Jember (Antara Jatim) - Peneliti senior Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember, Dr Surip Mawardi mengatakan ancaman krisis kopi di dunia akan terjadi karena sejumlah negara penghasil kopi mulai mengurangi produksi kopinya.
"Jika produksi kopi tidak ditingkatkan, maka bukan tidak mungkin akan terjadi krisis kopi dunia," kata Surip pada acara kuliah umum dan diskusi ilmiah bertema Prospek dan Kendala Pengembangan Kopi Untuk Kesejahteraan Masyarakat di Era Globalisasi yang digelar oleh Lembaga Penelitian (Lemlit) Universitas Jember, Jawa Timur, Selasa.
Menurutnya, laju pertumbuhan produksi kopi ternyata masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah konsumsi kopi masyarakat dunia karena budaya minum kopi di berbagai negara yang semakin meningkat akan menjadikan kopi sebagai komoditas perdagangan kedua yang menjanjikan, setelah minyak dan gas bumi.
"Dunia mulai khawatir karena Brasil sebagai produsen utama kopi hanya mengeluarkan 75 persen dari total produksinya, sisanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri," tuturnya.
Sedangkan di Afrika Timur yang dikenal juga sebagai negara penghasil kopi utama sedang mengalami masalah pengurangan lahan kopi besar-besaran, padahal kopi tidak mungkin ditanam di Eropa.
Saat ini, lanjut dia, masyarakat dunia mulai melihat Asia sebagai tempat untuk meningkatkan produksi kopi dunia dan Asia menjadi pilihan terakhir dalam upaya meningkatkan produksi kopi dunia.
"Negara yang paling berpeluang untuk meningkatkan produksi kopi adalah Indonesia karena memiliki kualitas tanah dan didukung iklim yang cocok dibandingkan negara lain," ucap staf ahli kopi Starbuck itu
Dari data tahun 2012 tercatat areal kopi di Indonesia mencapai 1,3 juta hektare dengan produktivitas sebanyak 0,75 ton per hektare dan nilai ekspor kopi Indonesia mencapai Rp1,53 miliar dolar Ameriksa Serikat.
"Kami mengharapkan agar peluang ini dapat diraih oleh Indonesia, sehingga dapat menjadi eksportir kopi utama dunia," ujarnya.
Surip mengatakan potensi kopi untuk dijadikan sebagai komoditas perdagangan memang tidak perlu diragukan lagi karena sejak 300 tahun lalu penjulan kopi di pasar internasional semakin membaik.
"Kopi masih menjadi komoditas utama untuk perdagangan. Sementara komoditas pala saat ini penjualannya tidak begitu bagus dan cengkih yang digunakan sebagai bahan baku rokok kretek juga semakin menurun seiring semakin ketatnya aturan mengenai industri rokok," katanya menambahkan.
Ia menjelaskan kopi bisa menjadi bagian penting dalam membangun kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat Jember yang memiliki perkebunan kopi yang sangat luas.
"Bisa kita istilahkan kopi sebagai pohon industri karena mulai dari hulu hingga hilir kopi sangat menjanjikan untuk diperdagangkan, belum lagi dari sektor retailnya," tuturnya.
Dari penelitian yang dilakukan Surip Mawardi, masyarakat Jember memiliki tingkat konsumsi kopi yang cukup besar dan rata-rata dalam setahun tingkat konsumsi kopi untuk perempuan mencapai 1,5 kilogram, sedangkan laki-laki mencapai 2 kilogram dalam setahun.
"Ini sangat luar biasa sekali karena untuk konsumsi kopi tingakt nasional saja belum mencapai 1 kilogram dalam setahun, sehingga sangat menarik sekali untuk dijadikan bisnis," ujarnya.
Sementara Ketua Lemlit Universitas Jember Prof A. Subagio mendukung upaya untuk menjadikan kopi sebagai salah satu produk unggulan Indonesia, khususnya Kabupaten Jember.
"Oleh karena itu, Universitas Jember bertekad menjadi salah satu pusat penelitian kopi, mulai dari hulu hingga hilir," tuturnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016