Surabaya (Antara Jatim) - Pagi itu, Kampung Ketandan yang merupakan kampung tertua di jantung Kota Surabaya terlihat sibuk. Tampak sejumlah anak-anak muda bergotong-royong memoles kampung mereka agar menjadi indah.
    
Anak-anak muda itu dengan antusias menggoreskan cat aneka warna dari mulai gang masuk Kampung Ketandan. Mereka itu seakan tidak peduli ketika lengan, kaki bahkan kaos mereka, terkena lumuran cat.
    
Tidak sampai satu jam, wajah Kampung Ketandan yang dulunya tak dilihat orang itu, kini menggoda siapa saja untuk datang berkunjung. Dari mulai gang masuk, tertulis tulisan besar "Kampung Ketandan" dengan gambar telapak kaki. Jalan beralaskan paving itu penuh dengan goresan warna-warni hijau muda, merah dan kuning.
    
Semakin masuk ke dalam kampung, pemandangannya semakin rupa-rupa warnanya. Tembok-tembok dipenuhi lukisan mural warna-warni. Pagar tanaman toga juga dicat dengan beragam warna. Plus tempat sampah yang terlihat menarik dengan warna biru. Saluran airnya juga terlihat bersih.
    
Kampung Ketandan di Kelurahan Genteng, Kecamatan Genteng, Surabaya menjadi salah satu destinasi yang dikunjungi delegasi dari berbagai negara yang menjadi peserta agenda Konferensi "The Third Session of The Preparatory Committe for Habitats III" (Prepcom 3) di Surabaya pada 25-27 Juli 2016.
    
Selain Kampung Ketandan, ada sejumlah kampung yang menjadi tempat kunjungan delegasi Prepmcom 3 yakni Kampung Bratang Binangun, Kampung Genteng, Kampung Lawas Maspatih, dan juga Kampung Gundih. Kampung-kampung tersebut memiliki keunikan masing-masing.
    
Namun dari sejumlah kampung tersebut, yang menjadi paling menarik dikunjungi delegasi adalah Kampung Ketandan. Hal ini dikarenakan letaknya berada di jantung kota metroplitan. Kampung yang berada di sebelah Barat Jalan Tunjungan atau sekitar 100 meter dari arah Siola itu memiliki potensi luar biasa.
    
Sedangkan Jalan Tunjungan sendiri merupakan salah satu etalase pesona di Kota Surabaya. Sudah banyak yang tahu, jalan legendaris yang berada di pusat Kota Surabaya ini dipenuhi bangunan-bangunan tua sarat sejarah.
    
Kampung kecil yang dulunya bernama Kentandang di Jalan Tunjungan ini merupakan saksi bisu sejarah panjang Kota Surabaya yang masih bertahan melawan arus modernisme. Meskipun terhimpit berbagai bangunan tinggi yang serba modern, Kampung Ketandan masih terus bertahan melawan gempuran pembangunan mega proyek di Surabaya.
    
"Dulu, kampung ini seperti mati dan agak kumuh. Sekarang Alhamdulillah keguyuban warga sangat menonjol. Anak-anak muda nya juga kompak. Ini yang membuat kami selaku anak muda, bersemangat untuk menghidupkan kampung ini. Dan, seru sekali bisa ikut rame-rame mengecat kampung," ujar Carla Della, Sekretaris Karang Taruna Kampung Ketandan.
    
Menurut Carla, warga Ketandan rutin melakukan kerja bakti untuk bersih-bersih. Ada event atau tidak, aktivitas menjaga kebersihan dan keanggunan kampung secara istiqomah dilaksanakan oleh warga.
    
"Bukan hanya karena pas ada event, kami rutin sebulan sekali melakukan kerja bakti," katanya.   
    
Meski begitu, dia mengaku bahwa terpilihnya Kampung Ketandan sebagai salah satu tujuan field visit agenda Prepcom 3 pada 27 Juli merupakan kebanggaan tersendiri. Untuk menyambut tamu-tamu dari berbagai negara tersebut, warga menyiapkan penyambutan. Selain akan memamerkan hasil-hasil produk kerajinan dan ekonomi kreatif warga, ada keunggulan yang akan ditonjolkan oleh warga Kampung Ketandan.
    
"Kami akan menonjolkan Kampung Budaya Ketandan. Di sini ada anak-anak yang aktif mengikuti pelatihan tari remo, juga ludruk. Untuk pendopo yang baru dibangun ini, nanti juga kami rencanakan sebagai  sanggar kecil-kecilan untuk latihan tari dan juga ruang publik," kata mahasiswa jurusan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Surabaya ini.
    
Kondisi Kampung Ketandan dibenarkan Camat Genteng Mahmud Sariadji. Ia mengatakan perubahan wajah Kampung Ketandan itu tidak lepas dari adanya kemauan warga untuk mengubah kampungnya menjadi lebih baik. Dia mengatakan, dulu, warga di kampung yang rumah-rumahnya dikeliling gedung-gedung menjulang ini susah untuk sekadar diajak kerja bakti dikarenakan kesibukan masing-masing.
    
"Dulu kampung memang agak kotor dan tidak terawat. Tetapi sekarang berbeda. Kini Ketandan lebih cantik dan bersih. Warganya sudah guyub. Karang tarunanya juga aktif," katanya.
    
Menurut cerita, sejak zaman Kerajaan Majapahit, kampung itu telah berdiri sebagai tempat berkumpul serdadu militer yang berperang dengan suku Tartar dari Mongolia.
    
Meskipun tidak ditemukan candi peninggalan Majapahit di dataran Surabaya, jejak peninggalan Majapahit bisa ditemukan dalam punden atau makam keramat yang salah satunya ada di Kampung Ketandan. Dilindungi sebuah pohon beringin besar, bersemayamlah nenek moyang warga kampung Ketandan yakni Mbah Buyut Tondo dengan dua pengawal setianya.
    
Kepunden ini juga menjadi lokasi balai kebudayaan berbentuk joglo yang kini sedang dibangun. Peninggalan tua lain juga masjid tua yang didirikan dari zaman Belanda. Saat pertempuran bersejarah rakyat Surabaya melawan Belanda dan serdadu NICA dahulu, warga kampung Ketandan juga turut ambil bagian dalam merobek bendera Belanda di Hotel Oranje atau yang kini dikenal sebagai Hotel Majapahit. Setelah merobek bendera Belanda, kemudian orang tersebut ditembak mati.
    
Apalagi Kampung ini juga dipenuhi oleh bangunan dengan arsitektur lawas bergaya jengki yang sangat populer di masa setelah kemerdekaan Indonesia. Arsitektur ini unik karena gaya jengki itu datang secara tiba-tiba dan pergi secara tiba-tiba di tahun 1950-an hingga 1960-an. Kini, hanya sedikit yang tersisa di Surabaya, salah satunya di lokasi Kampung Ketandan.
    
Kampung ini juga unik karena lokasinya yang terhimpit di antara bangunan raksaa di pusat kota. Kampung ini menjadi satu-satunya kampung yang bertahan di segitiga emas Surabaya. Bahkan, kampung ini sempat hampir digusur di era kepemimpian Presiden Soeharto. Namun berkat kerja sama seluruh warga Ketandan yang meninggikan harga jual tanah, upaya tersebut bisa digagalkan.
    
Keberadaan Kampung Ketandan dan juga kampung-kampung unggulan di Surabaya, selaras dengan gelaran Prepcom 3 yang diprakarsai oleh PBB yang merupakan konferensi membahas isu-isu lingkungan perumahan, pemukiman dan perkotaan guna menghasilkan kesepakatan yang bersifat global.
    
Kota Surabaya menjadi pilihan lokasi penyelengaraan Prepcom 3 karena dinilai memiliki cita-cita yang sejalan dengan misi UN Habitat yakni memberdayagunakan lingkungan, perumahan dan pemukiman. Surabaya memiliki kelebihan dari berbagai sisi, mulai dari sejarahnya hingga tipikal lingkungan dan masyarakat dalam sebuah perumahan maupun permukiman.

Balai Cak Markeso
     
Warga Ketandan kini memiliki ruang publik representatif. Ruang publik berupa joglo yang diberi nama Balai Budaya Cak Markeso tersebut diresmikan Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini bersama beberapa delegasi Prepcom 3 pada 27 Juli 2016.
    
Balai Budaya yang berada di tengah-tengah permukiman warga ini akan menjadi "penyambung rasa" bagi warga Ketandan dalam berinteraksi dan berdiskusi tentang segala hal terkait lingkungan tempat tinggalnya.
    
Pembangunan joglo yang difungsikan sebagai pendopo ini merupakan hasil kerja sama United Cities Local Goverment Asia Pacific (UCLG ASPAC), UN Habitat dan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Pembangunan ruang publik ini merupakan dukungan UCLG ASPAC kepada Pemkot Surabaya dalam mewujudkan pembangunan Surabaya menjadi kota yang berkembang secara berkelanjutan.
    
Sekjen UCLG ASPAC, Bernardia Irawati Tjandradewi mengatakan, ruang publik bukan hanya berupa ruang terbuka hijau. Tapi juga berupa bangunan yang bisa difungsikan warga untuk berkumpul dan memperkuat interaksi sosialnya. Balai Budaya tersebut diberi nama Cak Markeso-tokoh ternama ludruk dengan tujuan untuk mempersatukan dan memelihara warisan budaya di area tersebut.
    
"Dan Balai Budaya ini tidak akan mungkin berdiri tanpa adanya peran dari warga. Saya dengar warga bahkan tidak tidur untuk membangun ini. Itu membuat mereka merasa memiliki bangunan ini," ujar Bernardia.
    
Bernardia mengaku sebelumnya sudah pernah berkunjung ke Ketandan. Dan, setiap datang ke kampung itu, dia mengaku jatuh cinta dengan guyubnya masyarakat di sana.
    
"Saya senang Kampung Ketandan ini. Masyarakatnya saling support untuk membenahi kampung. Lingkungannya juga aman. Saya dengar Bu Risma juga dua kali membantu mengecat bersama warga," katanya.
    
Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini mengatakan keberadaan Kampung Ketandan yang dikepung oleh bangunan hotel dan juga mal, sangat krusial untuk menghidupkan pusat kota. Sebab, kampung yang berada tepat di jantung Kota Surabaya ini, hidup selama 24 jam karena warganya aktif berinteraksi. Berbeda dengan kawasan pertokoan yang sudah mati ketika pukul 22.00 WIB.
    
"Mereka lah yang jaga hidup kota selama 24 jam karena toko-toko tutup jam 10 malam. Karena itu, saya berusaha semampu saya untuk mempertahankan kampung ini. Karena sejarah Surabaya itu terbentuk dari kampung-kampung," ujar wali kota.
    
Risma menjelaskan sebelumnya Kampung Ketandan tersebut dikenal sebagai tempat yang menimbulkan banyak masalah, di antaranya, kriminalitas, kemiskinan, dan pendidikan rendah.
    
Namun, lanjut dia, pemkot terus gencar mengajak warga berperan aktif dengan harapan dapat mengubah cap jelek sebelumnya. Risma mengatakan Kampung itu bukan lokasi yang jelek. Tapi, di kampung itu terdapat potensi-potensi warga yang harus didukung penuh. Dengan usaha keras dari warga setempat, akhirnya Kampung Ketandan kini menjadi salah satu unggulan di antara 14 kampung di Surabaya.
    
Peresmian Balai Budaya tersebut menjadi momen bersejarah bagi warga Ketandan. Karenanya, warga antusias menyemarakkan acara tersebut. Mereka juga menampilkan beberapa produk kerajinan warga. Serta, menjamu para delegasi Prepcom III dengan makanan khas Ketandan.
    
Anak-anak muda di Ketandan juga merespons positif diresmikannya ruang terbuka tersebut. Sekretaris Karang Taruna Kampung Ketandan, Carla Della mengatakan pihaknya berencana menjadikan joglo tersebut sebagai pusat bertemu dan berkegiatan. Termasuk juga pelatihan seni budaya tradisional seperti tari remo dan ludruk.
    
"Di sini ada anak-anak yang aktif mengikuti pelatihan tari remo, juga ludruk. Untuk pendopo ini, kami juga inginnya difungsikan sebagai sanggar kecil-kecilan untuk latihan tari dan juga ruang publik," katanya. (*)

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Masuki M. Astro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016