Jawa Timur kembali menonjol dalam ajang penyerahan piala penghargaan tahunan Adipura 2016. Suatu penghargaan, yang menurut laman ensiklopedia bebas wikipedia.org, hanya diberikan pada kota atau ibukota kabupaten yang dianggap berhasil menjaga kebersihan serta pengelolaan lingkungan perkotaan.
Tidak tanggung-tanggung, 19 daerah administratif di Jatim sukses merengkuh penghargaan tahunan itu. Tujuh kota/kabupaten mendapat Adipura Buana, 10 kota/kabupaten meraih Adipura Kirana, dan dua kota/ibukota kabupaten meraih Adipura Paripurna.
Dua penghargaan prestisius itu diraih oleh masing-masing Kota Surabaya untuk kategori kota metropolitan (diraih bersama Kota Palembang) serta Ibukota Kabupaten Tulungagung untuk kategori kota sedang.
Secara kuantitatif tentu itu membanggakan, terutama saat muncul di berbagai pemberintaan.
Ekspektasi kita sebagai warga negara tentu juga menjadi besar saat semakin banyak kota di Jatim menjadi kawasan pemukiman urban yang bersih, layak huni (liveable) dan mampu mendorong perkembangan ekonomi perdagangan, pariwisata serta arus investasi berbasis pengelolaan lingkungan.
Namun apakah gempita kebahagiaan dan sorai kebanggaan para pemimpin dan pejabat daerah itu dirasakan pula oleh warganya? Orang Belanda bilang "nonsens". Omong kosong!
Bukan saja karena warga belum merasakan gerakan masif secara kontinyu dan konsisten dalam pengelolaan kebersihan lingkungan yang layak huni, tapi juga fakta kebersihan semu yang dilakukan saat tim penilai berkunjung ke daerah.
Oke, memang standar kebersihan daerah meningkat. Akan tetapi setiap kali warga masih mendapati sampah dibuang di selokan-selokan, pembuangan limbah industri di sungai-sungai kota, hingga banjir akibat sistem drainase yang buruk, piala adipura hanya akan menjadi cibiran nyinyir warganya sendiri.
Bagaimana tidak, dari total 513 (415 kabupaten, 93 kota, dan 5 kota administratif) di seluruh Tanah Air dari republik ini, hampir sepertiga (143 daerah) di antaranya mendapat "jatah" penghargaan tersebut.
Dua pertiga kota/ibukota kabupaten lain mungkin belum beruntung. Bisa karena memang masih buruk pengelolaan kebersihan daerahnya atau bisa juga "cerdas" melobi tim penilai yang berasal dari lintaskementrian/lembaga.
Banyaknya daerah penerima adipura membuat keberhasilan daerah meraih piala ini, diakui ataupun tidak, telah menurunkan derajat keistimewaan penghargaan tersebut.
Dulu, awal-awal program penghargaan adipura diselenggarakan sejak 1986-1998, si Budi yang tinggal di kota A akan ikut bangga begitu mendengar pengumuman atau berita tentang daerahnya yang menerima adipura sebagai kota terbersih.
Namun begitu ia bepergian ke kota B, C, L hingga Z, ternyata si Budi ternyata mendapati penghargaan serupa diraih daerah-daerah lain.
Piala berbentuk piringan berlatar kotak persegi empat itu bahkan dibuatkan prototipe dengan ukuran jumbo lalu dipajang di tengah atau jalur masuk pusat kota.
Menjadi prasasti seumur hidup dan kemampuan konstruksi tugu peringatan itu mampu berdiri, meski sifat penghargaan hanya diukur untuk durasi setahun. Tahun berikutnya akan ada mekanisme penilaian lagi dan belum tentu daerah yang sama meraihnya lagi.
Sekali-dua kali mendapati awalnya masih dianggap wajar. Namun ketika mengetahui ada banyak daerah yang menerima piala serupa, kecewalah si Budi.
Fenomena yang dialami Budi nyatanya tidak berdiri-sendiri, ada banyak Budi-Budi lain hingga Wati yang kini cuek, atau lebih tepat menganggap biasa, dengan
Orang jamak menganggap sebagai hal yang lazim dan menjadi sekadar seremoni belaka tanpa pemaknaan mendalam.
Kesenjangan terjadi karena ada banyak kota/ibukota kabupaten yang menerima adipura secara berturut. Namun di sisi lain, ada banyak daerah lain di pelosok negeri ini yang tak sekalipun sukses merengkuhnya.
Jangankan menyentuh, melihat wujud aslinya saja mungkin tidak pernah kecuali menonton dari gambarnya di media-media.
Ironi memang, namun kita wajib mengapresiasi penyelenggaraan simbolisasi penghargaan lomba kebersihan kota/ibukota kabupaten tersebut.
Sikap Gubernur Basuki Purnama atau Ahok mungkin bisa menjadi contoh. Dia secara terbuka menyampaikan justru malu saat tahu wilayah Jakarta pusat menerima piala adipura.
Bukan karena Ahok tak menghargai prestasi ataupun upaya jajaran di bawahnya sehingga berhasil meraih penghargaan itu, namun lebih karena ia menyadari masih banyak sudut kota yang belum bersih.
Secara khusus Ahok mengingatkan Pemkot Jakarta Pusat untuk tidak berlebihan merayakan keberhasilannya meraih adipura tersebut. Cukup foto bersama di balai pemkot tanpa harus melakukan konvoi atau semacam arak-arakan.
Kenapa begitu? Jawabannya kurang lebih sama dengan pemikiran di atas. Ahok malu jika pesta berlebihan yang dilakukan jajarannya justru menuai cibiran nyinyir warga Jakarta.
Sikap dan kedewasaan Ahok dalam menanggapi keberhasilan salah satu kota administratif di wilayahnya tentunya bisa menjadi pembelajaran bagi daerah-daerah lain penerima piala adipura.
Jangan berlebihan merayakan. Jadikan Adipura sebagai pelecut untuk menata kawasan pemukiman kota yang nyaman, bersih, dan layak huni secara berkelanjutan dengan melibatkan seluruh elemen masyarakatnya.
Selain itu, transparasi dalam proses penilaian yang terukur secara jelas juga perlu.
Supaya apa, ya tentu supaya tidak menimbulkan sakwasangka bahwa adipura hanya menjadi ajang "negosiasi" daerah untuk menumpuk prestasi demi prestasi yang akan menjadi modal pemimpinnya maju bursa politik periode kedua berikutnya ataupun ke tingkatan lebih tinggi.
Lebih penting lagi, jangan sampai penghargaan yang niatan penyelenggaraannya adalah memacu daerah menata dan menciptakan kawasan perkotaan yang bersih, sehat dan layak huni terdistorsi oleh orientasi dangkal pejabatnya meraih adipura semata.
Harus ada pelibatan seluruh elemen masyarakat, penguatan kearifan lokal untuk tujuan pembangunan dan pengembangan kawasan urban yang nyaman dan menyenangkan.
Seperti tetuah para orang tua: Percayalah, jika semua dilakukan dengan tulus dan sungguh-sungguh, prestasi dan rezeki pasti akan mengikuti.
Tetuah bijak ini cocok juga untuk para pemimpin daerah agar tulus dalam menata lingkungan demoi masa depan generasi penerus kita di masa-masa mendatang. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016
Tidak tanggung-tanggung, 19 daerah administratif di Jatim sukses merengkuh penghargaan tahunan itu. Tujuh kota/kabupaten mendapat Adipura Buana, 10 kota/kabupaten meraih Adipura Kirana, dan dua kota/ibukota kabupaten meraih Adipura Paripurna.
Dua penghargaan prestisius itu diraih oleh masing-masing Kota Surabaya untuk kategori kota metropolitan (diraih bersama Kota Palembang) serta Ibukota Kabupaten Tulungagung untuk kategori kota sedang.
Secara kuantitatif tentu itu membanggakan, terutama saat muncul di berbagai pemberintaan.
Ekspektasi kita sebagai warga negara tentu juga menjadi besar saat semakin banyak kota di Jatim menjadi kawasan pemukiman urban yang bersih, layak huni (liveable) dan mampu mendorong perkembangan ekonomi perdagangan, pariwisata serta arus investasi berbasis pengelolaan lingkungan.
Namun apakah gempita kebahagiaan dan sorai kebanggaan para pemimpin dan pejabat daerah itu dirasakan pula oleh warganya? Orang Belanda bilang "nonsens". Omong kosong!
Bukan saja karena warga belum merasakan gerakan masif secara kontinyu dan konsisten dalam pengelolaan kebersihan lingkungan yang layak huni, tapi juga fakta kebersihan semu yang dilakukan saat tim penilai berkunjung ke daerah.
Oke, memang standar kebersihan daerah meningkat. Akan tetapi setiap kali warga masih mendapati sampah dibuang di selokan-selokan, pembuangan limbah industri di sungai-sungai kota, hingga banjir akibat sistem drainase yang buruk, piala adipura hanya akan menjadi cibiran nyinyir warganya sendiri.
Bagaimana tidak, dari total 513 (415 kabupaten, 93 kota, dan 5 kota administratif) di seluruh Tanah Air dari republik ini, hampir sepertiga (143 daerah) di antaranya mendapat "jatah" penghargaan tersebut.
Dua pertiga kota/ibukota kabupaten lain mungkin belum beruntung. Bisa karena memang masih buruk pengelolaan kebersihan daerahnya atau bisa juga "cerdas" melobi tim penilai yang berasal dari lintaskementrian/lembaga.
Banyaknya daerah penerima adipura membuat keberhasilan daerah meraih piala ini, diakui ataupun tidak, telah menurunkan derajat keistimewaan penghargaan tersebut.
Dulu, awal-awal program penghargaan adipura diselenggarakan sejak 1986-1998, si Budi yang tinggal di kota A akan ikut bangga begitu mendengar pengumuman atau berita tentang daerahnya yang menerima adipura sebagai kota terbersih.
Namun begitu ia bepergian ke kota B, C, L hingga Z, ternyata si Budi ternyata mendapati penghargaan serupa diraih daerah-daerah lain.
Piala berbentuk piringan berlatar kotak persegi empat itu bahkan dibuatkan prototipe dengan ukuran jumbo lalu dipajang di tengah atau jalur masuk pusat kota.
Menjadi prasasti seumur hidup dan kemampuan konstruksi tugu peringatan itu mampu berdiri, meski sifat penghargaan hanya diukur untuk durasi setahun. Tahun berikutnya akan ada mekanisme penilaian lagi dan belum tentu daerah yang sama meraihnya lagi.
Sekali-dua kali mendapati awalnya masih dianggap wajar. Namun ketika mengetahui ada banyak daerah yang menerima piala serupa, kecewalah si Budi.
Fenomena yang dialami Budi nyatanya tidak berdiri-sendiri, ada banyak Budi-Budi lain hingga Wati yang kini cuek, atau lebih tepat menganggap biasa, dengan
Orang jamak menganggap sebagai hal yang lazim dan menjadi sekadar seremoni belaka tanpa pemaknaan mendalam.
Kesenjangan terjadi karena ada banyak kota/ibukota kabupaten yang menerima adipura secara berturut. Namun di sisi lain, ada banyak daerah lain di pelosok negeri ini yang tak sekalipun sukses merengkuhnya.
Jangankan menyentuh, melihat wujud aslinya saja mungkin tidak pernah kecuali menonton dari gambarnya di media-media.
Ironi memang, namun kita wajib mengapresiasi penyelenggaraan simbolisasi penghargaan lomba kebersihan kota/ibukota kabupaten tersebut.
Sikap Gubernur Basuki Purnama atau Ahok mungkin bisa menjadi contoh. Dia secara terbuka menyampaikan justru malu saat tahu wilayah Jakarta pusat menerima piala adipura.
Bukan karena Ahok tak menghargai prestasi ataupun upaya jajaran di bawahnya sehingga berhasil meraih penghargaan itu, namun lebih karena ia menyadari masih banyak sudut kota yang belum bersih.
Secara khusus Ahok mengingatkan Pemkot Jakarta Pusat untuk tidak berlebihan merayakan keberhasilannya meraih adipura tersebut. Cukup foto bersama di balai pemkot tanpa harus melakukan konvoi atau semacam arak-arakan.
Kenapa begitu? Jawabannya kurang lebih sama dengan pemikiran di atas. Ahok malu jika pesta berlebihan yang dilakukan jajarannya justru menuai cibiran nyinyir warga Jakarta.
Sikap dan kedewasaan Ahok dalam menanggapi keberhasilan salah satu kota administratif di wilayahnya tentunya bisa menjadi pembelajaran bagi daerah-daerah lain penerima piala adipura.
Jangan berlebihan merayakan. Jadikan Adipura sebagai pelecut untuk menata kawasan pemukiman kota yang nyaman, bersih, dan layak huni secara berkelanjutan dengan melibatkan seluruh elemen masyarakatnya.
Selain itu, transparasi dalam proses penilaian yang terukur secara jelas juga perlu.
Supaya apa, ya tentu supaya tidak menimbulkan sakwasangka bahwa adipura hanya menjadi ajang "negosiasi" daerah untuk menumpuk prestasi demi prestasi yang akan menjadi modal pemimpinnya maju bursa politik periode kedua berikutnya ataupun ke tingkatan lebih tinggi.
Lebih penting lagi, jangan sampai penghargaan yang niatan penyelenggaraannya adalah memacu daerah menata dan menciptakan kawasan perkotaan yang bersih, sehat dan layak huni terdistorsi oleh orientasi dangkal pejabatnya meraih adipura semata.
Harus ada pelibatan seluruh elemen masyarakat, penguatan kearifan lokal untuk tujuan pembangunan dan pengembangan kawasan urban yang nyaman dan menyenangkan.
Seperti tetuah para orang tua: Percayalah, jika semua dilakukan dengan tulus dan sungguh-sungguh, prestasi dan rezeki pasti akan mengikuti.
Tetuah bijak ini cocok juga untuk para pemimpin daerah agar tulus dalam menata lingkungan demoi masa depan generasi penerus kita di masa-masa mendatang. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016