Bondowoso (Antara Jatim) - Kalau bukan berbekal keyakinan dan optimisme, Frans Soebijakto tidak akan pernah merasakan manisnya menggeluti dunia kerajinan dari barang bekas seperti saat ini.

Ada dua alasan sebetulnya, kalau Frans mau pessimis dengan usahanya itu di Kabupaten Bondowoso. Pertama, Bondowoso, Jawa Timur, tempatnya berkarya bukan daerah berbasis seni. Dengan alasan ini, timbul pertanyaan siapa yang mau membeli kerajinan buatannya.

Kedua, Bondowoso adalah kabupaten kecil dengan daya beli masyarakat yang jauh berbeda dengan masyarakat di kota besar. Masyarakat di daerah cenderung lebih mengedepankan keperluan primer lebih dulu ketimbang membeli barang seni.

Namun, Frans, ayah tiga anak ini, nekat karena di dalam dirinya memang mengalir jiwa seni. Lelaki yang besar di Kabupaten Jember ini pernah menggeluti usaha pembuatan taman yang melayani perkantoran di wilayah bekas Keresidenan Besuki, bahkan hingga ke Bali. Usahanya sempat sempat besar namun kemudian kolaps karena ditipu rekan bisnisnya.

"Ketika itu saya memutuskan pindah ke Bondowoso dan membuat kerajinan kulit telor yang ditempelkan pada vas bunga. Saya memunguti kulit telor di alun-alun dari orang yang berjualan martabak. Saya tunggui tiap malam," kata lelaki yang juga hobi memasak ini.

Si penjual martabak mengaku senang limbah jualannya ada yang membersihkan. Namun seringkali Frans, kalah sama anjing atau kucing jika malam harinya tidak sempat mengambil kulit telor itu. Pagi harinya, kulit-kulit itu sudah diacak-acak oleh anjing atau kucing.

Mesikpun tidak langsung laku, Frans terus berkarya. Barang-barang yang ia produksi cukup beragam, mulai dari vas bunga, pigura, tempat air minuman air mineral gelas, replika hewan dari bonggol bambu, tas dari enceng gondok, tas dari bekas minuman, replika sepatu dari paralon bekas, kap lampu, orang-orangan dari pelepah pisang dan lainnya.

Semuanya dijual mulai dari Rp8.000 per unit hingga ratusan ribu rupiah.

Selain itu, ia tidak pernah membuang waktu dengan terus menggali ide untuk desain produknya sehingga memiliki "cadangan" desain. Hingga kini, ia telah menciptakan sekitar 1.000 desain yang catatannya sudah tersimpan dalam tujuh buku. Semuanya ditulis dengan coretan tangan karena ia tergolong desainer yang gagap teknologi ini.

Perjuangannya kini membuahkan hasil. Hasil karyanya yang dibuat dengan dibantu hanya satu pekerja sudah merambah ke basis seniman, seperti Yogyakarta, Bandung, bahkan hingga ke Batam. Barang kerajinan karyanya sempat merambah Bali, namun sejak terjadinya bom Bali tahun 2002, ia tidak lagi mengirim ke Pulau Dewata itu.

Lulusan sebuah perguruan tinggi ekonomi di Jember ini menjelaskan untuk pengiriman ke Yogyakarta, Batam dan Bandung dilakukan rutin setiap bulan. Untuk ke Yogyakarta nilainya sampai Rp17 juta setiap bulan dengan pengiriman dua kali, Batam hanya sekitar Rp8 juta dan Bandung sekitar Rp15 juta.

Sementara untuk permintaan lokal, ternyata tidak kalah dibandingkan dengan di luar. Bahkan nilainya untuk pembeli Bondowoso dan sekitarnya bisa sampai Rp40 juta setiap bulan, khususnya ke Jember.

"Cuma mereka yang membeli barang saya ini umumnya dijual lagi, termasuk yang Yogyakarta, Batam dan Bandung," katanya.

Bahkan, secara perorangan, hasil kerajinan pemilik Galeri Flodista Bondowoso ini juga merambah Australia, Turki, Jepang, Prancis, Belanda dan Singapura.

"Umumnya itu dibeli oleh turis. Cuma untuk turis ini ada kendala di biaya pengiriman karena ongkos di bagasi pesawat sangat mahal. Itu yang membuat turis mikir-mikir untuk membali barang saya dalam jumlah banyak," katanya.

Salah satu kunci bertahannya usaha Frans adalah sikap konsitennya menjaga mutu. Karena itu ia berusaha untuk membuat desain yang orisinal dengan tidak terpengaruh oleh desain orang lain.

"Kita tahu bahwa Yogayakarta itu gudangnya seniman, termasuk di bidang kerajinan. Untuk bisa masuk ke pasar sana, maka mutunya harus betul-betul dijaga," kata Frans Soebijakto.

Menurut dia, untuk bisa masuk ke pasar Yogyakarta, salah satu syaratnya adalah menjaga keaslian desain. Karena itulah dia berusaha menghindari peniruan dari desain lain, baik lewat penglihatan langsung maupun lewat internet.

"Saya betul-betul menjaga keaslian itu. Makanya saya selalu punya stok desain yang saya garap sendiri dengan inspirasi dari berbagai kejadian, seperti melihat aktivitas orang di jalan atau melihat televisi. Kalau melihat televisi, saya tidak fokus ke acaranya, tapi bagaimana menemukan ide untuk desain," katanya.

Salah satu karyanya yang banyak diminati pelanggan adalah kerajinan dari bahan dasar kulit kayu manis. Kalau biasanya kayu manis digunakan untuk membuat minuman, di tangan Frans justru menjadi barang kerajinan.

Kulit kayu manis yang biasanya digunakan untuk bahan minuman dan masakan khas Arab atau India itu dibuat untuk tempat minuman gelas, kap lampu, tempat pensil, tempat sendok atau garpu dan lainnya.

Ia mengemukakan bahwa kelebihan produknya dari kulit kayu manis ini adalah pada unsur baunya. Apalagi, bau kayu manis ini juga memiliki efek terapis atau yang dikenal dengan aroma terapi.

"Baunya ini tidak akan hilang karena ini kayu manis asli. Kalau kipas dari kayu cendana itu kan banyak yang tidak asli sehingga beberapa bulan saja baunya sudah hilang. Kalau produk saya ini, untuk memunculkan baunya kalau sudah lama, tinggal diampelas sedikt saja sudah muncul lagi," katanya.

Aktivis lingkungan di Bondowoso Slamet Riyadi mengapresisasi apa yang dilakukan oleh Frans. Selain mendukung pengembangan daerah di aspek wisata, usaha Frans juga memiliki nilai penyelamatan lingkungan.

"Kebetulan kami sama-sama bergerak di bidang wisata juga, sehingga kami tidak kesulitan jika ada turis bertanya tentang suvenir dari Bondowoso. Apalagi para turis itu sangat menghargai produk yang memiliki nilai pelestarian lingkungan," kata Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Bondowoso ini.

Selain itu, kata dia, usaha Frans telah mematahkan mitos tentang dunia usaha dan pasar. Frans ternyata berhasil membuat produk dari daerah kecil dan kemudian produknya laku, meskipun tidak harus untuk melayani pasar di Bondowoso.

"Cuma sayangnya komponen insan pariwisata di Bondowoso ini belum terjalin kerja sama yang bagus untuk saling mendukung antara usaha yang satu dengan lainnya. Sementara Pak Frans ini sangat mengerti dengan teman-teman pemandu wisata," katanya. (*)

Pewarta: Masuki M. Astro

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016