Banyuwangi, (Antara Jatim) - Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur membentuk "Banyuwangi Children Center" (BCC) untuk menekan angka kekerasan terhadap anak, baik kekerasan fisik, seksual, maupun verbal.

Bupati Abdullah Azwar Anas saat peluncuran BCC di Banyuwangi, Jumat menjelaskan, satuan tugas tersebut bergerak secara terintegrasi sejak dari pengaduan hingga penanganan kasus kekerasan terhadap anak yang melibatkan tenaga daru lintas sektor, baik pemerintah daerah, aparat penegak hukum, tokoh masyarakat dan agama, hingga kalangan guru, siswa, dan petugas kesehatan.

"Kami siapkan 'call center' dan 'SMS center' di nomor 082139374444. Itu kanal khusus pengaduan terkait kekerasan terhadap anak. Laporkan jika ada kekerasan terhadap anak, baik di tetangganya, sekolah, atau di manapun. Untuk kasus kekerasan seksual dan fisik, WhatsApp-nya langsung dikoneksikan di grup yang di dalamnya ada saya, Kapolres, Kepala Kejaksaan, dan Kepala Pengadilan."

"Nomor tersebut disebar dengan brosur, spanduk, dan akan diumumkan di balai desa, sekolah, masjid, gereja, pura, dan sebagainya," ujar Anas.

Ia mengatakan kasus kekerasan terhadap anak yang terungkap di media massa belakangan ini harus menjadi perhatian serius. Data Komisi Nasional Perlindungan Anak menyebutkan dalam lima tahun terakhir terjadi 21,68 juta laporan kasus pelanggaran hak anak di seluruh Indonesia, di mana 58 persen di antaranya adalah kasus kekerasan seksual.

"Saya terus terang ngeri membaca berita di media belakangan ini. Karena itu, kami gerak cepat mengumpulkan semua agar ada perhatian serius terkait masalah kekerasan terhadap anak. Semua harus terlibat, termasuk seluruh kepala desa yang hari ini hadir melihat langsung urgensi dari penanganan khusus ini," ujar Anas.

Di Banyuwangi, menurut dia, berdasarkan data Kepolisian Resort dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), jumlah kasus kekerasan terhadap anak bergerak fluktuatif.

Pada 2013, terdapat 120 kasus, lalu turun menjadi 64 kasus pada 2014, namun pada 2015 meningkat menjadi 102 kasus. Sebanyak 67 persen dari kasus tersebut adalah kekerasan seksual. Adapun yang lainnya adalah kekerasan fisik dan sengketa hak asuh.

"Dari laporan 2015, lewat sinergi P2TP2A dan kepolisian telah dilakukan pendampingan, dan 26 kasus dalam proses penyelesaian, ada yang sedang disidangkan, ada juga yang diproses kepolisian. Ada juga yang berhasil diselesaikan secara kekeluargaan lewat konseling," paparnya.

Adapun hingga Maret 2016, terjadi 27 kasus kekerasan terhadap anak di Banyuwangi. "Kami berharap terus menurun. Dan yang lebih penting lagi adalah memastikan anak mendapat perlindungan, mendapatkan haknya," ucap Anas.

Dia menambahkan, selama ini kasus kekerasan terhadap anak cenderung didefinisikan hanya terkait kekerasan fisik dan seksual. Padahal, kekerasan terhadap anak juga bisa berbentuk kekerasan verbal, termasuk "verbal bullying" di sekolah.

"Misalnya, anak disebut sebagai anak bodoh saat guru marah. Itu tidak boleh. Memori anak bisa menyimpannya menjadi sesuatu yang intimidatif dan menyeramkan. Anak memang tidak berdarah ketika mengalami kekerasan verbal, tapi hatinya luka. Kekerasan verbal ini bisa memengaruhi rasa percaya diri anak, sehingga potensi anak tidak bisa keluar. Ini merugikan masa depannya," tutur dia.

Oleh karena itu, kata Anas, Banyuwangi Children Center juga melibatkan teman-teman di lingkungan sekolah, baik guru maupun siswa.

"Banyuwangi Children Center akan bergerak ke sekolah-sekolah untuk menekan bullying di sekolah, termasuk sosialisasi ke pengurus OSIS," ujarnya.

Sementara Asisten Pemerintahan Pemkab Banyuwangi Ustadi menambahkan proses pengaduan dari call center langsung masuk ke Pusat Perlindungan Anak terhadap Tindakan Kekerasan (Banyuwangi Children Center) dan P2TP2A dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Banyuwangi.

Untuk pengaduan yang masuk bukan dari Call Center, semisal  dari sekolah maupun desa/kelurahan, laporannya masuk ke Pusat Informasi dan Konseling (PIK) di kantor kKecamatan dan unit pelaksana teknis dinas (UPTD) pendidikan yang ada di masing-masing kecamatan. Dari sana, laporan dikelola oleh Banyuwangi Children Center dan P2TP2A.

Lalu langkah yang dilakukan ada dua. Pertama, penegakan hukum dengan melibatkan aparat penegak hukum. Kedua, layanan pendampingan, baik pendampingan kesehatan maupun kejiwaan dengan visum, penanganan kesehatan dan konsultansi psikologi.

"Akan dilihat jenis kasusnya. Apakah perlu ke penegak hukum atau ke pendampingan nonhukum," kata Ustadi.

Pemkab Banyuwangi juga telah menyiapkan ¿Rumah Aman¿ bagi anak yang menjadi korban. ¿Rumah Aman ini dirahasiakan alamatnya, demi ketenangan dan keamanan anak. Di sana mereka akan didampingi, baik untuk pemulihan psikis maupun fisiknya," imbuh Ustadi.

Pemkab Banyuwangi sendiri telah memiliki regulasi tentang perlindungan anak yang tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan dan Perdagangan Orang.

Dalam perda tersebut telah diatur bentuk dan mekanismu pelayanan terhadap korban, standar pelayanan minimal bagi kegiatan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan dan perdagangan orang, dan juga ketentuan pidana yang bisa dikenakan kepada pelaku.(*)

Pewarta: Masuki M. Astro

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016