Surabaya (Antara Jatim) - Pakar hukum tata negara dari Universitas Narotama Surabaya Dr Rusdianto Sesung menilai tindakan hukum selama 20 hari dari mantan Menteri ESDM Archandra Tahar
itu batal demi hukum sejak pemberhentian dirinya pada 15 Agustus 2016.
"Itu (batal demi hukum) karena dia memang tidak memenuhi syarat formil sesuai UU 39/2008 tentang Kementerian Negara. Kalau tidak memenuhi syarat formil, maka tidak berhak menjadi pejabat. Kalau tidak berhak menjadi pejabat, maka tidak memiliki kewenangan apapun, sehingga 20 hari itu dianggap tidak pernah ada," katanya di Surabaya, Jumat (19/8).
Ia mengemukakan hal itu menanggapi dampak kepemimpinan Archandra Tahar selama 20 hari, di antaranya keputusan tentang Blok Masela yang semula akan dibangun di lepas pantai menjadi di darat, "final investment decision" (Floating Liquefied Natural Gas) pada akhir 2018, dan "Indonesia Deepwater Development" yang merupakan proyek terbengkalai.
"Syarat formil dalam UU 39/2008 adalah WNI dan setia pada Pancasila, Dasar Negara, UUD 1945, dan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan.Kalau dokumen WNI itu mudah saja diusahakan, tapi kalau setia pada Pancasila itu yang tidak mudah dan kalau orang sudah menyatakan setia pada negara lain, maka sulit untuk setia pada negaranya sendiri," tuturnya.
Menurut doktor alumnus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu, Indonesia tidak menganut dwi-kewarganegaraan, namun Indonesia menganut "ius soli" dalam sistem kewarganegaraan atau sistem kewilayahan yakni siapapun yang lahir di wilayah Indonesia adalah WNI, namun bila keluar wilayah Indonesia maka bukan WNI lagi.
"Itu berbeda dengan Amerika atau Tiongkok yang menganut `ius sanguinis` dalam sistem kewarganegaraan atau sistem kelahiran yakni siapapun yang lahir di Amerika/Tiongkok, maka bila keluar negaranya akan tetap diakui sebagai warga negara itu, kecuali berpindah kewarganegaraan," ujarnya.
Oleh karena itu, status kewarganegaraan Archandra Tahar dalam sistem kewarganegaraan Indonesia adalah otomatis bukan WNI, meski dia masih memiliki status WNI, apalagi dia juga memiliki paspor Amerika, sehingga tindakan hukum mantan Menteri ESDM itu selama 20 hari dianggap tidak pernah ada.
"Bisa saja, status kewarganegaraan itu menganut PP 2/2007 bahwa status kewarganegaraan itu perlu pengesahan MenkumHAM, namun hal itu tetap tidak dapat dijadikan patokan, karena UU tetap lebih tinggi kedudukannya daripada PP. UU menganut extunc atau sejak awal dianggap tidak ada bila tidak memenuhi persyaratan formil," jelasnya.
Tentang Gloria Natapradja Hamel yang ayahnya berasal dari Prancis tapi lebih memilih untuk menjadi Paskibraka itu, Rusdianto Sesung menilai hal itu masih dalam koridor dwikewarganegaraan terbatas bila lahir di Indonesia dan belum berusia 18 tahun.
"Status Gloria itu secara kewarganegaraan masih dalam koridor dwi-kewarganegaraan terbatas yang bisa kita akui, karena lahir di Indonesia, orangtua juga dari Indonesia, meski ayahnya berkebangsaan Prancis, apalagi usianya masih 16 tahun," tegasnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016
"Itu (batal demi hukum) karena dia memang tidak memenuhi syarat formil sesuai UU 39/2008 tentang Kementerian Negara. Kalau tidak memenuhi syarat formil, maka tidak berhak menjadi pejabat. Kalau tidak berhak menjadi pejabat, maka tidak memiliki kewenangan apapun, sehingga 20 hari itu dianggap tidak pernah ada," katanya di Surabaya, Jumat (19/8).
Ia mengemukakan hal itu menanggapi dampak kepemimpinan Archandra Tahar selama 20 hari, di antaranya keputusan tentang Blok Masela yang semula akan dibangun di lepas pantai menjadi di darat, "final investment decision" (Floating Liquefied Natural Gas) pada akhir 2018, dan "Indonesia Deepwater Development" yang merupakan proyek terbengkalai.
"Syarat formil dalam UU 39/2008 adalah WNI dan setia pada Pancasila, Dasar Negara, UUD 1945, dan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan.Kalau dokumen WNI itu mudah saja diusahakan, tapi kalau setia pada Pancasila itu yang tidak mudah dan kalau orang sudah menyatakan setia pada negara lain, maka sulit untuk setia pada negaranya sendiri," tuturnya.
Menurut doktor alumnus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu, Indonesia tidak menganut dwi-kewarganegaraan, namun Indonesia menganut "ius soli" dalam sistem kewarganegaraan atau sistem kewilayahan yakni siapapun yang lahir di wilayah Indonesia adalah WNI, namun bila keluar wilayah Indonesia maka bukan WNI lagi.
"Itu berbeda dengan Amerika atau Tiongkok yang menganut `ius sanguinis` dalam sistem kewarganegaraan atau sistem kelahiran yakni siapapun yang lahir di Amerika/Tiongkok, maka bila keluar negaranya akan tetap diakui sebagai warga negara itu, kecuali berpindah kewarganegaraan," ujarnya.
Oleh karena itu, status kewarganegaraan Archandra Tahar dalam sistem kewarganegaraan Indonesia adalah otomatis bukan WNI, meski dia masih memiliki status WNI, apalagi dia juga memiliki paspor Amerika, sehingga tindakan hukum mantan Menteri ESDM itu selama 20 hari dianggap tidak pernah ada.
"Bisa saja, status kewarganegaraan itu menganut PP 2/2007 bahwa status kewarganegaraan itu perlu pengesahan MenkumHAM, namun hal itu tetap tidak dapat dijadikan patokan, karena UU tetap lebih tinggi kedudukannya daripada PP. UU menganut extunc atau sejak awal dianggap tidak ada bila tidak memenuhi persyaratan formil," jelasnya.
Tentang Gloria Natapradja Hamel yang ayahnya berasal dari Prancis tapi lebih memilih untuk menjadi Paskibraka itu, Rusdianto Sesung menilai hal itu masih dalam koridor dwikewarganegaraan terbatas bila lahir di Indonesia dan belum berusia 18 tahun.
"Status Gloria itu secara kewarganegaraan masih dalam koridor dwi-kewarganegaraan terbatas yang bisa kita akui, karena lahir di Indonesia, orangtua juga dari Indonesia, meski ayahnya berkebangsaan Prancis, apalagi usianya masih 16 tahun," tegasnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016