Ini bukan ramalan paranormal atau dukun, tapi pernyataan seorang ekonom senior Indonesia dengan data dan syarat yang terbuka untuk diuji kebenarannya.

"Tujuan nasional untuk mencapai Indonesia Raya Sejahtera berdasar Pancasila baru bisa mewujud 2045, ketika Republik inigenap berusia 100 tahun, jika ekonomi terus tumbuh 7 persen  per tahun," kata Prof Dr Subroto dalam orasi ilmiahnya di depan ratusan purnawirawan TNI/ABRI dan tokoh di Jakarta, 18 Januari 2016.

Tahun 2016 disebut Pak Broto, demikian ia biasa dipanggil, sebagai tahun mawas diri bagi bangsa Indonesia. Tujuan mawas diri itu adalah untuk mengetahui dimana kita sekarang, setelah 71 tahun merdeka, dan mau kemana.

Prof Dr Subroto adalah ekonom senior, mantan Menteri Nakertans (Tenaga Kerja dan Transmigrasi) dan Mentamben (Menteri Pertambangan) dan Sekjen OPEC (Organisasi Negara-negara Pengeksor Minyak)  zaman Orba di bawah pimpinan Presiden Soeharto.

Pak Broto bisa disebut sesepuh yang patut diteladani. Usianya sudah lewat 90 tahun, tapi semangat dan komitmenya untuk bangsa Indonesia tetap tinggi. Kesehatannya nampak cukup terjaga. Beliau mampu menyampaikan pidato selama 45 menit dengan tetap berdiri di depan podium, walaupun disediakan kursi.

Pidato itu tampak memukau para purnawirawan TNI/ABRI dan sejumlah tokoh multi lintas: agama, usia, jender, profesi dan ideologi/partai politik, yang bergabung dalam GPP (Gerakan Pemantapan Pancasila) di Gedung Granadi, Jakarta. GPP yang dipimpin oleh Jenderal (Purn) Sutrisno, mantan Panglima ABRI dan Wapres RI,
menyelenggarakan orasi itu untuk menyambut tahun baru 2016.

Prof Subroto memperkenalkan "Hukum 70" atau "The Law of Seventy". Usia Republik Indonesia yang tahun 2015 genap 70 tahun dipakai sebagai tolakukur. Suatu bangsa dengan "income" atau pendapatan per kapita setahun di bawah 5.000 dolarAS tergolong bangsa miskin,  antara 5.000 dolar AS sampai 15.000 dolar

AS masuk kelas bangsa menengah, di atas 15.000 dolar AS disebut bangsa maju, jelasnya. Jika ekonomi Indonesia dapat terus tumbuh 7 persen per tahun,  pada 2026  "income per capita" (pendapatan per kapita) akan dua kali sekarang, 3.500 dolar AS, atau 7.000 dolar AS.

Demikian seterusnya, dua kali lipat setiap 10 tahun. Posisi kita sekarang masih tergolong bangsa miskin. Sementara, "income per capita" Singapura telah mencapai 54.000 dolar AS, Malaysia 9.800 dolar AS, Thailand 6.300 dolar AS. Kita hanya sedikit di atas Filipina, 3.150 dolar AS, dan Vietnam 2.550 dolar AS. Padahal, tahun 1945 kondisi mereka sama dengan kita. Kini, jumlah penganggur di Indonesia masih 7,45 juta dan orang miskin 28, 6 juta jiwa.

Lalu apa yang salah dengan Indonesia? Tersedia banyak jawaban: sistem demokrasi dan ekonomi liberal kapitalis/neo liberal, strategi pembangunan yang kurang tepat dan korupsi yang marak. Paling mencolok di Indonesia kini, menurut Pak Broto, adalah 1 persen penduduk kaya menguasai 50,3 persen kekayaan nasional.

Sebelumnya, 10 persen penduduk menguasai 77 persen kekayaan nasional.  Tahun 1920,  10 persen penduduk kaya menguasai 15 persen kekayaan nasional. Ketimpangan (inequality) ini dilihat Pak Broto sebagai ancaman bagi eksistensi NKRI yang Bhinneka Tunggal Ika.

Singkatnya, Republik Indonesia terancam bubar. Sumpah Pemuda 1928 tidak berlaku lagi, anak-anak bangsa akan pulang kembali ke kandang (daerah) masing-masing.

Karena itu, GPP menyerukan kaji ulang UUD 1945, karena amendemen terakhir tahun 2002 dinilai telah menyimpang dari ruh UUD 45. "Ini merupakan pelaksanaan Revolusi Mental", pungkas Subroto. (*)
----------------   
*) Penulis adalah wartawan senior, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA (1998-2000) dan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010.

Pewarta: Oleh Parni Hadi *)

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016