Lumajang (Antara Jatim) - Sudah tiga bulan lebih tragedi pasir "berdarah" yang menyebabkan aktivis antitambang meninggal dunia di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, berlalu.

Pemberitaan di sejumlah media dan perhatian "netizen" di sejumlah media sosial terkait dengan kasus Salim Kancil saat ini juga sudah mulai berkurang.

Namun, tidak bagi keluarga korban dan masyarakat Desa Selok Awar-Awar yang masih membekas ingatan tragedi berdarah yang menyebabkan aktivis antitambang Salim Kancil meregang nyawa, akibat penyiksaan yang tidak manusiawi dan aktivis lainnya Tosan mengalami luka-luka hingga dilarikan ke Rumah Sakit Saiful Anwar Malang.

Sekadar mengingatkan, dua petani yang menolak pertambangan pasir mengandung biji besi di Pantai Watu Pecak yakni Salim Kancil (52) dan Tosan (51) menjadi korban kekerasan oleh preman bayaran yang disuruh oleh pelaku penambangan pada 26 September 2015.

Salim Kancil dianiaya secara tidak manusiawi di Balai Desa Selok Awar-Awar hingga tewas, sedangkan Tosan juga mengalami tindakan kekerasan hingga kondisinya luka parah.

"Warga Desa Selok Awar-Awar masih trauma, meskipun kondisi di desa setempat sudah kondusif dan warga sudah beraktivitas seperti biasanya," kata Tim Advokasi yang mendampingi keluarga korban, A'ak Abdullah Al-Kudus di Lumajang.

Sepekan yang lalu, lanjut dia, warga Desa Selok Awar-Awar sempat mengejar sebuah truk yang mengangkut pasir dari desa tetangga, namun truk tersebut melintas di Desa Selok Awar-Awar.

"Kejadian itu membuktikan bahwa masyarakat masih trauma dan berharap semua pihak, termasuk Pemerintah Kabupaten Lumajang untuk menjaga kondusifitas desa setempat dengan tidak mengizinkan truk bermuatan pasir melintas di Desa Selok Awar-Awar," tuturnya.

Kejadian tersebut juga menggerakkan sejumlah elemen masyarakat untuk melakukan investigasi di lapangan terkait dengan pembunuhan Salim Kancil dan penganiayaan Tosan di antaranya Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim, LBH Disabilitas, Komnas HAM, dan berbagai elemen yang peduli terhadap aktivis antitambang.

A'ak berharap kasus Salim Kancil memberikan pelajaran yang berharga bagi semua pihak, agar pemerintah tidak gegabah dalam memberikan izin pertambangan demi pundi-pundi rupiah dan melihat jauh ke depan bahwa ancaman kerusakan lingkungan akibat tambang sudah di depan mata.

"Kasus tambang jangan hanya dilihat pertambangan liar dan resmi, namun harus dipikirkan jauh ke depan terkait dengan dampak lingkungan dan potensi bencana yang akan mengancam keselamatan warga di sekitar lokasi tambang," ucap aktivis Laskar Hijau itu.

Terbunuhnya Salim Kancil ternyata semakin menguatkan semangat warga Desa Selok Awar-Awar untuk memerangi pertambangan yang dapat merusak lingkungan dan menyatakan kesiapannya untuk melanjutkan perjuangan Salim Kancil.

Keinginan warga di Desa Selok Awar-Awar sebenarnya cukup sederhana, yakni mereka ingin memanfaatkan potensi sumber daya alam dengan menggarap lahan pertanian untuk kelangsungan hidup mereka sehari-hari.

"Melihat dampak yang cukup serius akibat penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar itu, kami merasa tergerak untuk membentuk forum sebagai kekuatan melawan penambangan yang dikelola oleh kepala desa setempat yang kini ditetapkan sebagai tersangka," tutur Koordinator Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar, Hamid.

Bersama warga, lanjut dia, forum terus bergerak menyuarakan penolakan tambang karena warga desa hanya ingin bertahan hidup tanpa terusik dengan aktivitas penambangan pasir yang merusak lingkungan itu.

"Setelah meninggalnya Salim Kancil, warga sudah bertekad bulat untuk melanjutkan perjuangannya menolak tambang pasir di Desa Selok Awar-Awar karena jalan itu yang akan membuka pada kesejahteraan warga setempat di sektor pertanian," tukasnya.
 
Pertambangan Ditutup
Pascakasus Salim Kancil, Pemerintah Kabupaten Lumajang menutup seluruh tambang, baik yang resmi maupun ilegal untuk melakukan evaluasi pascatragedi berdarah yang menewaskan aktivis antitambang di Desa Selok Awar-Awar tersebut.

Bupati Lumajang As'at Malik langsung menginstruksikan penutupan tambang pasir di tujuh kecamatan di pesisir selatan kabupaten setempat yang meliputi Kecamatan Yosowilangun, Kunir, Tempeh, Pasirian, Candipuro, Pronojiwo dan Tempursari.

"Keputusan penutupan tambang pasir tidak berlaku di keseluruhan wilayah pertambangan karena yang ditutup adalah penambangan pasir di wilayah pesisir selatan Lumajang," kata As'at.

Di wilayah pesisir selatan Lumajang tersebut ada yang telah melakukan aktivitas penambangan pasir dan ada yang berhenti, serta gagal beraktivitas karena mendapat penolakan warga.

"Soal penambangan pasir yang berada di daerah aliran sungai (DAS) Semeru masih diizinkan dan akan terus ditata karena pasir galian C di DAS Semeru harus terus dikeruk agar tidak terjadi pendangkalan," tuturnya.

Terkait lahan tambang pesisir yang masuk wilayah konsesi PT IMMS sesuai hasil investigasi dari Walhi, Bupati As'at menyatakan bahwa perusahaan tambang tersebut tidak lagi beroperasi karena PT IMMS saat ini masih dalam proses hukum.

"Saat ini yang menambang adalah kelompok warga, sehingga terjadi keributan karena ada warga yang mendukung tambang, namun ada juga yang menolak tambang," tambahnya.

Bupati Lumajang meminta agar seluruh Kepala Desa yang hadir bersama BPD (Badan Permusyawaratan Desa) yang wilayahnya terdapat penambangan pasir untuk segera menghentikan kegiatan penambangan yang ilegal.

Ia juga meminta aparat kepolisian untuk menindak tegas dengan menertibkan penambang pasir yang masih membandel dan tetap beroperasi untuk menambang pasir di pesisir selatan Lumajang itu.

Ketua DPRD Lumajang, Agus Yuda Wicaksono mengatakan tragedi yang menimpa dua aktivis antitambang itu menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi Kabupaten Lumajang.

"Dulu saat almarhum Bupati Sjahrazad Masdar, kami sempat membentuk panitia khusus (Pansus) terkait dengan penambangan pasir karena banyak pengaduan dari masyarakat yang menolak aktivitas penambangan liar itu," ungkapnya.

Rekomendasi penutupan penambangan pasir di pesisir selatan Lumajang itu tertuang dalam surat Pansus Nomor 12 Tahun 2014 karena penambagan tersebut ilegal dan tidak memiliki izin, serta berdampak pada kerusakan lingkungan.

"Pansus turun ke lapangan untuk melihat dampak kerusakan akibat penambangan dan memang benar terjadi kerusakan lingkungan yang meresahkan warga setempat," ucapnya.

Menurutnya, lokasi penambangan yang tidak dikelola oleh PT IMMS akhirnya dijadikan penambangan liar oleh pihak-pihak tertentu, bahkan penambangan itu mengatasnamakan warga yang menyebabkan pihak Pemkab Lumajang kesulitan untuk menertibkan.

"Akhirnya meletus peristwa Salim Kancil yang menghentakkan semua pihak, termasuk anggota dewan. Sebenarnya persoalan tambang sudah lama terjadi di Lumajang," katanya.

Seluruh pertambangan pasir di pesisir selatan Kabupaten Lumajang sudah ditutup oleh pemerintah setempat, dan berharap tidak ada lagi penambangan liar yang dapat memicu konflik antarwarga.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur  Ony Mahardika mendesak pemerintah provinsi setempat untuk menutup penambangan pasir di Kabupaten Lumajang dan seluruh kabupaten/kota di Jatim.

"Penambangan pasir di pesisir pantai selatan Lumajang sudah merusak lingkungan, dan wilayah selatan seharusnya tidak dijadikan kawasan tambang," imbuhnya.

Informasi yang dihimpun di lapangan, penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar yang dikelola kepala desa setempat merupakan penambangan liar atau ilegal.

"Izin penambangan saat ini berada di wilayah Pemprov Jatim, sehingga kami mendesak Pemprov Jatim dan Pemkab Lumajang menutup penambangan pasir karena aktivitas penambangan menjadi pemicu bencana alam," tuturnya.

Kawasan penambangan di Desa Selok Awar-Awar sudah berdampak buruk bagi warga sekitar karena kawasan tersebut merupakan daerah yang berpotensi rawan bencana dan sebagai lahan perikanan, serta pertanian bagi warga setempat.

"Hampir semua kawasan pesisir pantai selatan dari Pacitan hingga Banyuwangi dilakukan penambangan bahan galian C, padahal kawasan itu seharusnya dijaga kelestarian lingkungan dan tidak dieksploitasi penambangan pasir besi," paparnya.

Kasus terbunuhnya Salim Kancil itu, lanjut dia, memiliki dua korelasi yakni adanya penambangan liar dan penolakan warga terhadap aktivitas tambang, sehingga pemerintah harus bergerak cepat untuk mengantisipasi hal tersebut di beberapa daerah di Jatim.

"Hal itu menegaskan bahwa ketika ada warga yang menolak tambang, maka hal tersebut harus ditindaklanjuti dengan serius dan melakukan penutupan penambangan, agar tidak ada korban Kancil lagi di daerah lain," ujarnya.

Ony menjelaskan Walhi Jatim mengecam keras tindakan yang dilakukan pelaku penganiayaan terhadap dua korban yang menjadi pejuang lingkungan di wilayah Desa Selok Awar-Awar.

"Kami mendesak Polri untuk mengusut tuntas pelaku dan aktor intelektual yang menyebabkan korban Salim Kancil meninggal dunia dengan mengenaskan dan korban Tosan dalam kondisi kritis di rumah sakit," tegasnya.

Kendati sudah ada korban meninggal akibat penolakan tambang pasir di pesisir selatan, namun penambangan pasir liar masih marak terjadi di beberapa kawasan pesisir selatan Lumajang dari barat hingga timur.

Kasus terbunuhnya Salim Kancil sebenarnya bisa menjadi momentum untuk membongkar mafia penambangan pasir di Kabupaten Lumajang karena sebagian besar penambangan itu tidak berizin alias ilegal.

"Kawasan pesisir selatan seharusnya tidak dieksploitasi karena ancaman tsunami bisa datang kapan saja, sehingga tidak boleh ada penambangan," katanya.

Dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar selama dua tahun itu sudah dirasakan oleh warga sekitar yang berprofesi sebagai petani dan nelayan.
   
Proses Hukum
Proses hukum kasus Salim Kancil hingga saat ini masih belum disidangkan di meja hijau karena pihak jaksa masih meneliti dan memeriksa berkas perkara yang dilimpahkan Kepolisian Daerah Jawa Timur.

Polda Jatim menetapkan 37 orang sebagai tersangka dengan membuat 14 berkas terpisah dalam kasus pembunuhan Salim Kancil, penganiayaan Tosan, ilegal mining, dan pencucian uang.

"Dari 14 berkas yang ada, sebanyak empat berkas sudah dinyatakan P-21 atau lengkap oleh Kejaksaan Negeri Lumajang untuk kasus pembunuhan Salim Kancil dan ilegal minning," jelas Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Raden Prabowo Argo Yuwono, Rabu  (30/12).

Penyidik Polda Jatim sudah memperbaiki sebanyak 10 berkas yang dikembalikan oleh Kejaksaan Negeri Lumajang, namun hingga akhir 2015 masih belum ada tambahan berita acara pemeriksaan yang dinyatakan lengkap.

Pihaknya juga masih memburu tiga tersangka yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) yang hingga kini masih belum tertangkap, sedangkan 37 tersangka yang sudah ditahan diamankan di Rumah Tahanan Mapolda Jatim.

Selain pelaku pembunuhan dan penganiayaan terhadap dua aktivis antitambang Desa Selok Awar-Awar, tiga oknum polisi yang diduga terlibat juga dijatuhi hukuman disiplin.

Dalam putusan sidang kode etik pada 19 Oktober 2015, sebanyak tiga oknum kepolisian dari Polres Lumajang dinyatakan terbukti bersalah dan ketiganya pun langsung menerima putusan terkait dengan kasus tambang pasir ilegal Lumajang itu.

Ketiga oknum polisi itu adalah Kasubagdalops Polres Lumajang AKP Sudarminto yang juga mantan Kapolsek Pasirian, Ipda Samsul Hadi (Kanit Reskrim Polsek Pasirian) dan Aipda Sigit Pramono (Babinkamtibmas Polsek Pasirian).

Ketiga oknum polisi yang terbukti menerima pungutan itu telah dijatuhi tiga bentuk hukuman etik yakni teguran tertulis, mutasi secara demosi (mutasi ke luar dari wilayah semula), dan penempatan khusus (sel tahanan) selama 21 hari.

Argo menegaskan kasus Salim Kancil menjadi perhatian serius Kapolri Jenderal Badrodin Haiti dan Kapolda Jatim  Irjen Pol Anton Setiadji, sehingga pihaknya benar-benar serius untuk mengusut tuntas tragedi pasir berdarah di Kabupaten Lumajang tersebut.

Koordinator Badan Pekerja Kontras Surabaya, Fathul Khoir, mendesak aparat penegak hukum benar-benar serius untuk mengusut tuntas kasus pembunuhan Salim Kancil dan Tosan, sehingga aktor intelektual juga harus segera ditangkap dan diproses hukum.

"Kasus itu bukan sebagai kriminal biasa karena di sana ada konspirasi besar dalam kasus penambangan pasir di Lumajang, sehingga semua pihak yang terlibat baik itu pejabat dan mafia harus diusut tuntas," tegasnya.

Semua pihak tentu harus membuka mata, membuka hati, dan membuka telinga untuk belajar banyak atas tragedi penambangan pasir berdarah di Lumajang. Semoga pemerintah tidak gegabah memberikan izin penambangan yang dapat merusak lingkungan dan menimbulkan konflik sosial.

Kemudian, aparat penegak hukum janganlah tajam kebawah, namun tumpul ke atas dalam menindaklanjuti kasus terbunuhnya aktivis antitambang itu. Cukup ironis, di Kabupaten Lumajang, nyawa tak semahal tambang.(*)

Pewarta: Zumrotun Solichah

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016