Surabaya (Antara Jatim) - Warga yang tergabung dalam Gerakan Pejuang Hapus Surat Ijo (hijau) Surabaya (GPHSIS) mengaku keberatan pelepasan lahan yang berstatus Surat Ijo karena harus membayar kompensasi harga tanah sesuai nilai jual obyek pajak (NJOP).
Warga Kalidami Kelurahan Mojo, Kecamatan Gubeng Subakri, di Surabaya, Jumat, mengatakan semula dirinya senang akan mendapatkan hak milik tanah yang ditempati puluhan tahun tersebut karena Pemkot Surabaya mau melepaskan.
"Tapi sayang harga yang dipatok pemkot sangat mahal. Padahal, kebanyakan yang tinggal di tanah surat ijo adalah mereka tak mampu," katanya.
Selain harga tanah sesuai dengan NJOP, lanjut dia, warga juga hanya diberi kelonggaran mengangsur hingga tiga tahun. Tentu saja, warga tak sanggup untuk bisa mendapatkan tanah tersebut sebagai hak milik.
"Setelah saya hitung-hitung, untuk mendapatkan tanah surat ijo ini, biayanya cukup besar. Saya harus mengangsur Rp8 juta per bulan selama 3 tahun. Uang dari mana uang sebanyak itu?" katanya.
Dengan melihat kondisi warga yang ada, ia berharap Pemkot Surabaya memberikan kemudahan. Artinya, mereka yang tidak punya diberi kelonggaran untuk mendapatkan tanah surat ijo, terutama soal harga tanah yang murah dan terjangkau.
"Kami sudah lama tinggal di tanah surat ijo dan setiap tahun harus membayar sewa kepada pemkot dan PBB. Seharusnya pemkot memperhatikan nasib warga, agar diberi kemudahan dan harga yang murah untuk bisa mendapatkan tanah surat ijo," katanya Subakri, Ketua RT 05/ RW 09, Kelurahan Mojo, Kecamatan Gubeng.
Ketua GPHSIS Bambang Sudibyo mengatakan pihaknya menolak langkah pemkot yang menjual tanah ijo ke warga tinggal di sana. Untuk itu, pihaknya sudah membawa persoalan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Bambang Sudibyo mengatakan Pemkot Surabaya tidak bisa mengakui surat tanah ijo sebagai miliknya dan kini mau dijual ke masyarakat lewat Perda Pelepasan Tanah Surat Ijo Nomor 6 Tahun 20I4. Hal ini dikarenakan hingga kini pemkot tidak mengantongi surat kepemilikan atas tanah surat ijo yang mencapai 8.319.081,62 meter persegi.
"Perda dimana pemkot bisa menjual surat ijo jelas-jelas bertentangan dengan PP Nomor 38 Tahun 2008. Yang namanya aset daerah, maka pemda lewat APBD melakukan pembelian terhadap obyek tertentu. Sedangkan surat ijo, pemkot membelinya? Kan tidak. Jadi jelas apa yang dilakukan pemkot ini melanggar aturan yang ada di atasnya," katanya.
Seharusnya jika pemkot memiliki itikad baik, lanjut dia, maka warga cukup mengganti tanah tersebut sebatas kemampuannya atau istilahnya partisipasi pembangunan. Mereka yang kaya hingga yang miskin bisa mendapatkan tanah tersebut sesuai dengan kemampuannya.
Kepala Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah (DPBT) Maria Theresia Ekawati Rahayu menjelaskan, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 17 penjualan aset pemerintah minimal sesuai dengan NJOP. Maka, pelepasan dibawah NJOP melanggar aturan.
"Tidak bisa di bawah NJOP, sampai sekarang belum ada regulasi yang memperbolehkan melepas aset tanpa mengganti 100 persen sesuai NJOP. Namun perihal usulan bahwa durasi pelunasan yang mungkin bisa lebih dari 3 tahun, bisa kita bicarakan kembali" ujarnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016
Warga Kalidami Kelurahan Mojo, Kecamatan Gubeng Subakri, di Surabaya, Jumat, mengatakan semula dirinya senang akan mendapatkan hak milik tanah yang ditempati puluhan tahun tersebut karena Pemkot Surabaya mau melepaskan.
"Tapi sayang harga yang dipatok pemkot sangat mahal. Padahal, kebanyakan yang tinggal di tanah surat ijo adalah mereka tak mampu," katanya.
Selain harga tanah sesuai dengan NJOP, lanjut dia, warga juga hanya diberi kelonggaran mengangsur hingga tiga tahun. Tentu saja, warga tak sanggup untuk bisa mendapatkan tanah tersebut sebagai hak milik.
"Setelah saya hitung-hitung, untuk mendapatkan tanah surat ijo ini, biayanya cukup besar. Saya harus mengangsur Rp8 juta per bulan selama 3 tahun. Uang dari mana uang sebanyak itu?" katanya.
Dengan melihat kondisi warga yang ada, ia berharap Pemkot Surabaya memberikan kemudahan. Artinya, mereka yang tidak punya diberi kelonggaran untuk mendapatkan tanah surat ijo, terutama soal harga tanah yang murah dan terjangkau.
"Kami sudah lama tinggal di tanah surat ijo dan setiap tahun harus membayar sewa kepada pemkot dan PBB. Seharusnya pemkot memperhatikan nasib warga, agar diberi kemudahan dan harga yang murah untuk bisa mendapatkan tanah surat ijo," katanya Subakri, Ketua RT 05/ RW 09, Kelurahan Mojo, Kecamatan Gubeng.
Ketua GPHSIS Bambang Sudibyo mengatakan pihaknya menolak langkah pemkot yang menjual tanah ijo ke warga tinggal di sana. Untuk itu, pihaknya sudah membawa persoalan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Bambang Sudibyo mengatakan Pemkot Surabaya tidak bisa mengakui surat tanah ijo sebagai miliknya dan kini mau dijual ke masyarakat lewat Perda Pelepasan Tanah Surat Ijo Nomor 6 Tahun 20I4. Hal ini dikarenakan hingga kini pemkot tidak mengantongi surat kepemilikan atas tanah surat ijo yang mencapai 8.319.081,62 meter persegi.
"Perda dimana pemkot bisa menjual surat ijo jelas-jelas bertentangan dengan PP Nomor 38 Tahun 2008. Yang namanya aset daerah, maka pemda lewat APBD melakukan pembelian terhadap obyek tertentu. Sedangkan surat ijo, pemkot membelinya? Kan tidak. Jadi jelas apa yang dilakukan pemkot ini melanggar aturan yang ada di atasnya," katanya.
Seharusnya jika pemkot memiliki itikad baik, lanjut dia, maka warga cukup mengganti tanah tersebut sebatas kemampuannya atau istilahnya partisipasi pembangunan. Mereka yang kaya hingga yang miskin bisa mendapatkan tanah tersebut sesuai dengan kemampuannya.
Kepala Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah (DPBT) Maria Theresia Ekawati Rahayu menjelaskan, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 17 penjualan aset pemerintah minimal sesuai dengan NJOP. Maka, pelepasan dibawah NJOP melanggar aturan.
"Tidak bisa di bawah NJOP, sampai sekarang belum ada regulasi yang memperbolehkan melepas aset tanpa mengganti 100 persen sesuai NJOP. Namun perihal usulan bahwa durasi pelunasan yang mungkin bisa lebih dari 3 tahun, bisa kita bicarakan kembali" ujarnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016