Mengenang tokoh Soetandyo adalah merefleksikan pengalaman seorang Begawan, akademisi, yang sangat menyadarkan kita semua, tentang adanya peminggiran, keterasingan, karena politik akademik dan politik identitas, justru terjadi di kalangan masyarakat yang amat terpelajar.

Namun pengalaman Soetandyo adalah juga sekaligus narasi tentang pernyataan sikap seorang akademisi  yang tidak berada di menara gading; tetapi melakukan dialektika antara ilmu pengetahuan dengan pengalaman kemanusiaan dan pencarian keadilan. Dan di situlah ilmu pengetahuan mendapatkan marwah nya. Universitas di mana beliau berada, mendapatkan reputasi akademik dalam arti yang sesungguhnya.

Universitas adalah gerbang kerajaan kebenaran, yang pintunya dijaga oleh para ilmuwan melalui berbagai aktivitas akademik yang bermartabat. Oleh karenanya para ilmuwan harus jujur. Sebagai rumah produksi ilmu pengetahuan, universitas berperan memenuhi kebutuhan warga masyarakat dan memberi penjelasan atas berbagai permasalahan.

Oleh karenanya para ilmuwan membutuhkan otonomi; supaya  penelitian dan pengajaran dapat independen dari berbagai kepentingan politik dan kekuatan uang (Magna Charta Universitatum, 1988).

Bagaimana wajah universitas kita saat ini ? Universitas dan sivitas akademika sibuk menggemakan world class university, ranking dunia. Para pimpinan struktural di universitas sibuk menabuh genderang tanda perburuan artikel penulisan jurnal di Scopus. Dalam tidurpun para dosen mengigau tentang Scopus. Bagaimana tidak, tanpa menulis jurnal terindex di Scopus, ia tidak bisa naik pangkat atau jadi Guru Besar.

Begitulah prestasi akademik dipahami, sebatas sebagai perintah administratif. Padahal yang paling penting adalah bagaimana menumbuhkan antusiasme dan rasa kasmaran para akademisi pada ilmu dan penelitiannya.  

Ruang otonomi yang dijamin undang-undang itu, dalam kenyataannya terasa jauh panggang dari api. Pemerintah sangat ketat meregulasi hampir semua sendi:  nomenklatur dan batas ilmu yang  boleh diajarkan, dan bagaimana cara mengajar. Dosen lebih dipusingkan soal-soal administratif daripada soal substansi keilmuannya.

Dalam penelitian pun ada batasan berapa besar anggaran, berapa lama waktunya, bahkan format dan prosedur penulisannya. Celakanya, setelah penelitian selesai, laporan kelengkapan administrasi keuangan lebih diperiksa daripada laporan penelitiannya sendiri. Begitulah politik akademik dijalankan.

Hal yang lebih parah adalah soal tatakelola universitas. Konsekuensi otonomi akademik adalah tatakelola (good university governance), yang mensyaratkan transparansi dan akuntabilitas. Bila tatakelola tidak terjadi, itu berarti otonomi telah disalahgunakan.

Namun lagi-lagi tatakelola dipahami secara berbeda di sini. Universitas disamakan dengan Kementerian, bahkan kantor Kecamatan. Semua pengeluaran harus ada bon-nya. Penelitian lapangan, menjumpai penduduk di gunung dan di laut, menginap di rumah penduduk, makan di warung, bahkan naik sampan dan naik ojekpun harus ada bon-nya, tak penting datang darimana, asalkan: bon asli !

Menjamu professor asing-pun harus ada bukti daftar hadir dan tanda tangan si professor itu, supaya bon makannya bisa dibayarkan ! Padahal  mereka sedang menawarkan kemitraan dalam bidang teknologi informasi dan kemajuan ilmu pengetahuan, yang memungkinkan universitas kita bisa berdiri sejajar dengan mereka.

Dengan cara itulah transparansi dan akuntabilitas universitas dipahami dan dijalankan. Negara memang  membiayai  universitas,  karena  begitulah  mandat Konstitusi. Namun ketika  Negara baru bisa  membiayai 50-60 persen kebutuhan, dan kita diminta cari uang sendiri, Negara  sangat ketat mengontrol universitas, seolah kita para akademisi ini bukan orang yang layak dipercaya !

Dalam situasi itu, bagaimana para ilmuwan bisa berkarya menembus ranking dunia ? Dalam keseharian bagaimana para sivitas menjalankan peran dan kewajibannya ?.

Masih ada banyak ilmuwan sejati, mendedikasikan diri kepada ilmu, mencerdaskan generasi muda di ruang-ruang kelas, membekali mereka dengan nilai-nilai etika moral, tak peduli dibayar atau tidak dibayar. Dosen yang hidup dalam kesederhanaan, tetapi kaya raya dalam pemikiran, budi pekerti dan unggul dalam karya-karya ilmiahnya.

Namun selalu saja ada akademisi, yang melihat universitas sebatas "piring nasi", "lapak" tempat cari uang. Untuk itu ia harus berkuasa, jadi kaprodi, pimpinan di fakultas, atau pimpinan apapun di universitas. Atau mengajar dan membimbing sebanyak-banyaknya, tak soal  tema-nya apa, tak soal menjadi "master segala ilmu", atau mutunya bagaimana.

Kampus, tempat orang-orang terpelajar ternyata juga penuh intrik. Diskriminasi bukan hanya dilekatkan secara konvensional pada identitas etnis, agama, kelas sosial dan gender, tetapi juga latar belakang ilmu. Dengan menunjuk bahwa ilmu seseorang berbeda dengan ilmu komunitasnya, dengan segera pelabelan identitas terjadi: "kau bukan kami".  

Begitulah politik identitas dijalankan, dan karena "bukan kami"  berarti kau tak pantas berada di tempat kami. Tak penting seberapa banyak buku yang kau tulis tentang ilmu kami, tak penting hebatnya pemikiran dan produktivitasmu bekerja dalam ranah ilmu kami; seberapa besarnya kau dikenal dunia karena keahlianmu dalam ilmu kami. Pokoknya kau tak layak berada bersama kami, bahkan kau tak bisa naik pangkat karena ilmu mu tidak linier.

Akademisi dengan pandangan semacam ini tak paham, bahwa ia sedang berada dalam tempurung dan tidur dalam kegelapan. Sementara itu,  ilmu pengetahuan global sedang maju melesat bagai anak panah, yang tidak dapat dihentikan lagi, berkat kemajuan teknologi informasi dan gelombang migrasi.

Para ilmuwan dari disiplin yang berbeda tertarik pada isu tertentu yang sama; berkolaborasi melakukan pengajaran dan peneliltian, dan menghasilkan rekomendasi atau produk bersama. Dengan demikian lahirlah percabangan ilmu-ilmu baru bersifat multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin.

Begitulah ilmu pengetahuan saat ini, sudah lintas disiplin, lintas rumpun. Dan dari cara berilmu seperti itu, lahirlah banyak kreatifitas, inovasi, dan kemajuan bagi bangsa dan peradaban manusia. Artikel terindex Scopus dan ranking dunia, akan datang dengan sendirinya. Wahai para ilmuwan pemuja linieritas ilmu, bangunlah….

Secara kebetulan, saya memiliki pengalaman yang kurang lebih sama dengan Pak Tandyo, tumbuh dan berkembang dalam bidang ilmu lintas disiplin, dan karenanya dipandang sebagai ilmu minoritas di fakultas besar.

Pak Tandyo mengembangkan Sosiologi Hukum, dan saya mengembangkan antropologi hukum. Saat ini saya meneruskan mengajar mata kuliah Pak Tandyo dalam genre "Socio-legal Studies" di Program S3 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Sama seperti pak Tandyo, tidak mengajar mata kuliah tersebut di universitasnya sendiri,  sayapun tidak mengajar mata kuliah tersebut  di universitas saya sendiri.

Pak Tandyo paham betul soal bagaimana politik akademik dan politik identitas dijalankan, karena mengalami sendiri. Namun kedewasaan nurani dan luasnya pengalaman, membuat beliau mampu merespons dengan: menertawakan ! Dunianya jauh lebih luas dari batas-batas tembok kampus, jangkauannya sangat luas dan berakar pada kemanusiaan dan keadilan. Kepedulian dan bela rasa didedikasikan bagi para pencari keadilan,  yang datang dari berbagai pelosok negeri. Pak Tandyo milik bangsa.

Tak mudah meneladani Pak Tandyo, mentransformasi pengalaman menapaki jalan sepi dan menyakitkan, menjadi bahan pembelajaran yang kaya secara filsafati. Semoga Pak Tandyo berbahagia abadi, banyak terima kasih telah menjadi inspirasi intelektual bagi saya, bagi banyak orang muda baik kalangan kampus maupun masyarakat luas. (*)

----------
*) Penulis adalah Guru Besar Antropologi Hukum pada Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI) Jakarta.
*) Tulisan merupakan materi Pidato Penerimaan Anugerah Soetandyo (Soetandyo Award) di FISIP Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, 21 Desember 2015.

Pewarta: Prof Sulistyowati Irianto MA *)

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016