Jakarta (Antara) - Sejak 2015, Ujian Nasional (UN) tidak lagi menjadi syarat kelulusan namun lebih mengedepankan integritas, karena tujuan dari UN adalah untuk mengetahui capaian belajar siswa setelah tiga tahun belajar di jenjang pendidikan sekolah menengah.

Karena itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) berupaya mengubah pola pikir masyarakat mengenai ujian nasional. UN bukan lagi untuk lulus 100 persen, tetapi jujur 100 persen karena UN 2016 tidak menjadi syarat kelulusan seorang siswa.

Mendikbud Anies Baswedan menegaskan kelulusan 100 persen ditentukan oleh sekolah. "Yang dinilai adalah seluruh mata pelajaran termasuk perilaku siswa. Oleh sebab itu siswa jangan menjadikan UN sebagai beban," ujarnya.

Tetapi, lanjut Mendikbud, hasil UN dapat digunakan siswa untuk mendaftar pada jenjang pendidikan berikutnya. Dengan begitu, UN dapat memberikan perilaku positif kepada siswa dan guru. Siswa belajar bukan karena takut untuk menghadapi UN, tetapi belajar untuk mewujudkan keinginan memiliki nilai yang lebih tinggi.

"Karena nilai yang tinggi itu akan membantu mereka mendapatkan sekolah yang lebih baik, sehingga dapat menanamkan pola perilaku yang positif," ucap Mendikbud.

Mendikbud berharap dengan tidak dimasukkannya UN sebagai syarat kelulusan, ke depan dapat menanamkan perilaku siswa bahwa mengikuti UN itu adalah semangat untuk mendapatkan prestasi yang baik.

"Jangan lakukan kecurangan-kecurangan yang selama ini banyak dikabarkan. Tetapi lakukan dengan jujur, dan raihlah prestasi yang baik," pesan Mendikbud saat meninjau pelaksanaan Ujian Nasional 2016 yang berlangsung pada 4-6 April untuk jenjang SMA/MA, dan 4-7 April untuk jenjang SMK.

Jumlah siswa SMA yang mengikuti UN 2016 sebanyak 1.367.755 siswa, kemudian siswa MA sebanyak 376.468, dan SMK sebanyak 827.163 siswa.

    
               Berbasis Komputer

Selain melaksanakan UN berbasis kertas (paper based test), sejak tahun 2015 UN juga dilaksanakan dengan berbasis komputer (computer based test) bagi sekolah-sekolah terpilih atau yang sudah siap.

Pada 2016, Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) untuk tingkat SMA/sederajat diikuti sekitar 4.404 sekolah atau sekitar 920.000 siswa. Jumlah tersebut lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 554 sekolah.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa UNBK hanya diselenggarakan pada sekolah yang sudah siap, baik infrastruktur, sumber daya manusia (SDM), maupun peserta. Infrastruktur sejauh mungkin memanfaatkan laboratorium komputer di sekolah sehingga pihak sekolah dilarang membebani orang tua siswa.

Mendikbud Anies Baswedan mengatakan bagi sekolah-sekolah yang belum siap melaksanakan UNBK, belum boleh melaksanakannya.

Dia menjelaskan, setiap provinsi diwakilkan sekolah tertentu untuk menggelar UNBK, minimal satu sekolah di setiap provinsi ada yang sudah siap menyelenggarakan UNBK.

Terkait pengadaan komputer, Mendikbud meminta agar tidak disalahartikan. Komputer tersebut bukan untuk ujian, tetapi kebutuhan belajar mengajar. Komputer tersebut menjadi aset yang bisa digunakan untuk proses belajar dan mengajar siswa di sekolah.

"Jangan salah asumsi. Itu bukan belanja komputer untuk ujian, tetapi belanja komputer untuk belajar. Manfaat pembelajaran berbasis komputer ini tentu lebih banyak, terutama teknik ujian dan pembelajaran lebih banyak pilihan dan tidak kalah penting, ini teknik pembelajaran abad 21," ujar Anies.

Kepala Pusat Penelitian Pendidikan Kemdikbud Nizam menambahkan sekolah yang menyelenggarakan UNBK menggunakan peralatan komputer yang ada di sekolah tersebut. Sementara, sekolah yang peralatannya kurang, bisa memanfaatkan fasilitas lengkap yang tersedia di sekolah terdekat, terutama bagi sekolah yang memiliki fasilitas berlebih.

UNBK, lanjut dia, memiliki beberapa kelebihan yakni mencegah terjadinya kebocoran soal karena soal antara siswa satu dan lainnya berbeda sehingga mencegah terjadinya kecurangan.

Beberapa kendala yang mungkin terjadi dalam penyelenggarakan UNBK di antaranya ketersediaan listrik yang belum sepenuhnya merata. Untuk itu, Kemdikbud telah melakukan penandatanganan nota kesepahaman dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN) terkait ketersediaan listrik saat proses UN berlangsung.

Sedangkan mengenai UN yang berbasis kertas, Nizam menambahkan pihaknya menjamin semua soal sudah terdistribusi hingga ke kabupaten/kota dan hingga Jumat (2/4) belum ada laporan mengenai keterlambatan distruibusi soal-soal UN.

Untuk pengamanan soal, sebagian dinas pendidikan di daerah menyimpan soal-soal tersebut di percetakan terutama untuk daerah-daerah yang infrastrukturnya tidak ada masalah seperti Jakarta, Jabar, dan Jatim karena jangkauannya mudah.

Namun untuk daerah-daerah di pelosok, Kemdikbud tetap mengirimkan soal-soal UN itu lebih awal untuk memastikan tidak ada kendala dalam perjalanan. Pendistribusian soal-soal UN dilakukan dengan pengawalan ketat pihak kepolisian.

    
               Catatan Evaluasi

Secara umum pelaksanaan Ujian Nasional (UN) SMA berjalan cukup lancar, namun masih terdapat sejumlah catatan evaluasi yang diharapkan bisa menjadi koreksi di kemudian hari.

Forum Serikat Guru Indonesia (FSGI) misalnya, menerima sejumlah laporan terkait pelaksanaan UN 2016.

FSGI mencatat sedikitnya ada tiga permasalahan utama, salah satunya adalah tidak adanya naskah soal UN Braille bagi penyandang tunanetra yang terjadi Mataram, Jakarta, Karanganyar, Sidoarjo dan Makassar.

Tim Pemantau UN FSGI mengakui soal UN Braille memang cukup mahal dan harganya diperkirakan mencapai Rp500.000 per soal namun seharusnya harga tidak menjadi halangan bagi pemerintah untuk mengadakan naskah soal Braille.

Ketika pengawas ujian membacakan satu per satu soal memang tidak ada masalah, namun jika soal terkait dengan gambar, simbol dan grafik, pengawas tidak bisa menjelaskannya sehingga peserta tunanetra dipaksa berimajinasi.

Sekjen FSGI Retno Listyarti menambahkan ada juga masalah teknis yang dihadapi, seperti listrik sekolah yang padam di sejumlah sekolah di Tasikmalaya (Jawa Barat) dan Kupang (NTT), serta server yang tidak bisa terkoneksi ke server pusat di salah satu sekolah Kerawang hingga 3 jam, sehingga peserta UNBK sempat panik lantaran terlalu lama menunggu.

Laporan-laporan tersebut berasal dari sejumlah daerah antara lain Tasikmalaya, Kupang, Karawang, Medan, Mataram, Karanganyar, Sidoardjo, Makassar dan Jakarta.

Sementara itu, Mendikbud Anies Baswedan juga menyebut pelaksanaan UN 2016 berjalan lancar dan terdapat penurunan yang signifikan dalam angka laporan kecurangan dalam UN.

Terkait jumlah laporan masalah tahun 2014,2015 dan 2016, jumlah pengaduan masalah UN 2016 mengalami penurunan drastis jika dibanding dengan tahun lalu, dengan angka penurunan sekitar 50 persen.

Kemendikbud menyediakan beberapa posko UN 2016. Posko UN terdiri dari lima satuan kerja, yakni Biro komunikasi dan layanan masyarakat (BKLM), Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Inspektorat Jenderal Kemendikbud (Itjen), Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud (SetBalitbang), Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik).

Jumlah laporan pada tahun 2013 berjumlah 622 pelapor, tahun 2014 berjumlah 587 pelapor, 2015 jumlah pelapor 365, dan pada 2016 pelapor sebanyak 184 pelapor.

"Kami berharap masalah-masalah yang muncul tahun ini kita bereskan supaya tidak berulang tahun depan," ujar Mendikbud saat menyampaikan evaluasi pelaksanaan UN 2016. (*)

Pewarta: Arief Mujayatno

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016