-teriak karena harus mencari pasar sendiri," imbuhnya.

Secara praktik, pemerintah belum optimal dalam pengembangan batik, namun secara teori sudah sangat baik dengan membuat lomba, seminar dan studi banding, dan hampir semua pemerintah daerah mendukung.

"Hanya saja, penggemar batik masih banyak dari kalangan bawah dan atas, karena batik yang disukai masih dengan kisaran harga Rp200 ribu atau yang mahal sekalian Rp1 juta ke atas. Nah, batik untuk segmentasi menengah yang masih minim peminatnya," paparnya.

Bahkan, potensi batik untuk "go internasional" juga sudah dirintis pemerintah, namun tetap saja 80 persen pasar terbesar batik adalah di dalam negeri.

    
Mahasiswa Asing

Ikhtiar mengglobalkan batik ke dunia sudah diawali Presiden Soeharto dalam Sidang PBB, karena presiden era Orde Baru itu suka mengenakan batik pada tahun 1985-1990-an.

Upaya yang sama juga dilakukan Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya sejak batik diakui UNESCO, diantaranya dengan mengajarkan cara membatik kepada mahasiswa asing yang studi di kampus itu.

Misalnya, lima mahasiswa asing program Darmasiswa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri yang mengikuti acara Making Batik in Canvas Bag di UKP Surabaya (28/9).

"Kelima mahasiswa asing tersebut ialah Aniello Iannone L dari University of Naples L'Orientale, Italia, Lee So Yeong dan Yu Jeong P Hankuk University of Foreign Student Korea Selatan, Bassore Wani asal Yala Rajabhat, University Muang District dan Jiriphat Sirichon dari Walailak University Thailand," kata Dosen Program Studi Desain Interior UK Petra, Andreas Pandu Setiawan S.Sn. M.Sn.

Andreas menjelaskan, dalam kegiatan ini para mahasiswa asing diajak untuk lebih mengenal salah satu budaya Indonesia yaitu batik di atas media selain kain. Sebelumnya mereka juga belajar di atas media topeng.

"Kenapa batik? karena batik mempunyai filosofi yang sangat Indonesia, ada proses dan ceritanya. Masing-masing motif mempunyai filosofi tersendiri dan mewakili masyarakat Indonesia," paparnya.

Ia menambahkan, dengan belajar batik sebenarnya mahasiswa internasional bukan hanya belajar proses dan motif tapi juga pemikiran-pemikiran di balik proses dab seni batik itu sendiri. Pemahaman dan pemikiran ini nantinya diharapkan membuat mahasiswa asing mengenal budaya dan pola pikir masyarakat Indonesia lebih dekat.

"Hasil kreasi ini dapat mereka bawa pulang ke negara asalnya sehingga harapannya para mahasiswa asing ini akan menyebarkan kisah yang positif tentang Indonesia ke negara asalnya," imbuhnya.

Adalah mahasiswa asal Korea Selatan, Lee So Yeong, yang mengaku senang dapat belajar membatik. Menurutnya, batik adalah suatu karya seni yang tinggi dan membutuhkan kejelian dalam membuatnya.

Selain itu, mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia di Hankuk University of Foreign Student mengatakan orang-orang di Indonesia sangat ramah dan banyak makanan di Indonesia yang dia sukai seperti halnya nasi goreng dan sate.

    
Desainer Budaya

Setelah globalisasi batik, hal yang juga penting diperhatikan pemerintah adalah perlunya desainer batik berlatar lingkungan dan budaya.

"Beda dengan Jawa Tengah dan Yogyakarta, di sana mereka punya ISI Solo dan ISI Jogja, sehingga berimbas ke industri batik sekitar, karena banyak sarjana-sarjana desain masuk ke sana," jelas Lintu Tulistyantoro.

Untuk itu, ia mendorong pemerintah untuk memberikan beasiswa kepada anak muda yang serius menekuni desain batik, sehingga tidak seperti sekarang yang umumnya masih desainer yang otodidak, mereka kebanyakan meniru pendahulunya, sehingga desainnya sederhana.

"Yang sudah punya desainer batik, misalnya di Bondowoso dan Surabaya, tapi masih menyasar kelas atas. Kualitas juga belum maksimal, karena material bahan saat ini banyak yang didatangkan India dan Tiongkok yang memang secara harga lebih murah. Kalau bahan yang mahal itu dari Jerman," pungkasnya.

Perkembangan batik yang banyak menarik minat itu juga diakui Nanie yang selama ini mengelola Batik Mangrove sebagai salah satu batik asal "Kota Pahlawan".

"Itu (Batik Mangrove) terinspirasi dari wisata Mangrove (hutan bakau) Wonorejo Surabaya, Jawa Timur yang bersamaan dengan pembukaan wisata mangrove serta 'Lomba Desa Berhasil se Surabaya' pada awal tahun 2010," katanya kepada Antara di Surabaya (26/9).

Akhirnya, Nanie memanfaatkan momentum itu untuk mempromosikan produknya kepada masyarakat, sehingga produknya sampai saat ini sudah dikenal masyarakat luas.

"Sering banyak orang yang singgah ke sini untuk membeli batik mangrove. Bahkan pernah ada orang dari luar negeri yang membeli batik ini untuk oleh-oleh," ujarnya.

Batik Mangrove sendiri, kata Nanie, memiliki motif berbeda dari batik lainnya. Motif ini diambil dari ciri khas Surabaya seperti ikan suro dan buaya (lambang Surabaya), semanggi (makanan khas Surabaya), serta motif hutan bakau.

"Motif yang lebih digemari pelanggan adalah motif semanggi dan motifyang memiliki warna gelap," ujar wanita yang belajar membatik dari pelatihan yang diadakan oleh Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Surabaya.

Ia mematok harga perpotong kain batik dengan ukuran 2 x 1,5 meter ini berkisar Rp300.000 - Rp400.000 yang terbilang cukup terjangkau, mengingat kain yang digunakan juga lebih lembut yaitu kain katun primisima.

"Prosesnya juga masih tradisional dengan menggunakan canting dan 'malam' dengan memakan waktu 1-2 minggu per potong," katanya, bangga.

Ya, Hari Batik yang digaungkan sejak tahun 2009 itu kini telah menjadi Hari (Bangga) Batik. Selamat Hari Batik 2016 !. (*)

Pewarta: Willy Irawan dan Cindiana Aulia Saputri

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016