Surabaya (Antara Jatim) - Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Anton Setiadji menegaskan bahwa Provinsi Jatim telah menyiapkan Perda Pelarangan organisasi kemasyarakatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), karena organisasi itu tidak mengakui Pancasila.

"Kasus tambang pasir di Lumajang itu sudah kami ingatkan, tapi kita terlambat dan akhirnya meletus. Soal HTI juga sudah terjadi dan sejak ada kejadian di Bondowoso juga sudah kami ingatkan agar ada payung hukum yang mencegah," katanya dalam diskusi di Twin Tower UINSA Surabaya, Rabu.

Setelah berbicara dalam diskusi bertajuk "Peran Polri dalam Menangkal Radikalisme di Perguruan Tinggi" itu, ia menjelaskan payung hukum yang dimaksud adalah regulasi berupa perda, bukan pergub, karena materinya merupakan kesepakatan bersama Forpimda.

"Itu (regulasi) sebenarnya sudah kami sampaikan ke pemerintah pusat, namun kami tidak perlu menunggu, karena itu kami minta Gubernur untuk segera menerbitkan peraturan daerah (perda) yang sudah disepakati tim bersama dari pemerintah, polda, kejaksaan (Tim Pencegahan Konflik Sosial). Kami ingin Jatim yang mengawali," katanya.

Selain perda, langkah lain yang dilakukan Kapolda untuk menangkal radikalisme dengan melakukan pendekatan ke instansi perguruan tinggi, karena mahasiswa itu masih labil sehingga mudah terpengaruh, bahkan HTI diduga sudah menggaet jutaan mahasiswa.

"Tapi, kami bukan masuk kampus lho, melainkan kami bertemu Rektor UINSA dan beliau menyampaikan keinginan mengundang kami, bahkan Rektor UINSA juga meminta kami untuk nantinya memberikan kuliah umum di hadapan para mahasiswa," kata orang nomer satu di Polda Jatim yang juga sempat meletakkan batu pertama Gedung FEBI UINSA itu.

Tidak hanya radikalisme, pihaknya juga meminta masyarakat untuk bekerja sama dalam menangkal narkoba dan pelecehan seksual yang melibatkan LGBT dengan memanfaatkan jaringan digital. "Hampir setiap hari selalu ada laporan pelecehan seksual yang masuk ke saya, seperti dari Mojokerto, Madiun, Jember, dan sebagainya," katanya,

Hanya Tawaran
Secara terpisah, Humas HTI Jatim Ustaz Rif'an Wahyudi meminta pemprov untuk mengajak HTI Jatim untuk mendiskusikan pelarangan itu terlebih dulu. "Kami minta dipanggil dulu, dimana pelanggaran kami, ideologi kami yang mana yang bertentangan dengan Pancasila," katanya.

Terkait pendirian khilafah di Indonesia yang dinilai bertentangan dengan Pancasila, ia menyatakan hal itu (khilafah) hanya tawaran, karena Indonesia itu banyak persoalan, seperti korupsi dimana-mana, penjualan aset, pelecehan seksual, dan penyakit sosial lainnya.

"Kami tidak pernah membahas Pancasila dalam kajian maupun buku-buku HTI, karena itu anggapan bahwa kami anti-Pancasila itu politis, sebab koruptor tidak disebut anti-Pancasila, penjual kekayaan alam seperti Freeport tidak juga disebut anti-Pancasila, jadi siapa yang makar itu?," katanya.

Menurut dia, khilafah itu justru murni ajaran Islam yang memiliki akar historis di Indonesia. "Siapa yang mengamalkan Pancasilais? Orde Lama dengan demokrasi terpimpin justru menyeret Indonesia ke sosialisme sampai terjadi G-30-S/PKI, Orde Baru menyeret ke sekulerisme dan kapitalisme, dan Orde Reformasi ke neo-liberalisme," katanya.

Sementara itu, Rektor UINSA Prof Abd A'la MAg menegaskan bahwa ideologi apapun tidak penting, namun ideologi tidak mengakui Pancasila memang tidak boleh hidup di Indonesia, sebab Pancasila itu dasar negara di Indonesia, apalagi sudah mengibarkan bendera yang beda dengan Pancasila.

"Kalau Pancasila dalam praktiknya masih ada penyimpangan, maka tidak berarti Pancasila itu perlu alternatif atau perlu diberi tawaran lain. Itu seperti ada maling masuk gerbong KA, masak KA-nya harus dibakar. Mestinya 'kan cukup malingnya yang dicari," katanya.

Oleh karena itu, pihaknya akan mengawal mahasiswa dari ideologi radikal melalui pusat pendampingan mahasiswa dan "ma'had" agar mahasiswa tetap berpijak pada Islam yang toleran, ramah, dan melestarikan NKRI. "Kita pernah mengeluarkan dosen matematika yang radikalis," katanya. (*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016