Surabaya (Antara Jatim) - Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya membongkar bangunan rumah yang selama ini menjadi penghalang pembangunan jalur "Frontage Road' (FR) sisi barat di Jalan Ahmad Yani Surbaya, Selasa.
    
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Bina Marga Pematusan (PU BMP) Kota Surabaya, Erna Purnawati mengatakan proses eksekusi itu sudah melalui putusan pengadilan.
    
"Kami sudah melakukan negoisasai dari Polsek, Polres, dari Pengadilan Negeri berkali-kali. Tetapi pak Sahlan (pemilik bangunan) tidak mau. Jadi ini jalan terakhir yang kami lakukan. Karena ini untuk kepentingan umum,” ujar Erna.
    
Menurut dia, bangunan rumah di Jalan Ahmad Yani nomor 72 A milik Sahlan ini cukup rumit pembebasannya. Setelah melakukan berbagai cara persuasif dan konsultasi ke berbagai pihak, Pemerintah Kota (Pemkot) mengosongkan dan membongkar bangunan yang ditempati keluarga Sahlan tersebut.
    
Proses pengosongan dan pembongkaran bangunan yang dimulai sekitar pukul 08.30 WIB tersebut dipimpin langsung oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Sementara Pemkot ditugasi pengamanan.

 Untuk pengamanan melibatkan sekitar 500 personel gabungan yang berasal dari Polrestabes Surabaya, Polsek Gayungan, Koramil, Gartap, Satpol PP, Satgas Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Pematusan, Bakesbang Linmas, Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP), Dinas Perhubungan dan Dinas Kesehatan.
    
Seusai apel, petugas mengangkuti barang-barang milik Sahlan dan keluarganya. Selesai pengosongan, bangunan rumah tersebut lantas dirobohkan dengan menggunakan alat berat. Ketika bangunan telah rata dengan tanah, personel DKP Surabaya lantas memotong pohon. Jalur FR yang sebelumnya terputus, kini bisa tersambung.
    
Erna menjelaskan untuk tanah yang berada di bawah bangunan yang dihuni Sahlan, hanya terkena bangunannya saja. Ini karena sertifikatnya bukan atas nama Sahlan. Tanahnya masuk sertifikat atas nama Pusvetma dalam hal ini Kementrian Pertanian.
    
Sementara Kementrian Pertanian menyatakan tanah tersebut sudah dihibahkan ke Pemkot. Karenanya, Pemkot hanya mengganti nilai bangunan yang sesuai hitungan appraisal.
    
"Jadi kita tidak bisa mengganti tanah yang diakui pak Sahlan. Kami sudah ganti rugi untuk bangunan. Nilai hasil bangunan itu bukan kita yang menentukan, ada appraisal khusus. Bangunan kita ganti rugi sesuai appraisal senilai Rp58 juta. Tapi beliaunya tidak menerima ganti rugi yang kami berikan. Kami titipkan ke pengadilan," ujar Erna.
    
Bahkan, sambung Erna, pihaknya telah menawarkan kepada Sahlan untuk tinggal di Ruman Susun Sewa (Rusunawa). Namun, kata Erna, Sahlan tidak mau karena diharuskan membayar sewa Rusun.
    
"Saya yang antar sendiri ke Rusunawa. Tapi beliaunya tidak mau. Padahal Rusunnya Pemkot sangat murah, masih di bawah Rp100 ribu. Itu memang wajib bayar, karena untuk operasional. Jadi nggak bisa kalau nggak bayar," jelas Erna.
    
Selesai pengosongan dan pembongkaran bangunan tersebut, Pemkot kini bisa fokus untuk menyelesaikan FR sisi Barat. Menurut Erna, untuk FR, selama ini hanya ada satu persil perseorangan yakni yang ditempati Sahlan. Kini, persil perseorangan itu sudah bisa diselesaikan.
    
"Harus segera nyambung. Setelah ini kita adakan pengadaan urukan terus kita aspal sendiri. Untuk yang di depan Polda, tahap proses," ujar Erna.
    
Sementara itu, Kepala Satpol PP Kota Surabaya, Irvan Widyanto menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan Pemkot dan personel gabungan tersebut bukan penggusuran, melainkan pengosongan lahan.
    
Irvan menyebut, Sahlan tidak memiliki alas hak karena tidak punya petok D juga sertifikat tanah. "Sehingga nilai ganti rugi appraisal bangunan, tidak menyangkut hak tanah," ujarnya.
    
Menurut Irvan proses negosiasi yang dilakukan sebelum melakukan pengosogan lahan tersebut cukup panjang. Sekitar enam bulan. "Intinya kami sudah melakukan pendekatan persuasif, memberikan pengertian. Jadi ini upaya terakhir," ujarnya. (*)

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016