Malang (Antara Jatim) - Menjadi peternak sapi sebagai pekerjaan utama bukanlah pilihan jalan hidup pria paruh baya 49 tahun ini, sebab saat dirinya masih muda luasnya jaringan yang dipunyainya bisa membuatnya menjadi anggota dewan atau sejenisnya.

Namun pilihan itu tidak diambil, karena gemerlapnya dunia perpolitikan di daerahnya yakni Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur menyilaukan pandangannya, sebab permainan uang (money politik) membuat dirinya tabu terjun ke dunia itu, sehingga pria dengan nama lengkap Nur Hadi ini memilih menjadi wirausaha

Dengan modal jaringan luas, Nur yang kini memiliki dua putra itu mengawali kariernya dengan membuka usaha Warung Telkom (Wartel) di rumahnya Jalan Ahmad Yani, Kecamatan Turen.

Namun bisnisnya itu mulai surut karena teknologi hadirnya gawai atau telepon seluler membuat wartel miliknya tutup, kemudian beralih menjadi peternak. Dari sinilah, langkah awal hidupnya menjadi peternak sapi digeluti yakni sekitar tahun 2008. 

Sebagai pekerjaan peralihan, Nur yang merupakan lulusan Universitas Jember (Unej) Jawa Timur itu mengaku memerlukan waktu tiga hingga enam bulan untuk berfikir dan berdiskusi dengan berbagai peternak yang ada di wilayahnya, hingga pada akhirnya diputuskannya dunia peternakan menjadi pilihan jalan hidupnya.

Meski pada awal melangkah berbagai godaan dan pesimisme sempat membuat Nur minder atau menganggap dirinya rendah, ditambah anggapan peternak sapi yang sudah tidak lagi prospek menjadi pekerjaan utama, namun Nur tidak menyerah begitu saja.

"Memang menjadi peternak sapi pada zaman sekarang sudah bukan sebuah unggulan kebanyakan orang, apalagi anak muda. Bahkan dipandang sebelah mata karena pekerjaan itu dianggap remeh dan tidak bisa diandalkan," ucap pria kelahiran Kabupaten Malang ini.

Nur berpegangan tegus dengan mengacu pada filosofi jawa, yakni pertenak sapi adalah pekerjaan leluhur yang harus dilestarikan, karena pada zaman dulu orang yang memiliki sapi adalah orang yang sukses secara pribadi dan keluarga.

"Dalam ilmu sosial jawa yang saya pelajari, orang yang memiliki sapi adalah golongan masyarakat yang menduduki strata tertinggi, atau dalam istilahnya 'Raja Kaya' karena harga sapi yang selalu tinggi," katanya.

Nur mengatakan, peternak sapi adalah pekerjaan peninggalan leluhur yang harus dijaga sampai kapan pun, sebab menjadi peternak merupakan salah satu dari jati diri bangsa untuk menuju swasembada daging atau pangan.

"Anak muda saat ini sudah banyak meninggalkan pekerjaan leluhur yang merupakan jati diri dari bangsa ini, sehingga tidak salah bila saat ini selalu kekurangan daging, dan harus impor dari negara lain, padahal kita mempunyai kekayaan alam yang luas," ucapnya.

Penyebab Utama

Memang tidak salah banyak anak muda yang kini meninggalkan pekerjaan leluhur tersebut, sebab berdasarkan analisa Nur Hadi, peternak sapi banyak ditinggalkan karena untung yang didapat sangat kecil.

Nur mengaku prihatin, sebab pendapatan peternak sapi saat ini masih dibawah standar antara Rp300 ribu hingga Rp400 ribu per bulan.

"Dari keprihatinan inilah saya berinisiatif mengubah manajemen pengelolaan sapi di wilayah saya sendiri, dan menargetkan pendapatan peternak bisa meningkat menjadi Rp10 juta per bulan," katanya.

Langkah awal, Nur yang kini menjabat Ketua Paguyuban Peternak Sapi Turen Malang itu memberikan semangat dan harapan kepada peternak lainnya bahwa pendapatannya akan meningkat lebih baik.

Kemudian, Nur mengumpulkan para peternak itu untuk menggelar diskusi rutin untuk bersama-sama menemukan solusi guna meningkatkan pendapatan peternak.

"Dari hasil diskusi rutin yang digelar setiap sepekan dua kali, kami menemukan solusi dan penyebab utama rendahnya pendapatan peternak sapi, yakni sebagai besar peternak kurang peduli pada kebersihan kandang dan manajemen penjualan sapi, dan sapi kurang mendapat perawatan yang baik ketika sakit, dan terkesan apa adanya, sehingga kesehatan sapi kurang terjaga," ucapnya.

Akibatnya bobot sapi tidak bisa naik dan selalu turun saat akan dijual, sehingga harganya sangat rendah, dan selalu  kalah dengan pembeli yang menawar dengan harga seenaknya.

Nur mengatakan, merawat sapi selayaknyalah seperti merawat manusia, dan apabila sakit harus diberi perawatan layaknya manusia. Sehingga sapi akan cepat gemuk dan menambah bobot penjualan sapi di pasaran.

"Konsep diskusi rutin itu pun membuahkan hasil, dan awalnya hanya mengumpulkan sebanyak 12 kelompok kini berkembang menjadi 36 kelompok di bawah Paguyuban Peternak Sapi Potong Unggul Sejahtera," katanya.

Kemudian hasil diskusi diterapkan, dan pendapatan peternak setiap bulannya pun naik menjadi Rp5 juta untuk lima ekor sapi, dengan rincian Rp1 juta setiap ekornya, atau naik dibanding awal yang hanya Rp300 ribu hingga Rp500 ribu.

"Ke depan target saya setiap peternak harus mampu memiliki 10 ekor sapi, sehingga pendapatan yang akan didapat sebesar Rp10 juta per bulan dengan pola perawatan tiga hal, yakni bibit sapi yang bagus, pemeliharaan yang sehat serta penjualan yang bersaing dengan memanfaatkan jaringan yang ada," katanya.

Nur berharap, konsep yang diterapkannya di wilayah Turen bisa ditiru di daerah lain, sehingga dengan untung yang sesuai akan semakin banyaknya minat generasi muda untuk menjadi peternak.

"Dengan banyaknya peternak bangsa ini tidak perlu takut lagi kekurangan daging sapi, dan ke depan bangsa ini bisa swasembada daging dan mengembalikan kejayaan pekerjaan leluhur," katanya.

Harga Daging Masih Tinggi

Sementara itu harga daging sapi di beberapa wilayah Jawa Timur masih berada dikisaran Rp100 ribu per kilogram hingga Rp110 ribu per kilogram, dan diperkirakan terus naik menjelang Lebaran 2016.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur M Ardi Prasetyawan mengaku sulit memenuhi target harga daging hingga Rp80 ribu/kilorgram, sesuai permintaan Presiden Joko Widodo karena mengacu harga beberapa tahun terakhir yang tidak pernah lebih dari nilai itu.

Sementara, secara rinci untuk harga daging sapi yang dijual di Pasar Wonokromo, Surabaya masih sekitar Rp110 ribu per kilogram, sedangkan di sejumlah pasar tradisional Kota Kediri masih sekitar Rp100.000 per kilogram. 

Untuk wilayah Tulungagung mengalami kenaikan dari sebelumnya Rp85 ribu kini  mencapai Rp110 ribu per kilogram, dan diperkirakan akan semakin mahal pada H-2 Ramadhan hingga jelang Lebaran.

Pedagang daging sapi di Kota Tulungagung Mujiat menduga kenaikan harga daging sapi itu karena permintaan pasar yang meningkat seiring datangnya Ramadhan.

Sedangkan di sejumlah pasar tradisional Kabupaten Jember, harga daging sapi mengalami kenaikan sebesar Rp6.000 per kilogram dari Rp110.000 menjadi Rp116.000 per kilogram pada awal Ramadhan 1437 Hijriyah.

Kepala Bidang Perdagangan Disperindag dan ESDM Jember Agus Nur Abadi mengatakan harga daging sapi di pasaran Jember relatif stabil dibandingkan daerah lain karena stok daging sapi aman di Jember.

Meski demikian, ia berharap harga tersebut bisa turun saat menjelang Lebaran, sehingga tidak terlalu membenani masyarakat.(*)

Pewarta: A Malik Ibrahim

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016